Menanti Era Baru Universitas Riset: Antara Otonomi Akademik dan Risiko Birokratisasi

pantau.com
12 jam lalu
Cover Berita

Pantau - Gagasan membuka opsi jabatan fungsional peneliti di kampus yang diusulkan oleh Kepala BRIN Arif Satria memicu perbincangan serius soal arah masa depan pendidikan tinggi di Indonesia.

Langkah ini dinilai sebagai upaya memperkuat ekosistem riset di perguruan tinggi sekaligus menyediakan jalur karier bagi para peneliti yang selama ini tidak tertampung dalam skema dosen.

Riset di Kampus Masih Jadi Formalitas, Perlu Pengakuan Struktural untuk Peneliti

Saat ini, banyak perguruan tinggi masih berperan sebagai teaching university ketimbang research university.

Aktivitas riset kerap hanya menjadi pelengkap administratif untuk pemenuhan borang, kenaikan pangkat, atau pencairan hibah.

Peneliti non-dosen jarang mendapatkan pengakuan struktural dan ruang hidup layak di dalam institusi akademik.

Jika kebijakan pembukaan jabatan peneliti kampus benar-benar dijalankan, maka ini akan menyentuh jantung epistemik perguruan tinggi: apakah kampus ingin menjadi ruang produksi pengetahuan sejati atau sekadar pabrik ijazah.

Namun, muncul juga kekhawatiran bahwa inisiatif ini bisa membuka ruang bagi sentralisasi riset oleh negara.

Pertanyaan krusial pun muncul: apakah peneliti akan menjadi subjek akademik yang merdeka, atau justru terjebak sebagai instrumen birokrasi?

Belajar dari Negara Lain: Peneliti adalah Profesi Otonom, Bukan Admin Target Luaran

Praktik serupa telah lama diterapkan di negara-negara maju.

Di Jerman, universitas tidak hanya diisi oleh dosen, tetapi juga peneliti penuh waktu dengan karier profesional yang jelas, seperti yang dilakukan oleh Max Planck Society dan Fraunhofer Society.

Model kolaboratif antara negara, kampus, dan industri menjadi kekuatan utama.

Peneliti difokuskan pada pengembangan ilmu pengetahuan tanpa beban mengajar.

Di Inggris, jalur akademik terbagi antara teaching-focused dan research-focused academic.

Dengan skema research-only contracts yang didanai UKRI, universitas tidak mengandalkan dosen serba bisa, tetapi membangun ekosistem berbasis spesialisasi.

Hasilnya, riset kampus Inggris menjadi stabil dan berpengaruh secara global.

Transformasi serupa juga terjadi di Korea Selatan, di mana banyak universitas memiliki professor riset dan research fellow yang tak wajib mengajar.

Negara memberi keleluasaan akademik penuh untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi strategis.

Transformasi Kampus Harus Dimulai dari Pengakuan, Bukan Sekadar Struktur

Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie, menyatakan bahwa universitas tidak bisa hanya menjadi ruang pengajaran.

Negara-negara seperti Jerman, AS, dan China menjadikan kampus sebagai pusat inovasi sebelum mengalami lonjakan ekonomi.

Artinya, riset adalah investasi jangka panjang, bukan jalan pintas.

Jika BRIN serius membuka jalur fungsional peneliti di kampus, maka kebijakan ini tidak boleh berhenti di ranah administratif.

Ia harus menjadi fondasi transformasi intelektual, membangun kampus sebagai ruang produksi pengetahuan yang merdeka dan berdampak.

Menjaga Keseimbangan: Jangan Sampai Kampus Menjadi Korban Simbolisme Riset

Tantangan besar yang harus diantisipasi adalah risiko birokratisasi riset.

Jika dikendalikan secara ketat oleh negara, riset bisa tergelincir menjadi kegiatan administratif yang mengejar target luaran dan anggaran semata, bukan praktik intelektual yang kritis.

Padahal sejarah telah membuktikan, pengetahuan penting lahir dari kebebasan akademik, bukan dari riset yang sekadar "laku dijual".

Jika universitas riset dibentuk melalui kontrol berlebih, maka kampus berisiko kehilangan peran utamanya sebagai pencari kebenaran.

Kampus akan sibuk mengejar indikator, tapi miskin keberanian berpikir mendasar.

Maka, menanti era baru universitas riset juga berarti menagih kedewasaan negara dalam mengelola ekosistem riset.

Negara harus menjadi fasilitator, bukan pengendali tunggal.

Tanpa keseimbangan antara dukungan kebijakan dan otonomi akademik, agenda universitas riset bisa berubah menjadi sekadar perubahan kosmetik.

Perubahan istilah tanpa transformasi intelektual hanya akan melahirkan riset simbolik—bukan riset sejati.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kapolres Banjar Imbau Jamaah Haul Guru Sekumpul Tidak Terobos Banjir, Lalu Lintas Padat Jelang Puncak Acara
• 23 jam lalupantau.com
thumb
Makassar Nyaman dengan Kemacetan?
• 6 jam lalufajar.co.id
thumb
Hujan Deras, Jalur Purwakarta-Ciganea Tertutup Longsor, Sejumlah Perjalanan KA Terhambat
• 1 jam lalujpnn.com
thumb
Apakah ISIS Bangkit Lagi?
• 22 jam laludetik.com
thumb
Ditolak Nenek Elina, Bantuan dari Madas Dialihkan ke Orang Lain yang Membutuhkan
• 23 jam lalurealita.co
Berhasil disimpan.