Paradoks kelimpahan (paradox of plenty) menjelaskan kenyataan pahit bahwa negara atau daerah yang berlimpah anugerah sumber daya alam justru sering gagal mengkonversi kelimpahannya menjadi kemakmuran yang inklusif. Jangankan mendorong pembangunan, ketergantungan pada sumber daya alam malah memacu ketimpangan dan kemiskinan, rusaknya kelembagaan, dan memaksimisasi kerentanan terhadap guncangan ekonomi dan ekologi. Inilah fenomena kutukan sumber daya alam (resource curse) yang awalnya digagas oleh Richard Auty lebih 30 tahun lalu, berdasarkan studinya dengan referensi enam negara kaya mineral (Peru, Bolivia, Chile, Jamaika, Zambia, dan Papua Nugini).
Tesis Auty tersebut tampak makin kehilangan abstraksinya, bukan karena salah tetapi justru karena makin terbukti kebenarannya. Ironisnya, paradoks kelimpahan tersebut merupakan kenyataan telanjang yang kini mengepung bentangan negara khatulistiwa kita. Bila merujuk kalkulasi Bank Dunia, rente sumber daya alam Indonesia tahun 2021 adalah 5,157% dari Produk Domestik Bruto (PDB)—lebih tinggi dari persentase global (3,1%). Total rente tersebut adalah penjumlahan dari rente minyak bumi, gas, batubara, mineral dan hutan. Dengan semakin maraknya ekstraksi sumber daya alam, baik mineral maupun tanaman produksi, di dua dekade terakhir, sangat mungkin rente tersebut sudah jauh lebih tinggi. Dari sisi anggaran, negara memperoleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) berkisar Rp299,5 triliun (2023) dan Rp 269,5 triliun (2024), belum ditambah PPN, pajak ekspor, dan PPh Badan.
Di tengah akumulasi rente itulah, kerentanan sosial-ekonomi terus berlangsung. Dengan standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas, penduduk miskin Indonesia mencapai 194,4 juta orang (68,2%). Paradoks kelimpahan ini makin kentara di daerah-daerah tempat rente sumber daya alam diekstraksi. Berdasarkan data BPS per Maret 2025, tingkat kemiskinan di Sumatra, Sulawesi, Maluku-Papua cenderung mendekati atau bahkan lebih tinggi dari tingkat kemiskinan nasional. Aceh, yang saat ini banyak daerahnya masih porak-poranda akibat banjir bandang buah dari eksploitasi alam, berada di peringkat pertama di Sumatra dalam hal persentase penduduk miskin. Di seluruh provinsi di Papua tingkat kemiskinan bahkan berlipat kali dari tingkat kemiskinan nasional. Buruknya distribusi pendapatan dan tingkat pengangguran di banyak provinsi yang kaya sumber alam menambah bukti bahwa paradoks kelimpahan itu benar-benar terjadi.
Jeffrey Sachs dan Andrew Warner menemukan bahwa perekonomian yang banyak mengandalkan rente sumber alam cenderung lamban melakukan diversifikasi dan kinerja pembangunan jangka panjangnya juga lemah, khususnya manakala kapasitas kelembagaannya tidak memadai. Evaluasi oleh Bank Dunia juga menyebutkan bahwa pertumbuhan yang dipacu sumber alam justru dapat mendorong meningkatnya kerentanan jangka panjang. Sudah tentu, ini terjadi ketika aktivitas ekstraktif merusak tanah, hutan, serta sistem perairan yang sangat terkait dengan kehidupan masyarakat di situ. Artinya, kendatipun ada rente yang diperoleh, namun hasilnya adalah hancurnya daya tahan alam, ekonomi, dan sosial.
Di sinilah economic complexity, yang menunjuk pada keragaman dan kecanggihan kapasitas produksi, menjadi penting. Ini tidak hanya krusial bagi daya tahan ekonomi, tetapi juga dapat menjadi semacam penawar pahitnya relasi antara ketergantungan sumber alam dan ketimpangan dan kemiskinan. Jadi, kalau suatu negara dapat membangun industri yang canggih dan kompleks, maka kekayaan alam dimungkinkan untuk menyejahteraan rakyat secara lebih merata.
Data Harvard Growth Lab menunjukkan Indeks Kompleksitas Ekonomi (ECI) Indonesia tahun 2023 adalah -0,24 berada di peringkat 72 dari 145 negara, membaik dari peringkat 74 di tahun 2018 namun relatif masih tertinggal dibandingkan banyak negara lain. Diketahui bahwa hilirisasi ditempatkan sebagai kebijakan untuk keluar dari jebakan sebagai penjual bahan mentah saja. Dari sisi investasi dan pertumbuhan ekonomi daerah, hilirisasi tampak sangat progresif. Ekonomi Maluku Utara dan Sulawesi Tengah, sebagai sentra nikel, tumbuh spektakuler, namun ironisnya kemiskinan di daerah ini masih juga tinggi. Ini menandakan bahwa hilirisasi belumlah menyejahterakan masyarakat luas, paradoks kelimpahan masih juga terjadi.
Hilirisasi yang inklusif dan menuju economic complexity hanya mungkin terjadi jika ada fondasi pengetahuan dan manusia yang berkualitas. Cina dirangkul erat sebagai investor utama hilirisasi sumber daya alam Indonesia, tetapi Indonesia luput belajar bagaimana negara tirai bambu ini menyiapkan pijakan kuat bagi aktivitas produksi mereka yang beragam dan canggih. Studi yang ada mencatat bahwa industri Cina tidak dibangun di atas pasir. Di tahun 1950-an, Cina telah mengubah total sistem pendidikan tingginya bukan hanya dengan membentuk pendidikan-pendidikan spesialis terutama teknik, pertanian, dan medis, tetapi juga sampai merelokasi pendidikan tinggi mendekati lokasi-lokasi produksi industri. Intervensi ini baru memberikan hasil di akhir 1970-an, ketika reformasi pasar dimulai, termasuk dari sisi mobilitas tenaga kerja, dan manfaatnya terus berlanjut justru sampai pada level daerah. Sedangkan pendidikan tinggi di Indonesia terus tersentral di Jawa dan kebijakannya pun masih terasa sporadis.
Implikasi kebijakannya adalah bahwa pendidikan tinggi dapat menjadi alat pembangunan berbasis wilayah. Namun transfer pengetahuan dan ketersediaan tenaga kerja yang mumpuni hanya akan berdampak baik bila ada ekosistem bisnis yang memungkinkan perusahaan untuk tumbuh, melakukan rekrutmen tenaga kerja berkualitas, berinovasi serta berkompetisi secara sehat. Dan jejak kemajuan yang jauh lebih persisten dan sinambung justru datang dari investasi di sumber daya manusia, bukan dari subsidi atau relaksasi yang diberikan pemerintah kepada industri.
Dengan kata lain, mendorong economic complexity melalui hilirisasi sulit untuk terjadi secara substansial dan inklusif, bila tidak ditopang fondasi pengetahuan dan manusia yang ahli dan terampil. Hilirisasi hanya menjadi wajah baru dari pola ekstraksi lama. Bila masih doyan “menggali tanah” ketimbang “mengolah otak dan pengetahuan”, maka paradoks kelimpahan akan tetap menjadi kutukan tanpa ada penawarnya.


