jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Kebijakan Publik Yanuar Wijanarko menilai darurat sampah nasional yang terjadi di berbagai daerah pada akhir 2025 tidak bisa dipandang semata sebagai kegagalan teknis pemerintah daerah.
Menurutnya, krisis ini mencerminkan persoalan struktural yang berakar pada rendahnya kesadaran kolektif masyarakat dalam mengelola sisa konsumsi.
BACA JUGA: Soal Krisis Sampah di Tangsel, Benyamin Davnie: Ini Beban Moral Bagi Saya
“Dalam perspektif kebijakan publik, persoalan sampah adalah ketidakseimbangan antara laju produksi limbah dengan kapasitas sosial masyarakat dalam mengelolanya. Selama tanggung jawab sepenuhnya dibebankan kepada negara, sementara perilaku konsumsi warga tidak berubah, sistem apa pun akan selalu berada dalam kondisi defisit,” ujar Yanuar pada Senin (29/12).
Kondisi tersebut tercermin dari kolapsnya sejumlah fasilitas pengelolaan sampah di berbagai wilayah.
BACA JUGA: Pengolahan Sampah di Tangsel Bisa Lanjut, Perpres 109 Tak Berlaku Surut
Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Jakarta, menerima lebih dari 8.000 ton sampah per hari dan telah melampaui kapasitas ideal.
Timbunan sampah dilaporkan mencapai lebih dari 50 meter dan memicu antrean truk pengangkut hingga belasan jam.
BACA JUGA: PGN Kedungturi Mampu Kelola 4,9 Ton Sampah Anorganik
Di Tangerang Selatan, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang mengalami kelebihan beban hingga 100 persen dan berisiko mencemari Sungai Cisadane.
Sementara, TPA Sarimukti di Jawa Barat membatasi operasional akibat ancaman longsor, dan TPA Piyungan di DI Yogyakarta direncanakan tutup permanen pada Januari 2026 karena sisa kapasitas yang tinggal di bawah 10 persen.
Yanuar menilai, titik lemah utama pengelolaan sampah nasional terletak pada rendahnya pemilahan sampah sejak dari sumber.
Tanpa pemilahan di tingkat rumah tangga, seluruh rantai pengelolaan—mulai dari pengangkutan hingga pemrosesan akhir—menjadi tidak efisien dan berbiaya tinggi.
“Pemilahan sampah harus diposisikan sebagai kebijakan berbasis perubahan perilaku, bukan sekadar imbauan moral. Negara-negara yang berhasil mengatasi persoalan sampah menunjukkan bahwa disiplin warga menjadi fondasi utama sistem,” ujarnya.
Dia mencontohkan Jepang sebagai salah satu negara yang berhasil membangun sistem pengelolaan sampah berbasis kedisiplinan publik.
Di sejumlah wilayah, seperti Kamikatsu, warga diwajibkan memilah sampah hingga puluhan kategori. Hasilnya, lebih dari 80 persen limbah berhasil didaur ulang atau diolah kembali sebelum masuk ke fasilitas akhir.
“Teknologi di Jepang bekerja optimal karena input sampahnya sudah terpilah dengan baik sejak dari rumah. Tanpa kesadaran itu, teknologi secanggih apa pun tidak akan efektif,” kata Yanuar.
Selain Jepang, Yanuar juga menyoroti Swedia yang hampir tidak lagi bergantung pada tempat pembuangan akhir. Sekitar 99 persen sampah domestik di negara tersebut berhasil dimanfaatkan kembali, sebagian besar melalui sistem waste-to-energy, sehingga hanya sekitar 1 persen yang berakhir di TPA.
Contoh lain datang dari Korea Selatan. Melalui kebijakan pay-as-you-throw dan penggunaan smart bins berbasis teknologi RFID, negara tersebut mampu mendorong perubahan perilaku warga.
Saat ini, hampir seluruh sampah makanan di Korea Selatan berhasil didaur ulang, sehingga secara signifikan menekan beban fasilitas pembuangan akhir.
Sementara, Jerman menerapkan skema tanggung jawab produsen dan sistem deposit kemasan, yang membuat lebih dari 65 persen sampah rumah tangga masuk ke proses daur ulang. Kebijakan tersebut mendorong keterlibatan aktif produsen dan konsumen dalam siklus pengelolaan limbah.
“Pelajaran dari negara-negara itu jelas. Investasi infrastruktur penting, tetapi tidak akan pernah cukup tanpa perubahan perilaku masyarakat. Jika pemilahan sampah belum menjadi kebiasaan sosial, maka perluasan TPA atau pembangunan fasilitas baru hanya akan menunda krisis,” ujarnya.
Menurut dia, darurat sampah nasional seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan reformasi menyeluruh, dimulai dari tingkat rumah tangga.
"Tanpa perubahan tersebut, persoalan sampah akan terus berulang seiring pertumbuhan kota dan konsumsi penduduk," katanya. (flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi




