Pantau - Rencana pemerintah menaikkan bauran biodiesel dari B40 ke B50 mendapat sorotan tajam dari kalangan ekonom dan petani sawit, yang menilai kebijakan tersebut perlu didahului oleh evaluasi menyeluruh atas dampak ekonomi dan kesiapan industri.
Pernyataan ini disampaikan dalam menanggapi implementasi Amanat Presiden No. 132 Tahun 2024 terkait mandatori energi baru terbarukan berbasis sawit.
Kepala Pusat Pangan Energi dan Pembangunan Berkelanjutan INDEF, Abra Talattov, mengingatkan agar pemerintah tidak terburu-buru melangkah ke B50 tanpa mengevaluasi pelaksanaan B30 dan B40 sebelumnya.
Risiko terhadap Petani dan Keuangan Dana SawitKetua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (POPSI), Mansuetus Darto, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa implementasi B50 dapat berujung pada pengalihan dana BPDPKS secara besar-besaran untuk subsidi biodiesel, sementara kebutuhan riil petani justru terabaikan.
Menurutnya, dana sawit seharusnya difokuskan untuk peremajaan kebun rakyat, pelatihan, pembangunan infrastruktur, dan pemenuhan standar sertifikasi ISPO, bukan hanya untuk mendukung kepentingan industri hilir.
“Kebijakan biodiesel harus adil, adaptif, dan tidak merugikan petani sawit. Jangan sampai mandatori energi malah menekan sektor hulu yang menopangnya,” ungkapnya.
Usulan Kebijakan AlternatifSebagai solusi, para ekonom dan perwakilan petani mengusulkan agar subsidi biodiesel difokuskan hanya untuk sektor Public Service Obligation (PSO), seperti transportasi umum, dengan batas maksimal Rp4.000 per liter.
INDEF juga merekomendasikan penggunaan sistem fleksiblending, di mana B30 dijadikan batas bawah dan tingkat bauran bisa dinaikkan ke B40 atau B50 tergantung pada dinamika harga minyak sawit mentah (CPO) dan bahan bakar fosil global.
Selain itu, pendekatan bauran energi perlu dikaitkan langsung dengan produktivitas nasional sektor sawit, bukan semata karena tuntutan bauran energi atau alasan fiskal jangka pendek.
Evaluasi menyeluruh dianggap penting agar kebijakan B50 benar-benar memberikan dampak positif, berkelanjutan, dan inklusif bagi seluruh pelaku industri, terutama petani kecil yang selama ini menjadi fondasi utama pasokan CPO nasional.

