FAJAR, SURABAYA — Persebaya Surabaya resmi membuka babak baru. Penunjukan Bernardo Tavares sebagai pelatih kepala Super League 2025/2026 bukan sekadar pergantian nahkoda, melainkan deklarasi sikap: Green Force ingin kembali menjadi penantang serius dominasi Persib Bandung.
Di tengah hegemoni Maung Bandung yang kian mapan di bawah Bojan Hodak, Persebaya memilih jalan berbeda. Bukan pelatih dengan reputasi glamor atau belanja pemain mahal, melainkan seorang arsitek sepak bola yang percaya pada struktur, disiplin, dan kerendahan hati.
Bernardo Tavares, pelatih asal Portugal berusia 45 tahun, dipercaya sebagai suksesor Eduardo Perez. Keputusan ini menegaskan arah baru Persebaya—lebih terukur, lebih sistematis, dan lebih ideologis.
Pelatih dengan Identitas Kuat
Bagi publik sepak bola nasional, Bernardo Tavares bukan nama asing. Ia pernah menorehkan sejarah bersama PSM Makassar dengan menjuarai liga lewat skuad minim bintang, mayoritas pemain lokal, dan anggaran yang jauh di bawah klub-klub raksasa.
Tavares dikenal sebagai pelatih dengan pendekatan disiplin tinggi, struktur permainan ketat, dan komunikasi intens dengan pemain. Sepak bolanya bukan yang paling indah, tetapi sering kali efektif dan sulit ditaklukkan.
Persebaya melihat nilai itu sebagai modal utama untuk bersaing di liga yang kian timpang secara finansial.
Pengumuman resmi kehadiran Tavares disampaikan langsung melalui akun Instagram klub.
“Coach Bernardo Tavares is Green. Dia akan tiba di Surabaya dengan membawa seorang asisten. Seluruh tim kepelatihan yang ada saat ini juga akan terus men-support Coach Tavares di Persebaya.”
Pesan itu penting. Persebaya tak ingin revolusi total, melainkan transisi yang stabil. Kolaborasi, bukan pemutusan.
Duel Filosofi dengan Bojan Hodak
Masuknya Tavares otomatis menghadirkan narasi besar: pertarungan dua pendekatan sepak bola.
Di Bandung, Bojan Hodak membangun Persib dengan fondasi kekuatan finansial, kedalaman skuad, dan efisiensi hasil. Persib bermain pragmatis, solid, dan matang secara mental. Mereka tidak selalu dominan, tetapi tahu cara menang.
Sebaliknya, Tavares adalah simbol perlawanan terhadap logika uang. Dalam wawancaranya dengan media Portugal Sport Informas Sapo, ia pernah melontarkan kritik tajam soal ketimpangan anggaran di Liga Indonesia.
“Perbedaan anggaran dibandingkan dengan klub lain seperti Persija, Persib, atau Bali United sangat besar. PSM adalah klub recehan, sedangkan Persija adalah klub jutaan.”
Namun ia juga menambahkan kalimat yang menjadi filosofi hidupnya:
“Uang sangat membantu, tapi uang saja tidak cukup untuk memenangkan pertandingan.”
Kalimat itu kini menemukan panggung baru di Surabaya.
Pelajaran dari Makassar
Saat membawa PSM Makassar menjadi juara, Bernardo Tavares hanya memiliki segelintir pemain dengan pengalaman Eropa. Everton Nascimento dan Yuran Fernandes menjadi pengecualian, bukan norma.
Sisanya adalah pemain muda Indonesia yang tumbuh bersama sistem. Tidak banyak bintang. Tidak banyak nama besar. Yang ada hanyalah struktur dan kerendahan hati.
“Kunci keberhasilan mereka adalah kerendahan hati,” kata Tavares kala itu.
Nilai ini yang ingin ditanamkan di Persebaya—klub besar dengan basis suporter masif, tetapi kerap terjebak dalam ekspektasi instan.
Tantangan Nyata di Surabaya
Berbeda dengan PSM, tekanan di Persebaya jauh lebih besar. Bonek menuntut kemenangan, identitas, dan kebanggaan. Setiap hasil buruk bisa menjadi badai.
Tavares kini berada di persimpangan sulit: mempertahankan prinsipnya atau berkompromi dengan realitas klub besar.
Namun justru di titik inilah taruhannya menarik. Jika berhasil, Persebaya bukan hanya menjadi pesaing Persib, tetapi simbol bahwa liga ini masih bisa dimenangkan oleh ide, bukan sekadar uang.
Liga, Rivalitas, dan Harapan
Super League 2025/2026 pun mendapatkan narasi segar. Persib Bandung sebagai penguasa, Persebaya Surabaya sebagai penantang dengan filosofi berbeda.
Bojan Hodak melawan Bernardo Tavares.
Stabilitas modal melawan disiplin sistem.
Hegemoni melawan perlawanan.
Apakah Persebaya mampu memutus dominasi Persib? Jawabannya tidak instan.
Namun satu hal pasti: dengan Bernardo Tavares di pinggir lapangan, Persebaya tak datang untuk sekadar meramaikan. Mereka datang untuk menantang.




