BANJIR bandang dan tanah longsor yang puncaknya terjadi pada 26-27 November lalu sedikitnya telah meluluhlantakkan 52 kabupaten/kota di Provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Presiden masih berperinsip belum menetapkan bencana tersebut sebagai bencana nasional.
Pemerintah berdalih bahwa negara cukup kuat dan mampu mengangani sendiri kehancuran itu tanpa perlu menerima bantuan negara lain. Entah apa sebabnya penanganan para korban banjir di lapangan terlihat seperti tidak banyak perubahan atau kemajuan berarti.
Di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, misalnya sudah sebulan lebih puncak banjir dahsyat yang merenggang ribuan nyawa itu terjadi, namun belum ada kelegaan dari wajah korban. Persoalan lumpur dalam rumah saja belum tertangani, sekarang didera lagi oleh beberapa persoalan baru. Di antaranya adalah kelangkaan air bersih dan air minum.
Sejak awal banjir surut pada 30 November, hingga kini para pengungsi masih belum mendapatkan sumber air layak konsumsi. Ribuan sumur warga telah hancur atau tercemar sedimentasi sampah banjir. Jumlah sumur yang bisa dikuras atau dipakai kembali pun sangat minim. Itupun hanya sumur yang masih tersisa utuh atau sumur bor kondisi aktif dan memiliki pompa air.
"Sudah satu bulan lamanya belum banyak yang berubah. Di pinggiran jalur Nasional Banda Aceh-Medan, seperti di Kecamatan Karang Baru kawasan perkantoran pemerintah juga masih sangat mengkhawatirkan. Apalagi kawasan pedalaman yang jauh dari jangkauan dan sulit ditembus," kata relawan kemanusiaan dari Dewan Dakwah Provinsi Aceh, Sahal Muhammad, kepada Media Indonesia, Minggu (28/12).
"Di lokasi-lokasi yang tersedia tenda pengungsian BNPB juga tidak dibangun WC portabel dan fasilitas air bersih. Bahkan tenda itu terpasang begitu saja langsung berlantai tanah, tidak ada tikar di dalamnya. Maka banyak tenda BNPB di kawasan sekitaran kantor bupati atau sepanjang pinggiran jalan nasional itu tidak ada penghuninya. Warga lebih memilih tinggal di rumah atau toko yang memiliki lantai 2 atau mencari tempat lain," tambah Sahal Muhammad.
Hingga sekarang pasokan air bersih dan air siap konsumsi untuk korban banjir di Kabupaten Aceh Tamiang masih sangat sedikit. Mereka hanya mengharap pasokan dari luar. Sebagaimana beberapa hari terakhir dari bantuan para relawan yang datang dari arah Kota Langsa atau donatur masuk dari arah Medan, Sumatra Utara.
"Kami bersama delapan orang teman dari Kota Langsa mengangkut air bersih siap konsumsi ke Aceh Tamiang, menggunakan mobil bak terbuka. Lalu masuk ke kawasan Kampung Besar, Kecamatan Bendahara, membatu setiap keluarga 1 jeriken ukuran 10 liter," tutur Teuku Reza, relawan kemanusiaan asal Kabupaten Pidie yang merantau di Kota Langsa.
Dikatakan Teuku Reza, selain membantu air bersih, pihaknya juga membawa nasi siap santap kepada korban terdampak banjir, baik mereka yang tinggal di bawah tenda pengungsian atau bertahan di rumah masih tersisa.
Dikatakannya, para korban banjir di Aceh Tamiang juga sangat mendambakan sanitsi dan jamban tempat buang air besar (BAB). Sebagian besar lokasi pengungsian masih mengalami krisis santitasi sehingga harus BAB sembarangan. Hal itu menyebabkan para pengungsi sangat rawan gangguan kesehatan pascabanjir.
Kondisi paling mengkhawatirkan lainnya adalah minim bantuan untuk kebutuhan bayi seperi susu, makan tambahan dan popok. Lalu tidak ada kelambu, sehingga mereka itu diserang nyamuk saat tidur malam.
"Nyamuk banyak sekali, mereka tidur banyak tidak ada kelambu. Sayang sekali kalau bayi. Setelah kurang asi, tidak ada susu formula ditambah lagi gigitan nyamuk," tambah Teuku Reza. (MR/E-4)





