Jakarta, VIVA – Cukup berisikonya inflasi pada awal tahun 2026 membuat Institute for Development of Economics and Finance (Indef), merekomendasikan kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mendorong sektor riil.
Direktur Pengembangan Big Data Indef, Eko Listiyanto menjelaskan, hal itu karena pihaknya memperkirakan bahwa inflasi tahun depan cukup berisiko, terutama pada kuartal I dan II-2026.
"Sehingga kami berharap instrumen moneter juga punya peran kepada sektor riil, khususnya kalau yang mau disasar adalah inflasi pangan,” kata Eko dalam Diskusi Publik Indef, Senin, 29 Desember 2025.
- VIVA/Fikri Halim
Sebagai refleksi, Eko menjelaskan bahwa inflasi pada November 2025 masih terjaga dalam rentang target Bank Indonesia (BI), dengan realisasi 2,72 persen secara year-on-year (yoy) pada rentang target 2,5 +/- 1 persen.
Namun, Dia mencermati bahwa tren inflasi sepanjang 2025 cenderung menunjukkan peningkatan, dengan catatan historis 0,76 persen (yoy) pada Januari hingga 2,72 persen (yoy) pada November 2025.
Eko menilai, tren tersebut berbeda dengan catatan 2024 yang cenderung menurun, dari 2,57 persen (yoy) pada Januari hingga 1,57 persen pada Desember 2024. Melihat tren tersebut, Indef memperkirakan inflasi akan melampaui level 3 persen pada 2026.
Apabila ditinjau dari sisi kebijakan moneter, Eko berpendapat bahwa ruang untuk menurunkan suku bunga oleh BI makin menyempit. Sementara dari sisi fiskal, suku bunga diharapkan dapat turun lebih rendah.
“Tapi dari sisi stabilitas, dengan tren inflasi yang naik dari awal tahun sampai saat ini, menggambarkan tahun depan tren akan berlanjut,” ujar Eko.
Selain itu, lanjut Eko, ada faktor musiman yang bisa mendorong inflasi, terutama terkait pangan. Memasuki awal tahun, curah hujan yang tinggi dapat memengaruhi pasokan dan distribusi. Sedangkan pada kuartal I-2026 terdapat momentum lebaran yang biasanya menaikkan kebutuhan pangan.
“Sehingga kecenderungan inflasi akan naik itu harus diatasi. Itu juga sekaligus merefleksikan bahwa agak sulit sepertinya suku bunga akan turun lebih jauh lagi di 2026, khususnya triwulan I dan II, karena situasi inflasinya seperti ini,” ujarnya.





