- KPK menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman, karena kendala pembuktian kerugian negara.
- Kasus yang bermula 2017 ini melibatkan dugaan korupsi perizinan tambang nikel yang berpotensi rugikan negara Rp2,7 triliun.
- Keputusan SP3 muncul meskipun pimpinan KPK periode sebelumnya mengklaim telah ada kecukupan bukti suap pada 2017.
Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengakui tingginya ekspektasi publik terhadap penuntasan kasus dugaan korupsi sektor pertambangan yang menyeret nama mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman. Namun, lembaga antirasuah menegaskan bahwa setiap proses penegakan hukum tetap harus berpijak pada kecukupan alat bukti.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyatakan bahwa kasus yang berkaitan dengan sumber daya alam dan lingkungan memang selalu menjadi sorotan masyarakat karena dampaknya yang luas, baik secara ekonomi maupun ekologis.
"KPK memahami harapan tinggi publik dalam pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam dan lingkungan, terutama karena dampak masif yang ditimbulkan. Tidak hanya besarnya kerugian keuangan negara, namun juga berpotensi mengakibatkan kerusakan pada kelestarian lingkungan," ujar Budi Prasetyo kepada para jurnalis di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Senin (29/12/2025).
Meski demikian, Budi menegaskan bahwa penyidikan tidak bisa dilepaskan dari prinsip pembuktian yang sah. Dalam kasus Aswad Sulaiman, KPK menghadapi kendala utama terkait perhitungan kerugian negara.
Menurut Budi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tidak dapat menghitung secara pasti nilai kerugian keuangan negara akibat dugaan korupsi perizinan tambang tersebut. Kondisi ini menyebabkan tidak terpenuhinya alat bukti yang dibutuhkan untuk melanjutkan perkara ke tahap penuntutan.
Akibat keterbatasan tersebut, KPK akhirnya memutuskan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap kasus yang telah bergulir sejak 2017 itu.
"KPK tetap membuka diri terhadap setiap saran dan masukan masyarakat karena kami menyadari pemberantasan korupsi adalah upaya kolektif," katanya.
Sebagaimana diketahui, KPK menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka pada 4 Oktober 2017. Ia diduga terlibat dalam praktik korupsi terkait pemberian izin kuasa pertambangan eksplorasi dan eksploitasi, serta izin usaha pertambangan operasi produksi di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, sepanjang 2007–2014.
Dalam konstruksi perkara, KPK sebelumnya menduga tindakan Aswad Sulaiman menyebabkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,7 triliun. Kerugian tersebut diduga berasal dari penjualan hasil produksi nikel yang diperoleh melalui proses perizinan yang melawan hukum.
Baca Juga: Bambang Widjojanto Ingatkan KPK Tak Tunda Penetapan Tersangka karena Perhitungan Kerugian Negara
Selain dugaan kerugian negara, KPK juga menyoroti dugaan penerimaan suap. Aswad Sulaiman disebut menerima aliran dana hingga Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan yang mengajukan izin kuasa pertambangan pada periode 2007–2009.
Dalam proses penyidikan, KPK juga sempat memeriksa sejumlah saksi penting. Salah satunya Andi Amran Sulaiman yang kini menjabat Menteri Pertanian. Amran diperiksa pada 18 November 2021 dalam kapasitasnya sebagai Direktur PT Tiran Indonesia, terkait kepemilikan tambang nikel di Konawe Utara.
Upaya penegakan hukum sempat berlanjut hingga rencana penahanan Aswad Sulaiman pada 14 September 2023. Namun rencana tersebut batal dilakukan karena Aswad Sulaiman dilarikan ke rumah sakit.
Akhirnya, pada 26 Desember 2025, KPK secara resmi mengumumkan penghentian penyidikan kasus tersebut karena tidak ditemukan kecukupan bukti untuk melanjutkan perkara ke pengadilan.
Namun, keputusan tersebut memunculkan respons berbeda dari pimpinan KPK periode sebelumnya. Pada 28 Desember 2025, Laode Muhammad Syarif menyatakan bahwa perkara tersebut sebenarnya telah memiliki kecukupan bukti, khususnya untuk dugaan suap.
Menurut Laode, pada 2017 proses hukum telah berjalan dengan dasar bukti yang memadai, sementara penghitungan kerugian negara kala itu masih dalam proses oleh BPK RI. Pernyataan tersebut kembali memantik perdebatan publik mengenai arah dan konsistensi penanganan kasus korupsi besar di sektor pertambangan.




