Jakarta (ANTARA) - Tamiang. Sebulan lebih tiga hari yang lalu banjir bandang mendera daerah itu. Semua terendam, semua tenggelam. Puing peradaban dan material lumpur tinggi masih menyelimuti daerah tersebut.
Dari Medan, lebih kurang tiga jam perjalanan darat ke daerah paling parah diterjang banjir bandang tersebut. Negara, rakyat, dan relawan bersinergi merehab kota di pinggir sungai itu untuk kembali ke peradabannya.
Puluhan alat berat dan ribuan relawan berbagai instansi dikirim ke Tamiang untuk mengobati luka, memulihkan nestapa. Duka Tamiang adalah duka Nusantara, berhentilah menangis Tamiang kami.
"Awal bencana, hingga dua tiga hari, ada rasa bahwa Tamiang dibiarkan bangkit sendiri. Tapi kekinian kami tahu bahwa negara dan jajarannya, bangsa Indonesia tidak akan membiarkan Tamiang bangkit sendiri," ujar seorang guru SDIT, Wulandari.
Sudah banyak perubahan sepekan setelah bencana, kata pemerhati bencana banjir Aceh Tamiang, Khairian. Banyak daerah yang lumpurnya masih tinggi.
"Tapi sekarang, setelah Presiden dua kali datang dan BUMN bersatu padu berjibaku saat tanggap darurat dan masa transisi, banyak kemajuan. Termasuk telah mulai dibangun hunian sementara di dekat Masjid Darusaallam oleh BUM Karya, Himabara, Pertamina dan PLN," ujar Rian.
Tamiang merupakan daerah di timur Aceh, berada di sepanjang aliran Sungai Tamiang. Tanah Tamiang ini pernah menjadi saksi lahirnya salah satu peradaban Melayu tertua di Sumatera.
Jauh sebelum peta politik modern digambar, Tamiang telah hidup sebagai simpul perdagangan, budaya, dan keyakinan.
Hanya saja, seperti banyak peradaban besar lain, jejaknya kini terkubur perlahan, senyap oleh lumpur sungai dan waktu. Apalagi terpaan lumpur dahsyat 25 November 2025 itu. Butuh waktu lama untuk Tamiang pulih.
Dua kali, dan infonya mau ketiga kali Presiden RI Prabowo Subianto ke Tamiang. Dia ingin membersamai pulihnya negeri peradaban Melayu tua tersebut.
Semua sumber daya negara dikerahkan untuk memulihkan peradaban dan kehidupan di Tamiang.
Dari data sejarah, Sungai Tamiang pada abad 7 Masehi sudah melahirkan peradaban. Tamiang bukan sekadar aliran air. Ia adalah nadi kehidupan.
Di tepian sungai itulah, perkampungan awal Melayu tumbuh, perahu dagang bersandar, dan bahasa Melayu purba dipertukarkan bersama rempah, kapur barus, serta hasil hutan. Bahkan, jalur air ini menghubungkan pedalaman Sumatera dengan Selat Malaka, menjadikan Tamiang pintu masuk dunia luar.
Sumber literasi kuno menyebut wilayah itu ada di pesisir timur Sumatera yang makmur dan teratur. Bahkan, para sejarawan menduga, salah satunya, Tamiang merupakan kerajaan Melayu tua yang telah eksis sejak abad ke-7 Masehi.
Arsip alam
Tidak seperti Borobudur yang menjulang atau prasasti yang dipahat di batu, peninggalan Tamiang rapuh: kayu, tanah, dan tradisi lisan. Setiap banjir besar, Sungai Tamiang membawa lumpur yang menutup lapisan demi lapisan permukiman lama.
"Lumpur bukan sekadar bencana. Ia adalah kabar dari alam menyimpan sisa tiang rumah, jalur pelabuhan kuno, hingga artefak yang belum sepenuhnya terungkap," ujar Herdian, anak muda pegiat sejarah di Tamiang.
Menurut dia semua peradaban yang ditimbun lumpur, dulu, tanpa penggalian serius, lumpur juga menjadi penutup sejarah.
Tamiang juga menempati posisi unik dalam sejarah Islam Nusantara. Di Tamiang, Islam datang lebih awal, menyatu dengan adat Melayu. Para pedagang Arab dan Gujarat tidak hanya membawa barang dagangan, tetapi juga keyakinan.
