Posisi tawar publik dalam relasinya dengan negara dalam setahun terakhir terbilang cukup dominan. Setidaknya dalam merespons beragam problem yang terjadi, suara publik yang terekspresikan dalam kanal-kanal media sosialnya mampu mendeterminasi kondisi yang dipersoalkan.
Becermin yang terjadi dalam beragam peristiwa sebelumnya, tahun 2026 akan menjadi ruang waktu yang menantang bagi penyelenggara negara. Diperkirakan masih akan terjadi riak-riak polemik di kalangan warganet dalam merespons setiap kebijakan yang dikeluarkan. Simpul pergunjingan isu lingkup nasional umumnya berkutat pada aktor-aktor kunci negara, di antaranya presiden dan wakil presiden, jajaran menteri, DPR, Polri, serta TNI.
Sejatinya, reaksi warganet yang tertuju kepada penyelenggara negara merupakan bentuk kontrol dari masyarakat terhadap penguasa. Dalam kondisi demikian, adu narasi antara warganet dan aparatur pemerintahan pun menjadi hal yang lumrah.
Contoh konkret terkini terkait polemik banjir dan tanah longsor di tiga provinsi di Sumatera. Terdapat narasi aparat negara yang menyatakan bahwa tidak ada wilayah terdampak bencana yang sulit dijangkau atau terisolasi. Sebaliknya, narasi dari warganet dengan menampilkan video kondisi di lapangan, yang berusaha menunjukkan situasi sesungguhnya yang tidak dilihat oleh negara.
Masih dari peristiwa yang sama, pejabat negara menyampaikan bahwa ”kondisi dampak bencana tidak separah yang beredar di media sosial”. Sontak menuai sanggahan dan ujaran negatif dari warganet. Padahal, media pers pun sudah memberitakan secara cepat situasi di lapangan yang terbilang genting dan cenderung tak terkendali. Ada desa atau daerah terdampak yang terisolasi hingga menyulitkan evakuasi korban dan penyaluran bantuan.
Bisa jadi, narasi negara dalam kasus ini bertujuan baik, disusun sedemikian rupa untuk menenangkan masyarakat, khususnya yang terkena bencana sembari melancarkan tindak penanganan. Namun, persoalan justru memanen reaksi yang sebaliknya, tidak lagi menenangkan justru terkesan meremehkan kondisi yang sesungguhnya terjadi.
Dalam jangka panjang, komunikasi publik semacam ini justru akan mengikis kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara. Bahkan, pada tingkatan lanjut bisa jadi masyarakat dunia pun mempertanyakan kebenaran pernyataan resmi dari Pemerintah Indonesia.
Potret dunia maya sepanjang 2025 mengindikasikan hal demikian, yang melibatkan institusi negara semacam Polri dan TNI. Pada artikel analisis Litbang Kompas yang berjudul ”Rapor Merah Warganet untuk Institusi Kepolisian, Sentimen Negatif Mencapai 89 Persen” mengungkapkan, keterpurukan citra polisi di mata warganet.
Hal tersebut dipicu oleh peristiwa terlindasnya Affan Kurniawan, pengantar makanan daring yang tewas dilindas oleh mobil Brimob yang melintas. Begitu pula sentimen negatif terjadi karena tindak kekerasan personel Polri terhadap warga sipil. Beredar video pemukulan dan berbagai tindak kekerasan terhadap pengunjuk rasa yang memprotes fasilitas dan kemewahan yang diterima anggota DPR. Aksi massa pada akhir Agustus 2025 itu meletus di beberapa wilayah di Indonesia.
Lain halnya dengan TNI. Bermula dari disahkan UU TNI yang baru pada 20 Maret 2025. Ketentuan yang paling signifikan berubah terkait dengan penambahan tugas pokok TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga sipil serta perubahan batas usia pensiun. Intinya, militer semakin terlibat di kehidupan sipil. Isu ini dipandang oleh warganet sebagai kemunduran yang dikhawatirkan mengembalikan fungsi militer dalam urusan masyarakat sipil seperti Era Orde Baru.
Meneropong 2026, polemik di ruang media sosial di Indonesia sangat berpotensi terjadi di sepanjang tahun. Pasalnya, negara dalam rezim pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming terbilang agresif melahirkan kebijakan dan beragam program prioritas yang langsung bersentuhan dengan kehidupan masyarakat.
Di mata publik, segenap program prioritas pemerintahan sebenarnya dipandang positif. Litbang Kompas melalui ”Kompas Monitoring”, misalnya, merekam sebanyak 804.357 data percakapan di media sosial pada periode 20 Oktober 2024-20 Oktober 2025. Hasilnya, 42 persen pengguna sosial media mengungkapkan sentimen positif terhadap setahun usia pemerintahan Prabowo-Gibran. Sebaliknya, yang menilai negatif sebanyak 30 persen.
Apabila dielaborasi lebih jauh, dari sekitar delapan program prioritas pemerintahan, mayoritas disikapi secara positif. Hanya program pemberantasan korupsi yang terbilang lebih banyak penilaian sisi negatifnya. Selain itu, program-program seperti Pengecekan Kesehatan Gratis, Sekolah Rakyat, Swasembada Pangan, Hilirisasi & Industrialisasi, serta Koperasi Merah Putih, disikapi positif.
Dari beragam kebijakan prioritas yang ditampilkan, di tahun 2026 diperkirakan tidak luput dari perdebatan publik, yang khususnya menyoroti level pelaksanaan dari kebijakan tersebut. Beberapa bara yang siap menyulut komentar dan kritik tajam dapat diprediksi. Salah satunya adalah keberlanjutan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Program yang dianggarkan hingga Rp 335 triliun ini masih dipertanyakan realisasinya. Pencermatan di tahun 2025, program MGB memperoleh 50 persen sentimen positif, 28 persen netral, dan 22 persen negatif. Program ini menyandang sentimen positif kedua terendah dibandingkan delapan program prioritas lainnya. MBG masih berpotensi menjadi pergunjingan panas sepanjang tahun 2026. Pertaruhannya sangat besar. Anggaran berlipat lebih dari tujuh kali, sementara anggaran tahun 2025 pun baru terserap sekitar setengah dari yang disediakan.
Selain dari sisi program pemerintah, terdapat pula sejumlah persoalan yang bakal mendapat reaksi di tahun 2026. Dari sisi DPR, sederet rancangan undang-undang yang memasuki masa pembahasan pun berpotensi menyulut pro-kontra. Agenda legislasi DPR tahun depan akan bertumpu pada Prolegnas Prioritas 2026 yang per keputusan Paripurna 23 September 2025 berisi 67 RUU. Salah satunya adalah RUU Pemilu yang meninjau kembali UU No 7 tentang Pemilu. Dalil yang diajukan sehingga UU Pemilu perlu direvisi antara lain beban penyelenggaraan pemilu dipandang berat dan rumit, serta rentang tindak kecurangan.
Produk legislatif lainnya yang disusulkan terkait RUU Penyadapan. Undang-undang dimaksudkan untuk mengatur praktik penyadapan oleh penegak hukum. Namun, ada risiko melanggar privasi masyarakat dan berpotensi disalahgunakan. Perdebatan sengit akan terjadi antara prioritas penegakan hukum dan hak privasi tiap individu harus dilindungi.
Selain dari kubu DPR, pihak MPR pun mulai mengembuskan sinyal-sinyal untuk mengamendemen UUD 1945. Bagi MPR, peluang amendemen Undang-Undang Dasar 1945 tidak tertutup. Meski demikian, amendemen harus melalui kajian yang matang. Sementara itu, sejumlah pakar hukum tata negara melihat tak ada urgensi untuk melakukan amendemen saat ini (Kompas, 25/10/2025).
Sinyal amendemen kembali menyeruak pada awal Desember 2025 ketika Ketua MPR Ahmad Muzani bertemu Presiden Prabowo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (2/12/2025). Dalam pertemuan itu, rencana amendemen turut disinggung, tetapi masih pada tahap diskusi awal. MPR dijadwalkan akan menggelar pertemuan khusus dengan Presiden untuk membahasnya lebih jauh.
Apabila isu seputar amendemen UUD 1945 berlanjut, diprediksi akan menjadi salah satu topik panas dalam jagat maya di tahun 2026. Namun, wacana untuk melakukan amendemen semacam ini sebenarnya bukanlah persoalan baru di era reformasi. Pada tahun 2022 di era pemerintahan Presiden Joko Widodo pun tersiar wacana demikian, yang redup setelahnya.
Hasil pencermatan terhadap ekspresi warganet dalam kanal media sosial tampak jika polemik persoalan yang memicu kegaduhan tidak lepas dari pola komunikasi jajaran pemerintahan.
