JAKARTA, KOMPAS.com - Setiap hari, sekitar 40 kilogram sampah organik rumah tangga diproses oleh warga RW 06 Kampung Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Sampah tersebut tidak langsung dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA), melainkan diolah secara mandiri oleh warga melalui sistem maggot, komposter, dan bank sampah yang dikelola secara swadaya.
“Sampah plastik masuk bank sampah, sampah organik rumah tangga masuk maggot. Setiap hari bisa mengolah sekitar 40 kilogram sampah organik,” kata Andi (48), Ketua RT 008 RW 06 Kebon Melati saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Rabu (24/12/2025).
Baca juga: Keluh Mata Elang Usai Aplikasi Matel Dihapus: Kami Tak Bisa Kerja Lagi
Pengolahan sampah tersebut telah berjalan sekitar lima tahun. Bagi Andi, sistem ini bukan sekadar program lingkungan, melainkan bagian dari upaya menjaga ruang hidup kampung di tengah tekanan pembangunan kota yang semakin masif.
“Sepanjang pengalaman saya keliling Jakarta, kebanyakan permukiman padat itu identik dengan kumuh. Tapi di sini tidak. Masuk ke wilayah ini rasanya seperti terapi,” ujar Andi.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=sampah, pengolahan sampah, Kebon Melati, indepth, maggot&post-url=aHR0cHM6Ly9tZWdhcG9saXRhbi5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yOS8xMjA5MTA5MS9rZWxvbGEtNDAta2ctc2FtcGFoLXBlci1oYXJpLXdhcmdhLWtlYm9uLW1lbGF0aS1iYW5ndW4tc2lzdGVtLWxpbmdrdW5nYW4=&q=Kelola 40 Kg Sampah Per Hari, Warga Kebon Melati Bangun Sistem Lingkungan Mandiri§ion=Megapolitan' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `RW 06 Kebon Melati berada di kawasan ring satu Jakarta, hanya sekitar satu kilometer dari Bundaran HI, dan diapit gedung-gedung tinggi kawasan Thamrin.
Namun, di balik bayang-bayang pencakar langit, kampung ini justru dikenal sebagai salah satu wilayah dengan pengelolaan lingkungan mandiri yang konsisten.
Dari Sampah Jadi SistemAndi menjelaskan, awal mula pengelolaan sampah di wilayahnya tidak terjadi secara instan.
Warga terlebih dahulu mengikuti program lingkungan yang digagas pemerintah pusat pada masa sebelumnya. Dari situ, kesadaran lingkungan perlahan tumbuh dan menular ke warga.
Saat ini, RW 06 memiliki delapan RT dengan sekitar 259 kepala keluarga (KK). Di RT 008 sendiri terdapat sekitar 70 KK.
Dengan jumlah warga tersebut, volume sampah harian tergolong besar jika tidak dikelola dengan baik.
Baca juga: Leasing: 95 Persen Kendaraan yang Ditindak Mata Elang di Jalan Sudah Pindah Kepemilikan
Pengolahan sampah organik menggunakan maggot menjadi salah satu solusi utama. Maggot yang digunakan adalah larva lalat Black Soldier Fly (BSF), yang mampu mengurai sisa makanan dan sampah organik dengan cepat.
“Saya sendiri ikut pelatihannya lalu mengajarkan ke warga. Memang tergantung cuaca, kadang telur maggot tidak menetas saat cuaca ekstrem. Tapi sekarang kondisinya sedang bagus,” kata Andi.
Hasil maggot tidak hanya mengurangi volume sampah, tetapi juga memberikan nilai ekonomi. Maggot dijual ke pemancing atau dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
“Maggot juga bisa dijual, misalnya ke pemancing, dan hasilnya jadi pemasukan warga yang mengelola,” ujar dia.
Kompos dan Siklus BerkelanjutanSelain maggot, warga RW 06 juga mengelola sampah melalui komposter. Sampah-sampah organik yang tidak dimasukkan ke maggot diolah menjadi pupuk kompos.
“Maggot ini memang harus berkelanjutan. Siklusnya begitu terus. Setelah kawin, lalatnya mati, lalu diolah jadi pupuk. Yang hidup bertelur lagi, jadi maggot lagi,” kata Andi.
Menurut dia, kompos yang dihasilkan membuat tanah di kampung menjadi lebih subur.
Hal ini terlihat dari banyaknya tanaman yang tumbuh di gang-gang sempit, pekarangan rumah, hingga bantaran waduk Melati.

:strip_icc()/kly-media-production/medias/4271482/original/011768900_1671856562-FOTO.jpg)


