Bisnis.com, JAKARTA - Masa negosiasi tarif perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) menjadi momen tepat untuk berpegang teguh terhadap kedaulatan dan martabat bangsa dalam hubungan internasional.
Kedua hal ini menjadi prinsip-prinsip yang tidak dapat dipisahkan dari meja perundingan perdagangan. Prinsip-prinsip tersebut tidak hanya berfungsi sebagai slogan normatif tetapi merupakan fondasi vital yang menentukan kemampuan sebuah negara mampu mempertahankan ruang kebijakan nasionalnya ketika berhadapan dengan kekuatan adidaya.
Negosiasi tarif yang tengah dijalani oleh Indonesia terjadi di tengah tatanan perdagangan global yang lebih didominasi oleh unsur politik melainkan murni urusan ekonomi. Pada waktu penulisan artikel ini, negosiasi tengah memasuki fase prapenandatanganan. Delegasi Indonesia dan Amerika Serikat sudah mencapai persetujuan menge-nai substansi utama dan menyelesaikan isu-isu teknis, dengan penandatanganan ditargetkan pada akhir Januari 2026. Alhasil, pertanyaannya bukan lagi “apakah perjanjian akan terbentuk?” melainkan “bagaimana detail finalnya?” yang akan membingkai ruang kebijakan di kemudian hari.
Kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat pada April 2025 secara fundamental mengubah lanskap perdagangan RI–AS. Pada 2024, total perdagangan bilateral mencapai US$39,74 miliar, dengan ekspor Indonesia sebesar US$26,36 miliar dan impor US$10,20 miliar, menghasilkan surplus US$16,8 miliar.
Pada lima bulan pertama 2025, ekspor nonmigas Indonesia ke Amerika Serikat telah mencapai US$12,11 miliar, menjadikan AS tujuan ekspor terbesar kedua setelah China. Periode Mei 2020 hingga Mei 2025, surplus perdagangan Indonesia terhadap AS tercatat mencapai US$15,38 miliar. Penurunan tarif dari 32% menjadi 19% memang memberikan kelegaan jangka pendek, tetapi tetap menciptakan struktur biaya masuk yang lebih mahal dibanding rezim pra-2025.
Dalam konteks ini, perjanjian yang tengah dilakukan negosiasi berfungsi sebagai instrumen yang dapat tetap memberi akses pasar. Namun, jika dilakukan tanpa disiplin dan tergesa-gesa ketergantungan terhadap pasar Amerika Serikat dapat dijadikan senjata dalam bentuk tekanan non-tarif dan mempersempit ruang manuver kebijakan nasional.
Baca Juga
- Tak Luput dari Tarif Impor AS 19%, Industri Tekstil Minta Pemerintah Benahi Regulasi
- Negosiasi Tarif RI-AS Belum Deal 100%, Tahap Final Dijadwalkan Januari 2026
- Airlangga Pastikan Sawit RI Bebas Tarif Masuk AS, Tekstil Tetap Kena
Contoh yang sangat jelas dapat dilihat dari perjanjian dagang yang ditandatangani Malaysia dengan Amerika Serikat pada Oktober 2025. Hubungan dagang Malaysia–Amerika Serikat memiliki skala lebih besar, dengan total perdagangan US$71,39 miliar pada 2024 dan surplus Malaysia sebesar US$24,8 miliar. Ketika tarif mengancam akses pasar senilai US$43,65 miliar ekspor Malaysia ke Amerika Serikat, Kuala Lumpur menandatangani perjanjian yang tidak hanya mengatur tarif, tetapi juga memuat kewajiban konsultasi sebelum Malaysia penandatanganan perjanjian perda-gangan digital baru dengan negara lain. Malaysia juga diwajibkan melakukan penyelarasan kebijakan kontrol ekspor dan larangan teknologi sensitif yang dapat menguntungkan kepentingan geo-eokonomi AS. Secara prosedural, perjanjian ini dapat mempersempit ruang kebijakan nasio nal Malaysia dalam sektor digital dan ekonomi.
