Sepanjang 2025, DPR berulang menjadi sorotan publik. Berulang pula unjuk rasa digelar di hadapan para wakil rakyat yang berkantor di Senayan, Jakarta. Keresahan publik dipantik pembahasan undang-undang yang terburu-buru dan tak selaras dengan aspirasi publik.
Tak jarang pula, keresahan dipicu pernyataan dan sikap sejumlah wakil rakyat yang tak peka dengan kondisi masyarakat. Di luar itu, beberapa kali DPR juga menjadi sasaran kemarahan publik karena kebijakan pemerintah.
“Parlemen jalanan” timbul sebagai saluran pelampiasan kekecewaan publik. “Parlemen jalanan” sekaligus menandai jarak yang kian menganga antara wakil rakyat dan mereka yang diwakilinya. Situasi itu semestinya menjadi cermin bagi DPR untuk berbenah.
Perbaikan tak cukup berhenti pada retorika keterbukaan. Perbaikan harus memperkuat fungsi representasi, mendengar dan berdialog sebelum memutuskan. Perbaikan harus pula diwujudkan lewat proses legislasi yang transparan, partisipatif, dan sensitif terhadap denyut persoalan publik.
Ketua DPR Puan Maharani berulang menyatakan DPR tengah bertransformasi memperbaiki diri. Pascademonstrasi Agustus 2025, DPR menggulirkan narasi transformasi kelembagaan. Ia menegaskan, komitmen itu bukan semata reaksi atas demonstrasi, melainkan niat serius seluruh pimpinan dan fraksi.
DPR juga tengah mengkaji urgensi dan efektivitas sejumlah kebijakan agar tidak lagi memicu polemik di publik. Moratorium perjalanan luar negeri anggota DPR, misalnya, masih diberlakukan. Soal perpanjangan, Puan menyebut akan melihat perkembangan ke depan. Ia menegaskan kunjungan luar negeri tidak mungkin ditiadakan sepenuhnya, tetapi akan dibatasi.
Evaluasi tunjangan anggota DPR juga akan dilakukan. Menurut Puan, tunjangan yang tidak perlu akan dihapus. Namun, tunjangan perumahan masih akan dikaji karena banyak anggota DPR dari daerah tidak memiliki tempat tinggal di Jakarta setelah rumah dinas di Kalibata dikembalikan ke pemerintah.
“Banyak hal yang harus kami pikirkan dan diskusikan. Perlu waktu, tidak mungkin instan. Tidak benar kalau semua anggota DPR dianggap tidak bekerja. Banyak yang betul-betul bekerja untuk rakyat,” ujar Puan.
DPR juga terlihat mulai lebih berhati-hati berbicara di ruang publik. Sejumlah anggota dewan mengakui merasa “deg-degan” setiap bertemu wartawan, khawatir pernyataannya memicu kegaduhan baru atau dipelintir maknanya. Banyak yang memilih menghindar, menyadari bahwa satu kalimat saja dapat berdampak panjang, bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga keluarga dan lembaganya.
Puan mengakui pentingnya empati dalam komunikasi publik. Menurutnya, anggota DPR tidak bisa sembarangan memilih kata karena sekecil apa pun pernyataan, rakyat tetap membutuhkan empati.
Peneliti senior Pusat Riset Politik BRIN, Lili Romli, memandang rangkaian peristiwa yang melanda DPR merupakan akumulasi kekecewaan rakyat. Menurutnya, DPR dinilai tidak aspiratif dan akuntabilitasnya terhadap publik menurun. Padahal, harapan masyarakat begitu tinggi saat pemilu.
“Setelah terpilih, langkah dan kebijakan DPR justru melukai hati publik. Maka wajar jika muncul ekspresi kemarahan,” kata Lili.
Kemudian, alih-alih memperbaiki diri, sebagian anggota DPR justru merespons kritik dengan sikap defensif dan arogansi, termasuk mempertanyakan legitimasi kritik publik. Sikap itu, ditambah perilaku tidak etis sejumlah anggota, menjadi pemicu demonstrasi besar pada akhir Agustus 2025.
Lili juga menyoroti sikap DPR yang dinilai mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait keharusan partisipasi bermakna dalam pembahasan RUU. Ketika publik menggugat undang-undang yang dibahas secara kilat dan tidak partisipatif, lalu MK mengabulkan, justru muncul kecenderungan menyalahkan MK.
Beranjak pada hal tersebut, DPR harus memperbaiki gaya komuniksi publik dan kinerja. DPR harus mendengar denyut nadi aspirasi publik, tidak boleh mengabaikan dan menihilkan aspirasi yang muncul, sekecil apa pun. “Karena tugas wakil rakyat adalah memperjuangkan menyalurkan artikulasi dan agregasi kepentingan. Selain itu juga, bentuk akuntabilitas vertikal harus semakin diperkuat,” tegasnya.
Dalam hal pembahasan UU, prinsip partisipasi publik bermakna harus dijalankan. Pelibatan partisipasi jangan bersifat formalistik, hanya memenuhi prosedur saja tetapi harus substantif di mana masukan publik benar-benar diakomodir dalam rumusan atau perbaikan pasal-pasal dalam UU yang dibahas.
Ada sejumlah agenda legislasi ke depan yang dinilai krusial dan perlu menyerap aspirasi, seperti revisi UU Polri, RUU Penyadapan, dan RUU Pemilu. Di MPR, juga tengah diwacanakan amandemen UUD 1945. Seluruhnya sangat dekat dengan kehidupan bermasyarakat. Jika salah langkah, dampaknya bisa sangat fatal.
Perjalanan sepanjang 2025 yang memicu demonstrasi, kekerasan, bahkan kematian, seharusnya menjadi pelajaran bagi DPR dan pemerintah. Penyusunan undang-undang harus lebih terbuka, matang, dan melibatkan publik secara bermakna.
Jika pola lama terus diulang, Lili mengingatkan, kepercayaan publik terhadap DPR akan runtuh. Yang muncul adalah parlemen jalanan, gelombang demonstrasi, dan tekanan melalui media sosial. Dampaknya bisa berupa gejolak politik berkepanjangan dan instabilitas yang berbahaya bagi demokrasi. “Dan itu berbahaya,” ucapnya.