"Tapak Islam awal ini tidak selalu berbentuk bangunan megah, tapi hidup secara turun temurun di sistem adat, bahasa, hukum keluarga, dan struktur kepemimpinan lokal. Semua itu diwariskan dari generasi ke generasi, meski fisik kerajaannya menghilang," ujar Herdian.
Sejarah tenggelam
Perubahan alur sungai, pendangkalan, dan perpindahan pusat ekonomi membuat Tamiang perlahan kehilangan perannya. Ketika Kesultanan Aceh Darussalam menguat dan kolonialisme datang, Tamiang pun menjadi daerah pinggiran.
Peradaban yang pernah berdiri di pusat lalu lintas dunia Melayu itu akhirnya tersisih. Rumah-rumah panggung berpindah, pelabuhan membisu, dan lumpur menutup jejak-jejak awal.
Meski peradabannya tak lagi tampak, identitas Melayu Tamiang tetap hidup dalam bahasa sehari-hari, adat istiadat, dalam pantun, petuah, dan hukum adat dan nilai-nilai Islam yang berakar kuat, namun bersahaja.
"Sampai kapan pun, Tamiang boleh saja kehilangan istana dan prasasti, tetapi tidak kehilangan jiwanya," ujar Rian, jebolan Universitas Sumatera Utara (USU).
Hari ini, Tamiang merupakan kabupaten yang terparah dihantam banjir bandang di Aceh. Daerah itu tetap dikenang bahwa di bawah tanahnya tersimpan cerita lama yang belum selesai ditulis.
Tanpa riset arkeologi, dokumentasi sejarah, dan kesadaran kolektif, peradaban Melayu awal ini akan terus terkubur, bukan hanya oleh lumpur, tetapi oleh lupa. Ayo Tamiang, tetap optimistis, meski sering diterjang bencana, tetap barakan semangat bangkit kembali menjadi peradaban Melayu kuno yang menjiwai anak muda Melayu modern kini.
Meski Tamiang ditimbun lumpur, tapi sejak dulu kala, Tamiang adalah pengingat bahwa tidak semua peradaban runtuh oleh perang. Bencana alam juga menjadi penyebab ditelannya peradaban, hilang secara perlahan oleh lumpur, air, dan waktu.
Meskipun demikian, selama cerita masih dituturkan, sejarah Tamiang tidak akan pernah benar-benar mati.
*) Adrian Tuswandi adalah Dewan Pengawas Perum LKBN ANTARA
Dari Medan, lebih kurang tiga jam perjalanan darat ke daerah paling parah diterjang banjir bandang tersebut. Negara, rakyat, dan relawan bersinergi merehab kota di pinggir sungai itu untuk kembali ke peradabannya.
Puluhan alat berat dan ribuan relawan berbagai instansi dikirim ke Tamiang untuk mengobati luka, memulihkan nestapa. Duka Tamiang adalah duka Nusantara, berhentilah menangis Tamiang kami.
"Awal bencana, hingga dua tiga hari, ada rasa bahwa Tamiang dibiarkan bangkit sendiri. Tapi kekinian kami tahu bahwa negara dan jajarannya, bangsa Indonesia tidak akan membiarkan Tamiang bangkit sendiri," ujar seorang guru SDIT, Wulandari.
Sudah banyak perubahan sepekan setelah bencana, kata pemerhati bencana banjir Aceh Tamiang, Khairian. Banyak daerah yang lumpurnya masih tinggi.
"Tapi sekarang, setelah Presiden dua kali datang dan BUMN bersatu padu berjibaku saat tanggap darurat dan masa transisi, banyak kemajuan. Termasuk telah mulai dibangun hunian sementara di dekat Masjid Darusaallam oleh BUM Karya, Himabara, Pertamina dan PLN," ujar Rian.
Tamiang merupakan daerah di timur Aceh, berada di sepanjang aliran Sungai Tamiang. Tanah Tamiang ini pernah menjadi saksi lahirnya salah satu peradaban Melayu tertua di Sumatera.
Jauh sebelum peta politik modern digambar, Tamiang telah hidup sebagai simpul perdagangan, budaya, dan keyakinan.
Hanya saja, seperti banyak peradaban besar lain, jejaknya kini terkubur perlahan, senyap oleh lumpur sungai dan waktu. Apalagi terpaan lumpur dahsyat 25 November 2025 itu. Butuh waktu lama untuk Tamiang pulih.
Dua kali, dan infonya mau ketiga kali Presiden RI Prabowo Subianto ke Tamiang. Dia ingin membersamai pulihnya negeri peradaban Melayu tua tersebut.
