Bagi banyak anak perempuan pertama, salah satu lamunan yang paling sering muncul di penghujung hari yang melelahkan bukanlah tentang kekayaan materi atau asmara, melainkan sebuah pengandaian sederhana: "Seandainya aku memiliki seorang kakak." Di balik kemandirian yang sering dipuji orang dewasa, ada lubang besar berbentuk sosok pelindung yang tidak pernah ada. Fenomena anak perempuan pertama ingin punya kakak bukan sekadar keinginan memiliki teman bermain, melainkan sebuah kerinduan mendalam akan hak untuk menjadi tidak tahu apa-apa dan diizinkan untuk menjadi rapuh.
Dalam struktur keluarga, anak sulung perempuan sering kali menjadi "laboratorium eksperimen" bagi orang tua yang baru pertama kali menjalankan perannya. Hal ini menciptakan kondisi psikologis di mana sang anak merasa bahwa kasih sayang harus dimenangkan melalui kepatuhan dan prestasi. Oleh karena itu, keinginan agar anak perempuan pertama ingin punya kakak menjadi sangat relevan sebagai bentuk pelarian mental dari tuntutan yang terus menghimpit pundak mereka sejak usia dini.
Alasan Anak Perempuan Pertama Ingin Punya KakakSebagai anak pertama, kita lahir tanpa instruksi atau panduan dari kakak pendahulu. Kita adalah orang pertama yang harus "menabrak" tembok aturan orang tua, mencari tahu cara mendaftar kuliah secara mandiri, hingga menjadi pemecah suasana saat ketegangan melanda ruang tamu. Anak sulung perempuan dipaksa secara alami menjadi peta bagi adik-adiknya dan kompas bagi orang tua yang sedang dalam masa transisi kedewasaan.
Memimpikan sosok kakak berarti memimpikan seorang "pembuka jalan". Ada keinginan rahasia yang terpendam agar sekali saja dalam hidup ini, kita bisa bertanya, "Kak, aku harus bagaimana?" daripada selalu menjadi orang yang memberikan solusi dan berkata, "Tenang, biar aku yang beresin semuanya." Alasan anak perempuan pertama ingin punya kakak berakar pada keletihan menjadi pemandu jalan bagi semua orang, sementara diri sendiri sering merasa tersesat tanpa perlindungan.
Hak untuk Menjadi "Anak Kecil" yang TerlambatDalam psikologi Gen Z, dikenal istilah inner child atau jiwa kekanak-kanakan yang terluka. Anak perempuan pertama sering kali terpaksa “membunuh” sisi kekanak-kanakan tersebut demi menjalankan peran sebagai asisten rumah tangga, guru les bagi adik, hingga menjadi pendengar setia bagi keluhan emosional orang tua. Kondisi ini sering disebut sebagai parentification, di mana anak menjalankan peran orang dewasa sebelum waktunya.
Memiliki seorang kakak berarti memiliki "izin" secara emosional untuk bersikap konyol, melakukan kesalahan tanpa takut dunia akan runtuh, dan yang paling krusial: izin untuk menjadi lemah. Manifestasi dari anak perempuan pertama ingin punya kakak adalah bentuk kelelahan kronis karena harus selalu menjadi sosok "paling dewasa" di dalam rumah. Kita merindukan masa kecil yang ceroboh, sesuatu yang sering terenggut karena tuntutan untuk selalu tampil sempurna.
Mencari Sosok Kakak dalam Hubungan LainKetiadaan figur pelindung di rumah membuat banyak anak perempuan pertama mencari sosok tersebut di lingkungan luar secara tidak sadar. Hal ini menjelaskan mengapa beberapa dari kita cenderung tertarik pada pasangan yang usianya jauh lebih tua atau menjadi sangat dependen pada atasan di kantor yang memiliki sifat mengayomi. Kita sedang mencoba mengisi kekosongan figur otoritas yang suportif yang tidak didapatkan semasa kecil.
Rasa iri yang halus sering kali muncul saat melihat teman sebaya bisa bermanja-manja atau mengadu kepada kakaknya saat menghadapi masalah. Keinginan ini adalah pengakuan jujur bahwa menjadi tiang penyangga tunggal dalam keluarga merupakan posisi yang sangat sepi. Seberapa pun tangguhnya seseorang, ia tetap butuh individu lain yang mampu berkata, "Istirahatlah, biar Kakak yang tangani ini sekarang." Kerinduan anak perempuan pertama ingin punya kakak adalah teriakan minta tolong yang tersamarkan oleh label kemandirian yang menguras energi Self-Improvement kita.
KesimpulanKeinginan anak perempuan pertama untuk memiliki seorang kakak adalah bentuk protes sunyi terhadap beban yang tidak seharusnya mereka panggul sendirian. Ini menjadi pengingat bahwa di balik gelar "anak mandiri", ada seorang gadis kecil yang masih menunggu gilirannya untuk dijaga dan dilindungi. Menjadi anak perempuan pertama memang membentuk pribadi yang kuat, tetapi tidak ada salahnya mengakui bahwa menjadi kuat setiap saat adalah pekerjaan yang paling melelahkan di dunia.



