JAKARTA, KOMPAS - Otoritas pajak mencatat penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital sejak dihimpun pada 1 Juli 2020 hingga 30 November 2025 telah mencapai Rp 44,55 triliun. Penerimaan tersebut mencerminkan kontribusi yang semakin besar dari aktivitas ekonomi berbasis digital terhadap pendapatan negara.
Penerimaan pajak digital tersebut berasal dari beberapa sumber. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) menjadi penyumbang terbesar dengan nilai Rp 34,54 triliun.
Selain itu, pemerintah juga mengantongi penerimaan dari pajak atas aset kripto sebesar Rp1,81 triliun, pajak fintech peer-to-peer lending sebesar Rp 4,27 triliun, serta pajak yang dipungut melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (Pajak SIPP) sebesar Rp 3,94 triliun.
Hingga November 2025, pemerintah telah menunjuk 254 perusahaan sebagai pemungut PPN PMSE. Pada bulan tersebut, terdapat tiga penunjukan baru, yaitu International Bureau of Fiscal Documentation, Bespin Global, dan OpenAI OpCo, LLC.
Pada saat yang sama, pemerintah juga mencabut satu penunjukan pemungut PPN PMSE terhadap Amazon Services Europe S.a.r.l.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Rosmauli, mengatakan realisasi penerimaan pajak digital sebesar Rp 44,55 triliun menunjukkan semakin besarnya peran ekonomi digital dalam mendukung penerimaan negara.
“Penunjukan pemungut PPN PMSE pada perusahaan yang bergerak di bidang kecerdasan buatan atau artificial intelligence mencerminkan perluasan basis ekonomi digital,” ujarnya dalam rilis yang disampaikan Senin (29/12/2025).
Pajak dari sektor fintech juga memberikan kontribusi signifikan dengan total penerimaan Rp 4,27 triliun hingga November 2025.
Rosmauli mengatakan bahwa hingga 30 November 2025 sebanyak 215 pemungut PMSE telah melakukan pemungutan dan penyetoran PPN PMSE.
Total setoran PPN PMSE yang terkumpul mencapai Rp 34,54 triliun. Setoran tersebut berasal dari Rp 731,4 miliar pada 2020, Rp 3,9 triliun pada 2021, Rp 5,51 triliun pada 2022, Rp 6,76 triliun pada 2023, Rp 8,44 triliun pada 2024, serta Rp 9,19 triliun sepanjang 2025.
Sementara itu, penerimaan pajak atas aset kripto hingga November 2025 tercatat sebesar Rp 1,81 triliun. Penerimaan ini berasal dari Rp 246,45 miliar pada 2022, Rp 220,83 miliar pada 2023, Rp 620,4 miliar pada 2024, dan Rp 719,61 miliar pada 2025.
Pajak kripto tersebut terdiri atas PPh Pasal 22 sebesar Rp 932,06 miliar dan PPN dalam negeri sebesar Rp 875,23 miliar.
Pajak dari sektor fintech juga memberikan kontribusi signifikan dengan total penerimaan Rp 4,27 triliun hingga November 2025. Penerimaan ini berasal dari Rp 446,39 miliar pada 2022, Rp 1,11 triliun pada 2023, Rp 1,48 triliun pada 2024, dan Rp 1,24 triliun pada 2025.
Penerimaan pajak fintech tersebut terdiri atas PPh Pasal 23 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap sebesar Rp 1,17 triliun, PPh Pasal 26 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri sebesar Rp 724,5 miliar, serta PPN dalam negeri.
Adapun penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital lainnya berasal dari Pajak SIPP. Hingga November 2025, penerimaan Pajak SIPP tercatat sebesar Rp3,94 triliun.
Penerimaan Pajak SIPP tersebut berasal dari Rp 402,38 miliar pada 2022, Rp 1,12 triliun pada 2023, Rp 1,33 triliun pada 2024, dan Rp 1,09 triliun pada 2025, yang terdiri atas PPh Pasal 22 sebesar Rp 284,42 miliar dan PPN sebesar Rp 3,65 triliun.
Di sisi lain, Dosen Departemen Akuntansi Universitas Gadjah Mada, Rijadh Djatu Winardi, menilai capaian tersebut memperlihatkan peran strategis ekonomi digital dalam menopang pendapatan negara. Namun, menurut dia, capaian ini juga membuka ruang diskusi terkait strategi pemungutan, keadilan fiskal, serta tantangan yang masih dihadapi pemerintah.
Rijadh mengatakan basis ekonomi digital akan terus berkembang dan memberi ruang tambahan bagi penerimaan negara. Karena itu, strategi ke depan perlu diarahkan pada perluasan basis pemungut PPN PMSE serta integrasi pajak digital ke dalam sistem perpajakan nasional yang lebih luas.
Ia juga menilai prospek penerimaan pajak digital masih kuat seiring dengan pertumbuhan transaksi ekonomi digital di Indonesia. Meski demikian, pemerintah tetap perlu mencermati kondisi makro, mengingat realisasi penerimaan pajak hingga November 2025 baru mencapai Rp 1.634 triliun atau sekitar 74,65 persen dari target outlook sebesar Rp 2.076,9 triliun.
“Tren pertumbuhan PPN PMSE menunjukkan konsumsi digital masyarakat masih tumbuh. Hal ini sejalan dengan proyeksi nilai transaksi ekonomi digital Indonesia atau Gross Merchandise Value yang diperkirakan mencapai 110 miliar dollar AS pada tahun ini,” ujarnya.
Ia menambahkan, digitalisasi sistem perpajakan melalui penerapan Coretax menjadi salah satu kunci keberhasilan pemungutan pajak digital. Sistem ini memungkinkan otoritas pajak memantau klasifikasi usaha dan nilai pendapatan secara lebih rinci, mempermudah pelaporan elektronik, serta memperkuat analisis data untuk mengidentifikasi potensi dan risiko pajak secara lebih akurat.



