FAJAR, JAKARTA — Lembaga Opini Hukum Publik (LOHPU) menilai wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada), dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi melalui DPRD, harus dibahas secara terbuka melalui Rembuk Nasional yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Direktur LOHPU, Aco Hatta Kainang, SH, menyatakan bahwa perdebatan mengenai sistem Pilkada merupakan isu fundamental ketatanegaraan yang tidak boleh diputuskan secara eksklusif oleh elite politik.
“Perubahan sistem Pilkada menyangkut langsung kedaulatan rakyat. Karena itu, tidak boleh hanya menjadi domain elite partai politik. Presiden perlu menginisiasi Rembuk Nasional yang melibatkan tokoh publik, organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi, LSM, dan mahasiswa,” ujar Aco Hatta dalam keterangan persnya, Rabu (29/1/2025).
LOHPU mencatat bahwa sejak diberlakukannya Pilkada langsung pada 2005 hingga Pilkada serentak 2024, sistem ini memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, secara global, tren demokrasi modern menempatkan pemilihan langsung sebagai bentuk paling ideal dari kedaulatan rakyat, meski membutuhkan energi dan biaya besar.
Aco mengingatkan bahwa upaya mengubah sistem Pilkada pernah terjadi pada 2014, ketika pemerintah dan DPR berencana mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Namun, rencana tersebut menuai penolakan luas dari publik dan akhirnya dibatalkan, yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2015.
Menurut LOHPU, berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah memberikan arah yang jelas terkait Pilkada. Di antaranya Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022, serta Putusan MK Nomor 110/PUU-XXII/2025 yang menegaskan bahwa Pilkada merupakan bagian dari rezim Pemilu. Selain itu, Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, yang wajib dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang.
“Secara filosofis, pemilu itu adalah langsung. Jika pemerintah dan DPR menilai Pilkada langsung menimbulkan biaya politik yang tinggi, maka yang harus dibenahi adalah regulasi dana kampanye, bukan menghilangkan hak rakyat untuk memilih,” tegas Aco.
LOHPU menilai tingginya biaya Pilkada bersumber dari praktik pergerakan calon dan tim sukses yang tidak tercatat, serta maraknya penggunaan dana ilegal. Kondisi ini, menurut LOHPU, bukan rahasia lagi dalam kontestasi Pilkada dan berpotensi melahirkan praktik balas jasa serta upaya pengembalian modal setelah terpilih.
“Oleh karena itu, perlu pengaturan khusus mengenai dana kampanye dalam sebuah undang-undang tersendiri agar Pilkada tetap demokratis dan berkeadilan,” katanya.
LOHPU berharap Rembuk Nasional dapat menjadi ruang partisipasi publik untuk memberikan masukan kepada negara dalam menentukan arah kebijakan sistem Pilkada ke depan.
“Tanpa proses rembuk nasional, perubahan ini akan bersifat eksklusif. Biarkan publik terlibat dan bersama-sama menentukan keputusan terbaik bagi bangsa,” pungkas Aco Hatta. (*/)