Semua sumber daya negara dikerahkan untuk memulihkan peradaban dan kehidupan di Tamiang.
Dari data sejarah, Sungai Tamiang pada abad 7 Masehi sudah melahirkan peradaban. Tamiang bukan sekadar aliran air. Ia adalah nadi kehidupan.
Di tepian sungai itulah, perkampungan awal Melayu tumbuh, perahu dagang bersandar, dan bahasa Melayu purba dipertukarkan bersama rempah, kapur barus, serta hasil hutan. Bahkan, jalur air ini menghubungkan pedalaman Sumatera dengan Selat Malaka, menjadikan Tamiang pintu masuk dunia luar.
Sumber literasi kuno menyebut wilayah itu ada di pesisir timur Sumatera yang makmur dan teratur. Bahkan, para sejarawan menduga, salah satunya, Tamiang merupakan kerajaan Melayu tua yang telah eksis sejak abad ke-7 Masehi.
Arsip alam
Tidak seperti Borobudur yang menjulang atau prasasti yang dipahat di batu, peninggalan Tamiang rapuh: kayu, tanah, dan tradisi lisan. Setiap banjir besar, Sungai Tamiang membawa lumpur yang menutup lapisan demi lapisan permukiman lama.
"Lumpur bukan sekadar bencana. Ia adalah kabar dari alam menyimpan sisa tiang rumah, jalur pelabuhan kuno, hingga artefak yang belum sepenuhnya terungkap," ujar Herdian, anak muda pegiat sejarah di Tamiang.
Menurut dia semua peradaban yang ditimbun lumpur, dulu, tanpa penggalian serius, lumpur juga menjadi penutup sejarah.
Tamiang juga menempati posisi unik dalam sejarah Islam Nusantara. Di Tamiang, Islam datang lebih awal, menyatu dengan adat Melayu. Para pedagang Arab dan Gujarat tidak hanya membawa barang dagangan, tetapi juga keyakinan.
"Tapak Islam awal ini tidak selalu berbentuk bangunan megah, tapi hidup secara turun temurun di sistem adat, bahasa, hukum keluarga, dan struktur kepemimpinan lokal. Semua itu diwariskan dari generasi ke generasi, meski fisik kerajaannya menghilang," ujar Herdian.
Sejarah tenggelam
Perubahan alur sungai, pendangkalan, dan perpindahan pusat ekonomi membuat Tamiang perlahan kehilangan perannya. Ketika Kesultanan Aceh Darussalam menguat dan kolonialisme datang, Tamiang pun menjadi daerah pinggiran.
Peradaban yang pernah berdiri di pusat lalu lintas dunia Melayu itu akhirnya tersisih. Rumah-rumah panggung berpindah, pelabuhan membisu, dan lumpur menutup jejak-jejak awal.
Meski peradabannya tak lagi tampak, identitas Melayu Tamiang tetap hidup dalam bahasa sehari-hari, adat istiadat, dalam pantun, petuah, dan hukum adat dan nilai-nilai Islam yang berakar kuat, namun bersahaja.
"Sampai kapan pun, Tamiang boleh saja kehilangan istana dan prasasti, tetapi tidak kehilangan jiwanya," ujar Rian, jebolan Universitas Sumatera Utara (USU).
Hari ini, Tamiang merupakan kabupaten yang terparah dihantam banjir bandang di Aceh. Daerah itu tetap dikenang bahwa di bawah tanahnya tersimpan cerita lama yang belum selesai ditulis.
Tanpa riset arkeologi, dokumentasi sejarah, dan kesadaran kolektif, peradaban Melayu awal ini akan terus terkubur, bukan hanya oleh lumpur, tetapi oleh lupa. Ayo Tamiang, tetap optimistis, meski sering diterjang bencana, tetap barakan semangat bangkit kembali menjadi peradaban Melayu kuno yang menjiwai anak muda Melayu modern kini.
Meski Tamiang ditimbun lumpur, tapi sejak dulu kala, Tamiang adalah pengingat bahwa tidak semua peradaban runtuh oleh perang. Bencana alam juga menjadi penyebab ditelannya peradaban, hilang secara perlahan oleh lumpur, air, dan waktu.
Meskipun demikian, selama cerita masih dituturkan, sejarah Tamiang tidak akan pernah benar-benar mati.
*) Adrian Tuswandi adalah Dewan Pengawas Perum LKBN ANTARA





