JAKARTA, KOMPAS.com - Pagi yang cerah menyelimuti wilayah Menteng, Jakarta Pusat, pada Senin (29/12/2025).
Deretan ruko beratap merah bata di sepanjang Jalan Surabaya berdiri rapat, memanjang sekitar 450 meter, membentuk lorong waktu di tengah kota yang terus bergerak cepat.
Dari balik pintu-pintu besi gulung yang sebagian dipenuhi grafiti, aroma kayu tua dan besi berkarat menyeruak, seolah mengundang siapa pun yang melintas untuk berhenti sejenak dan menoleh ke masa lalu.
Baca juga: Gratis dan Lepas Stres, Warga Jakarta Pilih Mancing di Kali yang Tercemar Limbah
Berdasarkan pengamatan Kompas.com, terdapat sekitar 202 pintu toko yang berjajar di kawasan ini.
Hampir seluruh kios memajang barang-barang antik, mulai dari patung kayu etnik, porselen bergaya Eropa dan Tiongkok, hingga lampu gantung kristal berusia puluhan tahun.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=barang antik, indepth, Pedagang barang antik, Jalan Surabaya Menteng, jalan surabaya di jakarta&post-url=aHR0cHM6Ly9tZWdhcG9saXRhbi5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8zMC8xMjU3NDU1MS9qYWxhbi1zdXJhYmF5YS1sb3Jvbmctd2FrdHUtYmFyYW5nLWFudGlrLXlhbmctYmVydGFoYW4tZGktdGVuZ2FoLXNlcGlueWE=&q=Jalan Surabaya, Lorong Waktu Barang Antik yang Bertahan di Tengah Sepinya Pembeli§ion=Megapolitan' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Ruang-ruang sempit di dalam kios dipenuhi barang yang tersusun rapat, sebagian tertutup debu, sebagian lain dipoles agar tetap memancarkan kilaunya.
Kaset-kaset pita dari berbagai generasi musik tersusun rapi. Barang-barang yang bagi sebagian orang tak lagi memiliki fungsi, di sini justru menjadi penanda zaman, fragmen sejarah yang bertahan di tengah modernitas Jakarta.
Tak hanya barang elektronik, Jalan Surabaya juga dikenal sebagai surga kerajinan tangan. Topeng-topeng kayu berukir detail, alat musik tradisional, hingga kain tenun bermotif rumit tergantung di depan kios.
Kesan pasar loak yang semrawut perlahan berganti menjadi galeri terbuka yang tertata.
Di balik wajah rapi Jalan Surabaya hari ini, tersimpan sejarah panjang yang dijaga para pedagang lama.
Fauzy (77), pedagang barang antik di kios nomor 199, adalah salah satunya. Selama 50 tahun, ia menyaksikan kawasan ini tumbuh dari lapak sederhana hingga menjadi pasar resmi.
“Kalau dibandingkan pasar loak lain, ini memang lebih tertata karena bentuknya toko,” kata Fauzy saat ditemui Kompas.com di tokonya.
Baca juga: Pantai Cilincing Menghilang, Terkubur Gunungan Limbah Kulit Kerang
“Tapi dulu belum seperti sekarang. Masih gerobak-gerobak, lapak terbuka,” lanjutnya.
Menurut Fauzy, pada awalnya hanya segelintir orang yang berani berjualan di sini.
“Yang berani paling tiga atau empat orang di ujung sana. Belum pakai pintu toko,” ujar dia mengenang.
Seiring waktu, lapak bertambah, bangunan permanen dibangun, dan pasar ini kemudian diresmikan. Kini, seluruh kios berizin dan berada di bawah naungan organisasi pedagang.
Fauzy sendiri mulai berdagang di Jalan Surabaya pada 1974. Perantau asal Bukittinggi, Sumatera Barat, itu mengaku awalnya tak memiliki pengetahuan soal barang antik.
“Dulu malah dagang sayur. Semua dipelajari sambil jalan,” kata dia.
Barang yang ia jual berasal dari rumah-rumah orang yang pindahan atau tak lagi membutuhkan barang lama.
“Saya enggak punya koleksi pribadi. Sistemnya jual-beli,” ujar Fauzy.
Sepi yang Menggerus HarapanKejayaan Jalan Surabaya kini tinggal cerita. Dalam lima tahun terakhir, pasar ini kian sepi.
Baca juga: Ramai Desakan Pembongkaran Menara Saidah, Ini Fakta Hukum dan Risikonya

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5402736/original/012713600_1762270978-IMG_4324.jpg)



