Kebumen selalu punya cara untuk terasa hangat, tapi bagi keluarga kami, kehangatan itu berasal dari sebuah kuali besar di sudut warung nasi Padang sederhana milik Ibu. Di etalase kaca yang sedikit buram oleh uap panas, berjejer rapi rendang yang bumbunya meresap hingga menghitam, gulai nangka yang lembut, dan sambal ijo yang selalu segar. Bagi orang asing, ini hanyalah tempat untuk mengisi perut. Namun bagi saya dan saudara kembar saya, Faiz, warung ini adalah monumen keteguhan seorang perempuan yang menolak menyerah pada nasib.
Warung ini dulunya adalah panggung utama Ayah, seorang perantau Minang yang memilih menetap di Kebumen. Namun, sejak Ayah berpulang beberapa tahun lalu, lampu panggung itu seolah redup. Ibu, seorang perempuan asli Jawa yang awalnya hanya membantu Ayah, tiba-tiba harus berdiri sendirian di depan kuali. Tanpa latar belakang kuliner Minang, ia memikul beban yang berat: menjaga perut kami tetap kenyang sekaligus menjaga warisan Ayah tetap hidup.
Menjemput Ingatan dalam BumbuSaat saya mencoba mengulik kembali masa-masa sulit itu, Ibu terdiam sejenak. Tangannya yang nampak kasar karena bumbu dan detergen, sesekali menyeka peluh di dahi. Bagi Ibu, bulan-bulan awal tanpa Ayah adalah periode paling sunyi sekaligus paling berat. Ia tidak hanya kehilangan pendamping hidup, tapi juga kehilangan "kompas" dalam menjalankan usaha.
Menariknya, Ayah tidak meninggalkan buku resep formal yang rapi. Semuanya ada di kepala Ayah. Maka, satu-satunya cara Ibu bertahan adalah dengan menjemput kembali ingatan-ingatan saat ia memperhatikan Ayah memasak dulu.
"Ibu itu dulu nggak tahu bedanya lengkuas sama kunyit, De," kenang Ibu sambil tersenyum tipis. "Waktu Ayah meninggal, Ibu cuma mikir satu hal: kalau warung ini tutup, Faiq dan Faiz sekolah pakai apa? Ibu nekat saja. Setiap malam sebelum tidur, Ibu cuma bisa duduk diam, mengingat-ingat lagi takaran bumbu yang dulu sering Ibu lihat kalau Ayah lagi masak. Ibu bayangin berapa genggam cabainya, seberapa banyak santannya, sampai urutan bumbu mana yang masuk duluan ke kuali. Semuanya Ibu reka-reka sendiri di kepala."
Ibu tidak memungkiri bahwa di awal perjuangannya, banyak pelanggan yang kecewa. "Ada yang bilang rasanya jadi aneh, ada yang bilang kurang pedas. Ibu nangis di dapur, tapi tangan Ibu nggak boleh berhenti mengaduk. Kalau Ibu berhenti, mimpi Ayah buat kalian juga ikut berhenti," tambahnya dengan suara yang sedikit bergetar.
Mata dan Tangan yang Tak Pernah LelahFaiz, kembaran saya, adalah saksi paling setia dari perubahan peran Ibu. Sebagai anak yang sehari-hari membantu di warung, Faiz melihat bagaimana Ibu bertransformasi menjadi tulang punggung yang tak kenal lelah. Menurutnya, kekuatan Ibu bukan pada ototnya, melainkan pada konsistensinya.
"Ibu itu bangun jam empat pagi, saat udara Kebumen masih dingin-dinginnya," tutur Faiz saat kami duduk di bangku panjang warung setelah jam tutup. "Kadang saya kasihan lihat tangan Ibu yang sering pecah-pecah karena kena sambal dan sabun cuci setiap hari. Tapi kalau saya tawari buat istirahat, jawabannya selalu sama: 'Nanggung, sebentar lagi kelar'. Bagi saya, warung ini bukan cuma tempat cari uang, tapi cara Ibu buat tetap 'ngobrol' sama almarhum Ayah lewat masakan."
Faiz juga menceritakan prinsip kejujuran yang selalu ditekankan Ibu. "Ibu paling anti curang sama bumbu. Meskipun harga cabai di pasar lagi gila-gilaan, Ibu nggak mau ngurangin takaran. Kata Ibu, pembeli itu titipan Tuhan, jangan sampai mereka kecewa," tuturnya.
Keteguhan Ibu dalam menjaga rasa bahkan melampaui urusan takaran. Meski berada jauh di Jawa Tengah, Ibu tetap bersikeras menggunakan bahan-bahan otentik yang tidak bisa ditemukan di pasar lokal Kebumen. "Ini yang orang nggak banyak tahu. Meskipun Ayah sudah nggak ada, Ibu masih rutin memesan bumbu dan bahan asli dari Padang. Dikirim langsung dari sana setiap beberapa bulan sekali," tambah Faiz.
Bagi Ibu, menggunakan bahan kiriman langsung adalah cara terbaik untuk menghormati standar yang dulu ditetapkan Ayah. "Ibu selalu bilang, resep boleh diingat-ingat, tapi bahan jangan sesekali dikhianati. Kejujuran itu bumbu yang nggak ada di catatan mana pun, tapi Ibu yang menambahkannya sendiri ke dalam kuali kami."
Lebih dari Sekadar Nasi PadangHari ini, warung kecil itu tetap bertahan di tengah munculnya kafe-kafe modern di Kebumen. Pelanggan lama tetap kembali, bukan hanya karena rendangnya yang empuk, tapi karena ada rasa kekeluargaan yang disajikan di atas piring.
Bagi saya, setiap suapan nasi yang saya makan adalah hasil dari keberanian seorang perempuan yang bangkit dari keterpurukan. Ibu membuktikan bahwa menjadi kuat tidak selalu harus bersuara lantang. Terkadang, kekuatan itu hadir dalam bentuk daster yang bau asap kayu bakar, peluh yang menetes di depan kompor panas, dan senyum tulus saat menyajikan piring terakhir di penghujung hari.
Di balik aroma rendang yang menyengat, tersimpan kisah cinta yang tak pernah usai. Ibu tidak hanya menyajikan makanan; ia menyajikan ketabahan, satu piring demi satu piring, demi masa depan kami—anak-anaknya.





