Tepat pukul 19.30, sebuah potret estetik dengan caption inspiratif meluncur di akun utama Instagram milik seorang mahasiswa. Dalam foto itu, ia tampak tersenyum lebar dengan latar belakang kafe minimalis, seolah-olah representasi 'hidup yang sempurna'. Namun, hanya berselang sepuluh menit, orang yang sama mengunggah sebuah foto hitam-putih di second account-nya. Kali ini foto tanpa filter, tanpa senyum, hanya ada bantal yang basah oleh air mata dan satu kalimat singkat: "Capek banget, pengen menyerah." Fenomena dua wajah ini bukan sekadar tren digital biasa. Di balik layar ponsel, ada jutaan Gen Z yang sedang berjuang dalam sebuah pertunjukan teater besar bernama pencarian jati diri. Kita berada dalam dualitas yang melelahkan, menjadi sosok ideal yang dicintai algoritma di akun utama, dan menjadi sosok yang rapuh namun jujur di akun kedua.
Ketegangan antara dua akun ini sebenarnya adalah alarm psikologis yang nyata. Dalam psikologi pengembangan kepribadian, fenomena ini sangat selaras dengan pemikiran Carl Rogers mengenai konsep diri atau self-concept. Rogers (1951) menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki ideal self, yaitu sosok sempurna yang kita dambakan, dan organismic experience, yaitu pengalaman nyata yang kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Masalahnya, media sosial memperlebar jarak antara keduanya dengan menciptakan ruang di mana kita bisa mengkurasi versi diri yang sangat selektif.
Ketika kita terlalu sibuk memoles akun utama agar terlihat sempurna, kita sedang mengalami apa yang disebut Rogers sebagai incongruence atau ketidakselarasan antara pengalaman aktual dengan citra diri yang kita proyeksikan. Kondisi ini seperti memakai sepatu yang ukurannya terlalu kecil yang kemudian dipaksakan demi terlihat bagus dari luar, namun sebenarnya menyakitkan untuk melangkah. Yang perlu dipahami adalah bahwa baik akun utama maupun second account sama-sama merupakan bagian dari proses negosiasi identitas kita. Akun utama bukan semata-mata 'topeng palsu', dan akun kedua pun tidak otomatis menjadi 'diri sejati'. Keduanya adalah ruang berbeda tempat kita mengekspresikan aspek-aspek kepribadian yang memang ada dalam diri kita, namun disesuaikan dengan konteks dan audiens yang berbeda.
Mengapa kita merasa lebih nyaman mengekspresikan kerentanan di akun rahasia? Jawabannya terjawab dengan konsep yang diperkenalkan oleh Erving Goffman dalam Teori Dramaturginya mengenai front stage dan backstage. Goffman (1922) menjelaskan bahwa dalam kehidupan sosial, kita melakukan impression management atau pengelolaan kesan. Akun utama adalah panggung depan atau front stage, di mana kita menampilkan performa yang sesuai dengan ekspektasi sosial dan ‘standar’ atau norma yang berlaku. Sementara second account menjadi semacam backstage atau ruang belakang panggung, tempat kita merasa lebih aman untuk melepas 'kostum' dan menunjukkan sisi yang tidak dipoles.
Fenomena ini juga terkait dengan apa yang disebut Danah Boyd (2007) sebagai context collapse atau keruntuhan konteks, yaitu situasi di mana berbagai kelompok audiens dengan konteks yang berbeda bertemu dalam satu ruang digital. Pengguna media sosial diharuskan untuk mengelola identitas mereka agar dapat diterima oleh berbagai kelompok tersebut. Di main account, kita diikuti oleh keluarga, dosen, teman kuliah, kenalan profesional, dan bahkan orang asing yang membuat kita merasa perlu menjaga citra tertentu. Second account dengan pengikut yang terbatas dan terpilih memberikan kita audience segregation atau pemisahan audiens, sehingga kita bisa lebih selektif dalam mengekspresikan diri tanpa takut dinilai oleh kelompok yang tidak kita kehendaki. Namun, jika kesenjangan antara kedua ruang ini terlalu besar dan berlangsung terus-menerus, hal ini bisa menimbulkan self-alienation atau keterasingan dari diri sendiri, dimana kita mulai kehilangan pegangan tentang siapa diri kita yang sebenarnya.
Jebakan validasi juga memainkan peran besar dalam dinamika ini. Banyak dari kita terjebak dalam conditional positive regard atau penerimaan yang bersyarat. Kita merasa baru akan 'diterima' atau 'berharga' jika memiliki prestasi, penampilan, atau gaya hidup yang menawan di mata orang lain. Angka likes, jumlah followers, dan komentar positif menjadi standar keberhargaan diri. Padahal menurut Rogers, kebutuhan mendasar manusia adalah unconditional positive regard, yaitu penerimaan diri tanpa syarat dan pengakuan bahwa kita berharga apa adanya. Ketika kita tidak mendapatkan unconditional positive regard di panggung utama yang penuh dengan persaingan perhatian, kita mencari pelarian ke akun kedua dengan harapan mendapatkan validasi yang lebih jujur dari segelintir teman dekat.
Namun, masalah sebenarnya bukan terletak pada jumlah akun yang kita miliki, melainkan pada chronic self-discrepancy atau kesenjangan diri yang kronis. Ketika jarak antara ideal self dan organismic experience kita terlalu lebar dan menimbulkan kecemasan, rasa bersalah, atau bahkan depresi yang persisten, di situlah dualitas ini berubah dari strategi adaptif menjadi pola maladaptif yang merugikan kesehatan mental kita.
Sebagai mahasiswa dan bagian dari Gen Z, kita perlu menyadari bahwa kesempurnaan di layar itu hanyalah ilusi yang melelahkan, sehingga tidak perlu merasa bersalah karena berupaya menampilkan citra diri yang sebenarnya di hadapan orang lain. Keautentikan dan keberanian untuk menjadi diri sendiri adalah kunci utama kesehatan mental, namun keautentikan bukan berarti kita harus mengumbar semua aspek kehidupan pribadi tanpa filter. Integrasi kepribadian dimulai saat kita mampu mengurangi kesenjangan yang menyakitkan antara berbagai versi diri yang kita tampilkan, bukan dengan menghapus semua perbedaan kontekstual yang memang wajar ada.
Pada akhirnya, media sosial hanyalah panggung, bukan cermin yang menentukan harga diri kita. Terus-menerus memoles 'topeng' digital hanya akan membuat kita asing dengan wajah kita sendiri. Mari mulai berani untuk sedikit lebih jujur. Sebab, kematangan kepribadian tidak tumbuh dari seberapa banyak orang yang menyukai versi 'ideal' kita, melainkan dari seberapa berani kita mencintai versi 'asli' kita bahkan yang tidak estetik sekalipun. Karena di dunia yang menuntut kesempurnaan tanpa henti, menjadi otentik adalah sebuah tindakan keberanian yang paling membebaskan.





