Indonesia dikenal sebagai negara maritim dengan garis pantai yang sangat panjang. Kondisi ini menjadikan laut sebagai sumber utama produksi garam nasional. Namun hingga kini, sektor garam masih menghadapi persoalan klasik, dimana sangat bergantung pada cuaca, waktu produksi yang lama, serta kualitas garam yang belum stabil. Akibatnya, kebutuhan garam dalam negeri belum sepenuhnya terpenuhi dan impor masih menjadi solusi.
Di berbagai daerah pesisir, petambak garam mengembangkan beragam cara untuk mengatasi tantangan tersebut. Ada yang menggunakan kolam tanah, kolam berlapis plastik HDPE, hingga memanfaatkan batang kelapa sebagai media kristalisasi. Beberapa petambak bahkan merebus air tua berkadar garam tinggi demi mendapatkan kristal yang lebih putih. Meski tekniknya berbeda, prinsip dasarnya tetap sama, yakni mengandalkan panas matahari untuk menguapkan air laut. Tantangan terbesarnya pun seragam, bagaimana menghasilkan garam berkualitas secara konsisten di tengah cuaca yang kian sulit diprediksi.
Di balik kolam-kolam garam itu, ternyata ada “pekerja” mikroskopis yang jarang dibicarakan, yaitu halofilik arkea. Mikroorganisme ini mampu hidup pada lingkungan dengan kadar garam sangat tinggi, bahkan dengan kandungan garam hingga 30 persen. Salah satu ciri khasnya adalah pigmen merah bernama bacterioruberin, yang membantu melindungi sel dari radiasi ultraviolet sekaligus mendukung adaptasi di lingkungan ekstrem.
Menariknya, pigmen merah ini memberi manfaat tidak langsung bagi proses produksi garam. Warna merah pada kolam mampu menyerap panas matahari lebih efektif, sehingga laju penguapan air laut meningkat. Dampaknya, waktu panen bisa lebih singkat dan proses produksi garam menjadi lebih efisien pada kondisi cuaca yang sama. Selain itu, keseimbangan komunitas mikroorganisme halofilik juga berperan dalam membentuk kristal garam yang lebih murni.
Di sisi lain, halofilik arkea membutuhkan mineral seperti magnesium dan kalium untuk bertahan hidup. Dalam industri garam, mineral ini sering dianggap sebagai pengotor karena dapat menimbulkan rasa pahit. Keberadaan arkea justru membantu mengikat dan mengurangi mineral-mineral tersebut, sehingga kualitas garam yang dihasilkan menjadi lebih baik.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pendekatan berbasis bioteknologi lokal dengan memanfaatkan mikroorganisme alami di tambak garam, dapat berpotensi meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi secara berkelanjutan. Pendekatan ini tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga sejalan dengan praktik dan kearifan lokal petambak.
Pada akhirnya, halofilik arkea memberi pelajaran penting: peningkatan produksi garam tidak selalu harus bergantung pada teknologi mahal. Terkadang, solusi justru sudah ada di tambak itu sendiri, berwarna merah, tak kasat mata, namun bekerja tanpa lelah membantu manusia.




