BELAKANGAN ini, beranda media sosial kita disesaki tontonan visual yang cukup mengusik nalar publik perihal etika kepemimpinan di tengah bencana.
Video pendek yang viral memperlihatkan tumpukan tandon air dan alat penyaring air bersih yang dikirimkan untuk korban banjir bandang di Sumatera Barat.
Namun, ada sesuatu yang janggal secara semiotik pada bantuan tersebut. Pada dinding tandon yang berwarna oranye menyala itu, tercetak nama seorang politisi senior dengan ukuran huruf yang sangat dominan, bahkan memakan hampir separuh bidang visual benda tersebut.
Nama itu ditulis lengkap dengan deretan gelar akademik dan honoris causa yang berbaris panjang, seolah ingin menegaskan status sosial sang pemberi di hadapan para korban yang sedang menderita.
Pemandangan ini bukan sekadar masalah estetika visual, melainkan sinyalemen kuat tentang betapa narsisme politik telah menunggangi panggung kemanusiaan secara vulgar tanpa tedeng aling-aling.
Kita dipaksa menyaksikan bagaimana penderitaan rakyat dijadikan kanvas lukisan citra diri seorang elite politik yang haus pengakuan.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=bansos, banjir sumatera 2025&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yOC8xMjQ5MTkxMS9wcml2YXRpc2FzaS1iYW50dWFuLWRhbi1wb2xpdGlrLXRhbnBhLW1hbHU=&q=Privatisasi Bantuan dan Politik Tanpa Malu§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Ironi yang lebih tebal sebenarnya tersembunyi di balik layar pengadaan bantuan tandon air tersebut, di mana prosesnya jauh dari kata "kedermawanan pribadi" yang ingin dikesankan.
Sebelum video distribusi itu beredar, publik dan awak media sudah lebih dulu menyimak berita tentang acara makan malam amal yang diinisiasi oleh politisi senior tersebut bersama para kader binaannya.
Baca juga: Pilkada Tidak Langsung dan Logika Efisiensi yang Keliru
Dalam forum yang dihadiri oleh pejabat eksekutif daerah dan anggota legislatif dari partainya itu, terjadi proses mobilisasi dana yang lebih mirip "penodongan" halus atas nama solidaritas partai.
Para kader yang notabene pejabat publik itu diminta menyumbang. Uangnya tentu berasal dari sirkulasi pendapatan mereka sebagai pejabat atau dana taktis lainnya.
Namun, ketika barang bantuan itu sampai di lapangan, jejak kolektif para penyumbang itu lenyap tak berbekas digantikan oleh satu nama tunggal.
Tidak ada logo partai, tidak ada atribusi kolektif, yang ada hanyalah glorifikasi personal sang ketua umum yang seolah merogoh kocek pribadinya sendiri dalam-dalam.
Fenomena klaim sepihak ini memunculkan pertanyaan mendasar mengenai integritas moral dalam praktik filantropi politik kita yang kian hari kian transaksional.
Mengapa bantuan yang dananya dihimpun dari urunan banyak pihak, atau bahkan dana yang bersumber dari jejaring kekuasaan, harus dilabeli seolah-olah itu adalah murni kebaikan hati satu individu?
Jawabannya terletak pada motif insentif elektoral dan hasrat untuk merawat patronase politik yang masih sangat kental dalam budaya feodalisme partai kita.
Sang politisi senior tampaknya ingin memelihara mitos bahwa dirinya adalah "Ratu Adil" atau patron tunggal yang menjadi sumber segala rezeki bagi konstituen maupun kadernya.
Dengan menempelkan nama secara mencolok, ia sedang melakukan investasi citra murah meriah di atas penderitaan korban bencana, strategi marketing politik yang sebenarnya sangat primitif.
Pola perilaku semacam ini sayangnya bukan monopoli satu atau dua politisi saja, melainkan telah menjadi wabah yang menjangkiti struktur kekuasaan kita hingga ke level tertinggi.
Kita tentu masih ingat betul bagaimana gelontoran bantuan sosial atau bansos menjelang perhelatan pemilihan umum lalu dikemas dengan narasi yang sangat personalistik.
Karung-karung beras dan paket sembako ditempeli stiker bergambar wajah pejabat tinggi negara, disertai tulisan "Bantuan Presiden" atau sejenisnya, yang secara implisit mengirim pesan bahwa ini adalah hadiah dari penguasa.





/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fimages%2F2025%2F12%2F21%2Fc6e98f520fc4d785b11c2934c846b283-cropped_image.jpg)