GenPI.co - Myanmar mengadakan pemilu putaran pertama di bawah pengawasan pemerintah militer.
Dilansir AP News, Minggu (28/12), pemilu ini berlangsung di tengah perang saudara yang berkecamuk di berbagai wilayah.
Hasil akhir pemilu baru bisa diketahui setelah dua putaran berikutnya pada Januari.
Jenderal Senior Min Aung Hlaing, yang memerintah Myanmar sejak kudeta 2021, diperkirakan akan menjabat sebagai presiden.
Pemerintah militer menyebut pemilu ini sebagai langkah kembalinya Myanmar ke demokrasi.
Namun, absennya partai-partai oposisi dan laporan penggunaan ancaman untuk memaksa partisipasi pemilih menimbulkan keraguan akan legitimasi proses tersebut.
Meski 4.800 kandidat dari 57 partai bersaing untuk kursi legislatif nasional dan regional, hanya enam kandidat yang memiliki peluang nyata memperoleh pengaruh politik.
Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan yang didukung militer muncul sebagai pesaing terkuat.
Sebanyak 65 kota tidak ikut serta karena konflik bersenjata.
Berdasarkan penghitungan lokal di Yangon, partisipasi pemilih sangat rendah, hanya sekitar 37 persen.
Pemilih di Yangon mengaku memberikan suara dengan harapan perdamaian akan terwujud, sementara warga lain hadir karena diancam tentara dengan senjata.
Mantan pemimpin Aung San Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), tidak berpartisipasi.
Suu Kyi saat ini menjalani hukuman penjara 27 tahun.
Partainya dibubarkan pada 2023 karena menolak mendaftar sesuai aturan militer.
Partai-partai oposisi lain juga menolak ikut serta dan menyerukan boikot.
Kurangnya pilihan nyata dan represi terhadap kritik publik membuat pemilu ini dinilai sebagai teater politik.
"Pemilu yang diselenggarakan junta militer bukanlah pemilu, melainkan pertunjukan menyedihkan di bawah todongan senjata," kata Utusan Hak Asasi Manusia PBB untuk Myanmar Tom Andrews.
Konflik yang terjadi sejak kudeta 2021 telah menewaskan lebih dari 7.600 warga sipil dan 3,6 juta orang mengungsi. (*)
Simak video menarik berikut:




