Tahun 2025 dimulai dengan tingkat skeptisisme publik yang tinggi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Berbagai survei menunjukkan, lembaga legislatif itu menjadi salah satu institusi yang paling tidak dipercaya publik baik dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran, maupun pengawasan. Kini, satu tahun telah berlalu, setidaknya empat masa sidang pun telah dijalani, kinerja DPR belum menunjukkan perbaikan yang berarti.
Evaluasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) sepanjang 1 Januari—8 Desember 2025 menunjukkan lemahnya konsistensi pada agenda prioritas, capaian legislasi yang rendah, serta minimnya transparansi dalam proses pembentukan undang-undang.
Dalam fungsi legislasi, persoalan sudah muncul sejak tahap perencanaan. Kendati Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025 sudah ditetapkan sejak akhir November 2024, pimpinan DPR dua kali mengubahnya pada 18 Februari dan 23 November 2025.
Sebanyak dua perubahan itu salah satunya dilakukan untuk mengakomodasi revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dengan perubahan tersebut, jumlah rancangan undang-undang (RUU) di Prolegnas Prioritas 2025 yang semula berjumlah 41 RUU pun bertambah menjadi 52 RUU.
Akan tetapi, penambahan RUU di Prolegnas Prioritas 2025 tidak sejalan dengan jumlah RUU yang tuntas dibahas hingga disetujui menjadi undang-undang (UU) oleh DPR dan pemerintah. Dari 52 RUU, hanya sembilan yang telah dibahas dan disetujui untuk menjadi UU.
“Dari capaian legislasi 2025 itu, terdapat catatan (mengenai) rendahnya komitmen pada prioritas legislasi yang mana dari sembilan RUU itu, dua RUU diketahui bukan dari daftar Prolegnas Prioritas 2025,” kata Bugivia Maharani, Peneliti PSHK, dalam diskusi “Catatan Akhir Tahun PSHK tentang Kinerja Legislasi Tahun 2025” di Jakarta, Senin (22/12/2025).
Rendahnya komitmen terhadap Prolegnas Prioritas, kata Bugivia, bukan pertama kali terjadi melainkan tren yang konsisten. Sejak 2020, persentase jumlah RUU yang tuntas dibahas dan disetujui menjadi UU berkisar antara 8—20 persen dari total RUU di Prolegnas Prioritas tahunan.
“Penetapan target legislasi yang terlampau ambisius ini juga berulang sejak periode DPR pertama pasca-Reformasi, yang mana akhirnya kritik publik kembali terbukti bahwa prolegnas hanya dijadikan sebagai daftar keinginan, bukan arah politik legislasi dari DPR dan pemerintah,” tuturnya.
Selain tak konsisten terhadap Prolegnas Prioritas Tahunan, kinerja legislasi DPR sepanjang 2025 juga minim transparansi. PSHK juga memantau ketersediaan dokumen seperti draf dan naskah akademik dari setiap RUU yang diunggah di situs resmi DPR, www.dpr.go.id. Hasilnya, mayoritas RUU yang ada di Prolegnas Prioritas 2025 tidak dilengkapi dengan draf dan naskah akademik yang diunggah ke situs itu.
Bahkan, dari sembilan RUU yang sudah disetujui menjadi UU hanya satu yang dilengkapi draf RUU dan naskah akademik, yakni UU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. UU lain yang dilengkapi draf RUU adalah UU TNI. Akan tetapi, draf RUU itu pun baru diunggah ke situs DPR pada hari yang sama dengan persetujuan pengesahan RUU TNI menjadi UU.
Ihwal transparansi kerja DPR kian bermasalah karena lambannya pemutakhiran informasi di situs DPR. Dari sejumlah RUU yang dibahas, ada beberapa yang disertai dokumen terkait pembahasan yang diunggah tetapi mayoritas tidak. Dokumen terkait pembahasan yang diunggah umumnya berasal dari paparan yang disampaikan masyarakat dalam rapat dengar pendapat umum, bukan catatan rapat atau sidang yang menampilkan dinamika dan perdebatan di antara para anggota legislatif.
“Dari seluruh RUU yang ada di Prolegnas Prioritas 2025, sebanyak 87,5 persen tidak dilengkapi dengan draf RUU dan naskah akademik, 71,4 persen tidak dilengkapi dengan dokumen sidang, dan setidaknya ada 11 RUU dengan status yang tidak sesuai dengan kondisi faktual hasil evaluasi Baleg (Badan Legislasi DPR) dengan yang ada di kanal resmi website DPR,” tutur Bugivia.
Akibatnya, pembahasan sejumlah RUU pun menuai kritik publik. Catatan Kompas, salah satu yang menjadi perhatian publik adalah pembahasan RUU TNI. RUU TNI dinilai bermasalah karena melanggar asas keterbukaan dalam proses legislasi, tidak melalui Prolegnas, dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Oleh karena itu, belum sampai dua bulan setelah RUU TNI disetujui untuk disahkan menjadi UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI, sudah ada setidaknya 14 gugatan uji materi yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan itu diajukan berbagai pihak, termasuk mahasiswa, masyarakat sipil, dan karyawan swasta.
Peneliti PSHK yang juga pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Gita Putri Damayana, melanjutkan, sepanjang 2024—2025 terdapat lebih dari 100 RUU yang diajukan menjadi RUU kumulatif terbuka. Adapun RUU kumulatif terbuka adalah RUU tertentu yang dapat diajukan di luar Prolegnas karena kebutuhan mendesak.
“Dari tahun 2024—2025 sebetulnya kita punya ledakan RUU kumulatif terbuka soal pembentukan wilayah. Kenapa saya bilang ledakan? Karena di tahun 2025, (RUU) pembentukan wilayah baru itu sampai 100 angkanya. Itu belum pernah ada presedennya di Indonesia. Dan di tahun 2025, ada 10 RUU kumulatif terbuka (juga soal pembentukan wilayah),” ungkap Gita.
Berdasarkan penelitiannya, Gita melanjutkan, pembahasan setiap RUU kumulatif terbuka memiliki bujet sebesar Rp 500 juta. Oleh karena itu, meski semula bukan bagian dari Prolegnas, RUU yang masuk di kumulatif terbuka umumnya disusun secara lebih serius oleh DPR dan pemerintah, yakni dengan studi langsung ke wilayah terkait serta dilengkapi diskusi dengan para narasumber lokal. Artinya, ada perlakuan berbeda antara RUU kumulatif terbuka yang memiliki anggaran besar ketimbang RUU lain, terutama yang didorong oleh masyarakat, misalnya, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat.
Ia pun memprediksi, ke depan tren pembahasan RUU kumulatif terbuka masih akan berlanjut secara masif. Apalagi, dalam dokumen Badan Keahlian Dewan (BKD) yang ia dapatkan, terdapat catatan bahwa pada 2025 sebenarnya ada 116 RUU kumulatif terbuka yang perlu dibahas.
“Kita jadi patut bertanya, apakah DPR dan pemerintah sedang bertransformasi menjadi pabrik pemekaran wilayah administratif? Apakah kita mengorbankan informasi hukum yang substantif demi mengejar setoran UU kabupaten/kota batu?” tutur Gita.
Ia menegaskan, hal tersebut kontras dengan pernyataan Ketua DPR Puan Maharani yang berulang kali menyampaikan bahwa pihaknya memprioritaskan kualitas ketimbang kuantitas dalam kerja legislasi. Untuk itu, publik memiliki ruang untuk menagih janji DPR mengutamakan kualitas legislasi ketimbang mengejar banyaknya yang dituntaskan.
“Volume RUU kumulatif terbuka dan revisi sembrono UU TNI telah menjadi preseden yang berbahaya dan kita berisiko menormalisasi proses legislasi yang mengasingkan publik dan mengabaikan data,” kata Gita.
Oleh karena itu, menjelang 2026 evaluasi menyeluruh terhadap proses pembuatan undang-undang menjadi kebutuhan mendesak. Legislasi semestinya tidak sekadar menjadi target administratif, tetapi juga instrumen kebijakan publik yang menentukan arah demokrasi dan kepentingan masyarakat. Tanpa perbaikan dalam ranah konsistensi, transparansi, serta partisipasi publik yang bermakna, krisis kepercayaan terhadap DPR berpotensi kian menguat.
Menanggapi penilaian masyarakat sipil terkait kinerja DPR, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR Eddy Soeparno menyatakan, proses pembuatan undang-undang tidak serta merta dilakukan dengan cepat. Pembahasan rancangan undang-undang, lanjutnya, juga dilakukan sesuai urgensi dan harus berhati-hati.
“Di satu pihak memang melihat proses legislasi ini tidak serta merta bisa dilakukan secara cepat agar kami bisa melibatkan masyarakat dalam partisipasinya. Kalau bicara secara cepat, tentu nanti akan mendapatkan kritikan karena tidak ada unsur partisipatif,” ujarnya di Kompleks Senayan, Jakarta, Senin (29/12/2025).
Wakil Ketua MPR itu menegaskan, kritik dari masyarakat sipil hingga unjuk rasa masyarakat memrotes produk legislasi ini menjadi catatan agar proses penyusunan UU ke depan bisa sesuai dengan harapan. Dia juga tidak menginginkan produk legislasi yang sudah dibentuk kemudian ditolak oleh publik melalui pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi.
“Kami akan sangat berhati-hati. Jangan sampai nanti pembahasan yang sudah dilaksanakan begitu lama, begitu panjang, terpaksa mentah kembali. Jangan sampai nanti kami salah melangkah, tidak melibatkan publik, dan bisa saja nanti menjadi bagian dari evaluasi publik melalui MK,” ujarnya.




