MerahPutih.com - Wacana pemilihan kepala daerah dipilih DPRD kembali menguat setelah diusulkan Partai Golkar usai Rapimnas pada 20 Desember lalu.
Usulan tersebut kemudian diikuti sejumlah partai pendukung pemerintahan Prabowo Subianto, seperti PKB dan PAN, yang menilai mekanisme tersebut tidak melanggar konstitusi dan dapat menekan ongkos politik.
Usulan serupa pernah muncul pada 2014 ketika DPR mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada tidak langsung.
Namun, kebijakan itu akhirnya dibatalkan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perppu yang mengembalikan pilkada langsung oleh rakyat.
Baca juga:
MPR Berikan Sinyal Setujui Pemilihan Kepala Daerah Lewat DPRD
Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan wacana pemilihan kepala daerah atau pilkada melalui DPRD merupakan gagasan yang tidak beralasan dan berpotensi merugikan demokrasi.
ICW menilai, alih-alih memperbaiki persoalan mendasar dalam sistem kepemiluan dan pembiayaan politik, usulan tersebut justru menyederhanakan masalah pilkada secara keliru.
Staf Divisi Advokasi ICW Seira Tamara mengatakan, mengembalikan mekanisme pilkada dipilih DPRD sama artinya dengan menempatkan proses demokrasi pada sistem yang sudah terbukti bermasalah.
“Mengembalikan mekanisme pilkada dipilih DPRD artinya sengaja meletakkan pilkada pada mekanisme yang sudah pasti lebih merugikan,” ujar Seira dalam keterangan tertulis, Rabu (31/12).
Seira menjelaskan, alasan pemerintah yang menyebut besarnya anggaran sebagai dasar penghapusan pilkada langsung tidaklah logis. Anggaran hibah APBD untuk pelaksanaan Pilkada 2024, misalnya, tercatat sekitar Rp 37 triliun.
Angka tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan anggaran penyelenggaraan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif pada tahun yang sama yang mencapai sekitar Rp 71,3 triliun.
“Jika besarnya anggaran dijadikan tolak ukur, apakah pemilu yang diselenggarakan secara langsung juga harus diubah mekanismenya?” kata Seira.
Ia juga menyoroti anggaran program makan bergizi gratis (MBG) yang mencapai sekitar Rp 71 triliun pada 2025 dan sarat persoalan tata kelola, namun tidak dipersoalkan dalam wacana efisiensi demokrasi.
Pertimbangan kedua, lanjut Seira, pilkada langsung sejatinya dirancang untuk meminimalkan praktik politik transaksional yang marak terjadi saat kepala daerah dipilih DPRD.
ICW mencatat, sepanjang 2010–2024 terdapat 545 anggota DPRD yang terjerat kasus korupsi. Fakta tersebut menunjukkan pilkada melalui DPRD tidak menghapus politik uang, bahkan berpotensi memperluas ruang transaksi politik yang sulit diawasi publik.
Pertimbangan ketiga berkaitan dengan ekosistem pembiayaan politik. Seira menyoroti praktik mahar politik yang kerap diminta partai kepada pasangan calon sejak tahap awal pencalonan. Modal besar yang dikeluarkan sejak awal inilah yang mendorong mahalnya ongkos politik dan berujung pada praktik korupsi kepala daerah.
“Alih-alih menyentuh akar masalah, pemerintah justru memfasilitasi politik transaksional yang berdampak pada tergerusnya kualitas demokrasi,” tegasnya. (Pon)


