Sorak kemenangan sering terdengar setiap kali palu hakim diketuk dan putusan perampasan aset berkekuatan hukum tetap dijatuhkan. Negara dinyatakan menang, barang bukti dirampas, dan publik merasa keadilan telah ditegakkan. Namun di balik euforia tersebut, terdapat persoalan mendasar yang jarang disorot, yakni nasib aset rampasan setelah negara dinyatakan menang di pengadilan.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menilai banyak kemenangan hukum justru tidak pernah tercermin secara nyata dalam keuangan negara. Menurutnya, aset hasil korupsi kerap terjebak dalam ruang abu-abu, tidak lagi dikuasai pelaku, tetapi juga belum benar-benar menjadi kekayaan negara yang tercatat dan dikelola.
“Inilah kisah tentang aset rampasan yang sah secara hukum, tetapi limbung secara tata kelola. Tentang kemenangan hukum yang bocor di meja administrasi. Tentang gudang negara yang seharusnya penuh, namun selalu terasa kosong,” kata Iskandar, Sabtu (27/12/2025).
Iskandar menjelaskan, persoalan ini telah berlangsung sejak awal berdirinya republik. Pada era revolusi hingga awal kemerdekaan (1945-1960), penyitaan harta dari kejahatan ekonomi dilakukan semata-mata untuk menjaga stabilitas negara. Instrumen hukum yang digunakan masih warisan kolonial seperti Herziene Inlandsch Reglement (HIR), serta aturan darurat seperti UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
Saat itu, aset sitaan berupa beras, gula, dan hasil bumi umumnya langsung dibagikan, dimusnahkan, atau dijual untuk kebutuhan mendesak negara. Konsep Barang Milik Negara (BMN) dari hasil rampasan pidana praktis belum dikenal dalam sistem keuangan negara.
“Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang baru lahir pun belum memiliki jangkauan audit memadai. Jejak aset rampasan era ini nyaris tak terdokumentasi!” ujarnya.
Memasuki era Orde Baru (1960–1998), perampasan aset mulai diatur lebih jelas, terutama dengan lahirnya UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini untuk pertama kalinya menegaskan perampasan harta koruptor sebagai bagian dari hukuman pidana. Namun, menurut Iskandar, regulasi tersebut menyimpan cacat mendasar karena hanya menyatakan “dirampas untuk negara” tanpa mengatur kelanjutan pengelolaannya.
“Kejaksaan akhirnya memikul peran ganda, yaitu sebagai penyidik dan penuntut, sekaligus penyimpan, pengelola, dan penjual aset rampasan. Lelang manual, pencatatan minim, setoran tidak transparan, dan yang paling krusial adalah aset tidak pernah masuk neraca kekayaan negara. Inilah awal praktik yang kemudian dikenal secara sinis sebagai ‘kehilangan nilai secara legal’!” jelas Iskandar.
Pada era reformasi sejak 1999 hingga sekarang, instrumen hukum dinilai jauh lebih kuat. Negara memiliki UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Secara teoritis, seluruh kekayaan negara seharusnya dikelola oleh Menteri Keuangan melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).
Namun, Iskandar menyebut justru di sinilah paradoks besar terjadi. Ketentuan perampasan dalam UU Tipikor tidak memiliki jembatan yang jelas dengan aturan pengelolaan kekayaan negara dalam rezim keuangan negara.
Baca Juga: Meutya Hafid Tegaskan Jaksa Perempuan Sebagai Garda Depan Hukum Siber dalam Hadapi Ancaman Deepfake
“Namun di sinilah paradoks lahir. UU Tipikor mengatur perampasan. UU Keuangan Negara mengatur pengelolaan. Namun tidak ada satu pasal pun yang menjembatani keduanya. Akibatnya, aset rampasan hasil putusan inkracht, termasuk dari perkara besar, sering berhenti di Kejaksaan, tanpa mekanisme wajib untuk diserahkan ke DJKN,” jelasnya
Dalam berbagai Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) selama lebih dari dua dekade, BPK secara konsisten menemukan pola masalah yang sama. Aset rampasan kerap tidak dicatat sebagai BMN dan tidak masuk ke dalam sistem DJKN, sehingga tidak memberi kontribusi fiskal apa pun bagi negara.