MENOLAK PIL BERACUN
Indonesia harus berdiri tegak dalam melindungi ruang manuver kebijakan Indonesia dalam tatanan perdagangan global. Visi dan misi Indonesia yang memiliki agenda industrialisasi dan transformasi digital mengharuskan adanya ruang kebijak-an yang luas untuk Indonesia bermanuver.
Sektor digital dan teknologi berpotensi mendapat tekanan paling langsung melalui komitmen atas arus data data dan penghapusan hambatan terhadap produk digital yang berpotensi berbenturan dengan rezim perlindungan data nasional.
Ruang kebijakan sektor digital ini merupakan instrumen strategis jangka panjang yang tidak dapat dilepas dan dijual ke pihak asing.
Pada tingkat sektoral potensi dampaknya juga akan sangat besar. Sektor industri tekstil dan pakaian jadi, sepatu, furnitur kayu, karet, serta elektronik akan menanggung dampak yang paling besar. Lima sektor ini mewakili sekitar US$17,01 miliar ekspor Indonesia ke Amerika Serikat, atau 64,5% dari total ekspor ke pasar tersebut. Dengan tarif 19% tetap berlaku, sektor-sektor ini diperkirakan akan menanggung beban biaya tahunan sekitar US$3,23 miliar yang dapat memengaruhi kondisi ekonomi Indonesia yang sedang rapuh. Di sektor manufaktur strategis, khususnya elektronik dan supply chain kendaraan listrik, permintaan Amerika Serikat untuk melonggarkan TKDN dan penerimaan standar asing berisiko melemahkan instrumen negara yang dapat digunakan untuk membangun kapasitas domestik. Di sektor sumber daya alam, tuntutan akses pasar untuk mineral kritis dapat membatasi penggunaan larangan ekspor atau kewa-jiban pemrosesan domestik.
Selain sisi ekonomi, negosiasi juga harus tetap jeli melihat sisi politik dari negosiasi di Washington.
Negosiator Indonesia harus menolak keras jika perjanjian dagang terdapat aspek-aspek kewajiban penyelarasan terhadap rezim sanksi dan kontrol ekspor negara lain. Jelas hal ini tidak bersifat netral dan bertentangan dengan kebijakan bebas aktif Indonesia. Jika ini disetujui, keputusan kebijakan ekonomi akan terikat pada dinamika konflik yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan dan posisi kebijakan Indonesia.
Tarif di era Presiden Trump bukan lagi semata-mata instrumen ekonomi, tetapi senjata politik yang ampuh. Tarif adalah instrumen geo-ekonomi negara adidaya yang dapat mempersempit ruang gerak kebijakan negara-negara kecil dan menengah dan memiliki pengaruh kebijakan lintas sektor.
DISIPLIN DAN JERNIH
Dalam konteks ini, kejelian menjadi sebuah keharusan dan prasyarat rasional untuk menjaga agensi kebijakan di tengah interaksi asimetris dengan kekuatan adidaya.
Pengalaman dari Malaysia bisa menjadi pelajaran penting. Malaysia memang mendapat bea tarif yang rendah, tetapi harga politik yang dibayar bisa dibilang terlalu mahal. Memang secara legal meka-nisme konsultasi ini bukan berarti Amerika Serikat bisa memveto kebijakan Malaysia secara eksplisit. Tetapi secara defacto, perjanjian itu membuat ruang gerak Kuala Lumpur dalam memilih kebijakan menjadi lebih lambat, lebih mahal secara koordinasi, dan lebih rentan pada tekanan resiprokal dan ini akan menghambat Malaysia membangun kebijakan yang dapat menguntungkannya.
Tarif bisa di negosiasi. Namun, Indonesia harus dengan tegar menjaga secara disiplin dan jernih kebijakan ekonomi dan ruang manuver politik ke depannya.
Keputusan Presiden Prabowo untuk terus menegosiasi ini patut diapresiasi dan menunjukan komitmen Istana terhadap ke