Nama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia dipandang sebagai penyebab kelangkaan stok BBM di SPBU swasta sejak akhir September 2024. Terkini, nama Bahlil pun dikaitkan dengan bencana banjir dan tanah longsor yang menerjang tiga provinsi di Pulau Sumatera. Tak hanya Bahlil, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni pun turut terkena getah dari bencana yang meluluhlantakkan sebagian wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Selain itu, ada pula wacana pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 8 persen di tahun 2026. Wacana tersebut dilontarkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Argumen yang mendasari supaya meningkatkan konsumsi masyarakat demi mengejar perbaikan kondisi ekonomi nasional. Perbincangan soal PPN ini semula menjadi topik memanas di akhir 2024, yang kala itu diwacanakan soal kenaikan PPN menjadi 12 persen. Pada akhirnya, PPN 12 persen hanya dikenakan terhadap barang mewah saja. Sekali lagi, isu seputar PPN berpotensi memanaskan perbincangan di kalangan warganet, tetapi kali ini adalah rencana menurunkan, bukan menaikkan nilai pajak.
Tindak tanduk dan tutur kata pejabat negara acapkali memicu keributan di kalangan warganet karena menilai bahwa cara bersikap dan berucap para pejabat yang menyinggung rakyat. Terkait ucapan pejabat negara, ada segudang contoh peristiwa sepanjang 2025.
Warganet sempat menyoroti Menteri Keuangan Purbaya yang menyinggung soal tuntutan 17+8. Purbaya berujar bahwa tuntutan tersebut merupakan suara sebagian kecil rakyat. Keesokan harinya Purbaya mengklarifikasi ucapannya dengan menyampaikan, ”Bukan sebagian kecil. Maksudnya begini, ketika ekonomi agak tertekan, banyak kan masyarakat yang merasa susah, bukan sebagian kecil ya. Mungkin sebagian besar kalau sudah sampai turun ke jalan,” di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (9/9/2025).
Contoh lainnya, belakangan kembali mencuat potongan video pidato Presiden Prabowo yang menyerukan bahwa sawit adalah pohon yang berdaun. Momen pidato tersebut terjadi pada 30 Desember 2024, saat memberi arahan pada Musrenbangnas RPJMN 2025-2029 di kantor Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Jakarta.
Ucapan soal sawit ”punya daun” diucapkan dalam konteks mendukung perluasan lahan sawit terekam di siaran resmi dan diberitakan luas setelah acara itu. Belakangan, pidato Prabowo tersebut dikaitkan dengan bencana banjir dan tanah longsor yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Alih fungsi lahan menjadi kebun sawit dan aktivitas penambangan liar dituding jadi biang keladinya.
Bola panas lainnya yang masih bersangkutan dengan jajaran menteri adalah ketegasan presiden terhadap para pembantunya. Bagi warganet, diperlukan pemberlakuan reward and punishment yang tegas dan tepat. Bukan sekadar mengakomodasi kepentingan berbagai pihak. Bagi publik, melalui kanal media sosial yang dikelolanya hanya mampu melontarkan ekspresi satir, berupa konten perbandingan situasi di Indonesia dengan negara lain. Komparasi satir terkini, yang terbilang keras menyodorkan konten berita Perdana Menteri Thailand Anutin Charnvirakul mencopot Kepala Distrik Hat Yai Eak Young-Apai Na Songkhla karena tidak dapat dihubungi selama krisis banjir.
Dari rekaman peristiwa sepanjang 2025 ini, tampaknya tahun 2026 akan menguji kedewasaan penyelenggara negara dan juga warganet. Media sosial menjadi ruang ekspresi sekaligus ruang kontrol publik terhadap penguasa. Setiap kata, gestur, dan kebijakan dari presiden serta aparat di lapangan akan direspons secara spontan dan dibandingkan dengan fakta di lapangan. Ingatan komunal warganet begitu kuat. Narasi yang tidak dibangun di atas data disertai empati akan mudah dipatahkan oleh bukti situasi sesungguhnya di lapangan.
Agar ”adu narasi” antara warganet dan pemerintah bisa diolah menjadi suatu perdebatan yang produktif, tampaknya beberapa persyaratan berikut wajib dipenuhi, yaitu (1) kebijakan berbasis data dan open data yang dapat diaudit publik; (2) komunikasi yang jujur, konsisten, dan cepat, mengakui masalah sembari menjelaskan solusi; (3) akuntabilitas yang nyata: koreksi cepat, sanksi jelas, dan perbaikan terukur. Apabila semua ini dijalankan, riak di linimasa 2026 akan menjadi energi produktif bagi bangsa ini. (LITBANG KOMPAS)



