jpnn.com - Anggota DPR RI Azis Subekti mengatakan insiden pengibaran bendera bulan bintang atau diduga umbul-umbul Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Lhokseumawe, seharusnya dibaca dengan kacamata empati.
"Ia bukan semata persoalan simbol, melainkan ekspresi kegelisahan sosial yang belum sepenuhnya tertangani," kata Azis dalam keterangan persnya, Senin (29/12).
BACA JUGA: Panglima TNI Bakal Tindak Tegas Pihak yang Kibarkan Bendera GAM saat Bencana
Legislator fraksi Gerindra itu menuturkan simbol seperti bendera biasanya dipakai warga untuk meluapkan kekecewaan atas ketidakadilan.
"Sejarah banyak wilayah pascakonflik menunjukkan bahwa ketika kesejahteraan tertinggal, simbol sering menjadi bahasa terakhir untuk menyampaikan rasa kecewa," kata Azis.
BACA JUGA: Kisah Nenek Elina Diusir dari Rumah oleh Samuel dan Pria Berbaju Madas Malika
Belakangan, pengibaran bendera GAM menuai sorotan publik setelah TNI merepresi aksi tersebut.
Azis mengingatkan menjaga perdamaian Aceh tidak cukup hanya dengan pendekatan keamanan setelah ditandatangani Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki.
BACA JUGA: Soal Pengibaran Bendera GAM di Aceh, Pengamat: Sinyal Ketidakpuasan
"Negara perlu hadir secara lebih manusiawi melalui pendekatan kesejahteraan yang konsisten dan berkeadilan," ujarnya.
Azis mengatakan perdamaian di Aceh bisa direalisasikan dengan komitmen pemerintah pusat menjalankan janji di MoU Helsinki.
Terlebih lagi, Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem menyebut realisasi komitmen pemerintah pusat terhadap MoU Helsinki baru mencapai 35 persen.
"Integrasi ekonomi mantan kombatan, melalui kepastian lahan, pekerjaan, dan penghidupan yang layak, bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan fondasi utama bagi perdamaian jangka panjang. Mereka yang merasa memiliki masa depan akan menjadi penjaga damai yang paling tulus," katanya.
Azis menuturkan upaya memenuhi butir dalam MoU Helsinki menunjukkan negara hadir memenuhi janji ke warga.
"Negara yang menepati janji akan menumbuhkan kepercayaan, sebaliknya, janji yang terus tertunda hanya akan meninggalkan jarak emosional antara rakyat dan kekuasaan," kata dia. (ast/jpnn)
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Aristo Setiawan