“BPK menemukan aset yang dibiarkan bertahun-tahun mengalami penurunan nilai tajam. Negara kehilangan potensi ekonomi tanpa satu rupiah pun dinikmati publik. Negara menang di pengadilan, tetapi sistem keuangannya tidak pernah menerima hasil kemenangan itu secara utuh!” ungkapnya.
Ia menambahkan, proses lelang aset rampasan juga sering berjalan lambat, minim persaingan, dan tidak berbasis valuasi optimal. Kondisi ini membuat negara seolah menjual murah kemenangan hukumnya sendiri. Tidak adanya prosedur baku yang memaksa penyerahan aset pasca-inkracht dari Kejaksaan ke DJKN memperparah situasi. Rekomendasi BPK terus berulang, tetapi persoalan tak kunjung terselesaikan.
Menurutnya, akar masalahnya terletak pada benturan dua rezim logika yang tidak pernah dipertemukan secara tegas oleh pembuat undang-undang. Hukum pidana berfokus pada pembuktian dan penghukuman, sementara keuangan negara menitikberatkan pada pencatatan, pengelolaan, dan optimalisasi nilai aset.
“Tidak ada perintah eksplisit yang menyatakan: ‘aset rampasan berdasarkan putusan inkracht wajib diserahkan kepada Menteri Keuangan c.q. DJKN dalam jangka waktu tertentu’. Peraturan internal seperti Perja No. 028 tahun 2014 hanya mengatur tata kelola internal Kejaksaan. Ia tidak menyelesaikan masalah integrasi dengan sistem keuangan negara!” jelasnya.
Sejumlah perkara korupsi besar yang telah inkracht dan menghasilkan putusan perampasan aset bernilai signifikan, menurut Iskandar, menjadi bukti nyata persoalan tersebut. Dalam praktik akuntansi negara, jejak aset hasil rampasan dari sektor keuangan, perbankan, asuransi negara, investasi publik, hingga sumber daya alam kerap tidak pernah muncul secara utuh sebagai kekayaan negara yang terkelola.
BPK, dalam berbagai audit tematik, menyoroti ketiadaan mekanisme serah-terima pasca-inkracht yang menyebabkan negara tidak mampu memastikan total nilai aset rampasan, lokasi aset, pihak yang bertanggung jawab mengelola, serta manfaatnya bagi publik.
“Jika aset sudah dirampas untuk negara, tetapi negara gagal mencatat dan mengelolanya, maka kerugian publik tidak berhenti pada korupsi awal, namun ia berlanjut dalam bentuk kelalaian sistemik!” tegas Iskandar.
Baca Juga: Sudah Lapor ke Prabowo, Jaksa Agung: Rp6,625 Triliun Hasil Penegakkan Hukum
Iskandar menilai solusi parsial tidak lagi memadai. Ia menekankan perlunya membangun jembatan regulasi yang selama ini tidak pernah benar-benar ada, salah satunya melalui pengesahan RUU Perampasan Aset dengan mandat tegas yang menempatkan DJKN sebagai pengelola tunggal aset rampasan negara pasca-inkracht.
Selain itu, ia mendorong lahirnya Sistem Informasi Aset Rampasan Nasional Terpadu yang dapat diaudit dan diawasi publik, serta peraturan bersama Kejaksaan dan Kementerian Keuangan yang mewajibkan penyerahan fisik dan administratif aset rampasan dalam batas waktu tertentu. Penguatan peran BPK secara real-time juga dinilai penting agar pengawasan tidak dilakukan setelah kerugian terjadi.
“Pada akhirnya, pertanyaannya sederhana, apakah kita hanya ingin menang perkara, atau sungguh-sungguh memulihkan hak negara? Karena keadilan tidak berhenti di palu hakim. Ia baru sempurna ketika harta hasil kejahatan benar-benar kembali, bukan ke gudang, tetapi ke masa depan rakyat,” pungkasnya.



