Pasar kerap menjadi ruang hidup yang menyimpan warisan budaya. Di tempat inilah nilai-nilai lokal, interaksi sosial, dan tradisi berlangsung secara alami dari generasi ke generasi. Fungsinya pun melampaui aktivitas ekonomi semata. Pasar menjadi ruang temu, ruang cerita, sekaligus ruang kehidupan.
Di Kota Surakarta, salah satu pasar yang masih mempertahankan denyut itu adalah Pasar Gede Hardjonagoro. Berdiri sejak 1930, pasar ini dirancang oleh arsitek Belanda Thomas Karsten dan hingga kini tetap menjadi ikon bersejarah kota. Letaknya yang berada di pusat kota membuat Pasar Gede nyaris tak pernah kehilangan pengunjung. Beragam produk lokal tersedia di sini, mulai dari jajanan tradisional dan kekinian, buah-buahan segar, kerajinan tangan, hingga jamu, berpadu dalam suasana pasar yang hangat dan khas.
Sore itu, hujan deras baru saja reda. Matahari perlahan muncul di balik awan, memancarkan cahaya lembut yang membuat udara terasa lebih bersih dan segar. Tanpa rencana khusus, saya memutuskan untuk berkendara menuju Pasar Gede, sekadar menikmati suasana kota setelah hujan turun.
Koridor di sekitar pasar tampak basah dan memantulkan cahaya. Orang-orang yang sebelumnya berteduh mulai kembali beraktivitas. Ada pedagang yang menarik gerobak berisi buah, ada pula yang menata ulang dagangannya. Suasana tidak terlalu ramai, tetapi juga tidak sepi. Kehidupan berjalan pelan, tanpa tergesa.
Di deretan kios bagian depan pasar, aroma manis leker yang tengah dipanggang langsung menarik perhatian. Di balik sebuah gerobak kecil, seorang pria paruh baya dengan cekatan menuangkan adonan tipis ke atas teflon panas. Saya memesan dua leker, rasa cokelat dan keju. Obrolan pun mengalir di sela menunggu pesanan matang.
Ia bercerita telah berjualan di Pasar Gede selama sepuluh tahun terakhir. Namun, usaha membuat leker telah ia tekuni sejak era 1980-an, melanjutkan usaha yang lebih dulu dirintis oleh orang tuanya. Dengan nada tenang, ia mengingat bagaimana suasana pasar dulu yang belum seramai sekarang, meski akhir pekan tetap menjadi waktu paling ramai.
Tak lama kemudian, seorang teman tiba-tiba menyapa dari belakang. Ia datang bersama pasangannya dan mengaku baru pertama kali mengunjungi Pasar Gede. Kami tertawa bersama menyadari bahwa sudah lebih dari satu tahun setengah berkuliah di Solo, tetapi masih ada sudut kota yang belum sempat disinggahi. Sore itu pun terasa semakin hangat, dihabiskan dengan berbagi leker dan obrolan ringan.
Sebelum berpamitan, sang penjual sempat melontarkan kalimat sederhana yang terasa membekas. Menurutnya, rezeki tidak selalu soal ramai atau sepi, melainkan soal kesabaran. Sebuah kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman panjang hidup di tengah pasar, tempat orang datang dan pergi silih berganti.
Kami kemudian melanjutkan langkah masuk ke dalam pasar. Suasana terasa lebih hidup. Aroma khas pasar bercampur dengan suara tawar-menawar. Ibu-ibu penjual dawet, pedagang buah yang sibuk menata lapaknya, hingga anak-anak kecil yang berlarian sambil memegang es potong, menjadi bagian dari lanskap sore itu.
Di tengah hiruk pikuk tersebut, saya menyadari satu hal. Kita kerap terlalu sibuk dengan dunia sendiri, hingga lupa bahwa di luar sana ada banyak orang dengan cerita dan kesibukan yang sama berharganya.
Menjelang hari gelap, saya pulang dengan plastik berisi leker yang belum sepenuhnya habis, langkah yang terasa ringan, dan hati yang riuh. Entah karena sisa aroma hujan, pertemuan yang tak disengaja, atau kehangatan Pasar Gede yang tetap hidup dengan caranya sendiri, perjalanan spontan itu mengingatkan saya untuk sesekali menoleh ke sekitar, melihat dunia yang lebih luas dari sekadar layar dan rutinitas sebagai mahasiswa.





