Arah kebijakan pendidikan tinggi dari masa Presiden Joko Widodo hingga Presiden Prabowo Subianto terus dipenuhi slogan atau tagline yang berganti. Dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka, kini menjadi Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi atau Diktisaintek Berdampak.
Peluncuran kebijakan Diktisaintek Berdampak oleh Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Brian Yuliarto yang bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2025 lalu menandai arah baru transformasi pengembangan tridarma perguruan tinggi, sains, dan teknologi di institusi pendidikan tinggi.
Ada tuntutan peran baru bagi perguruan tinggi agar tidak hanya bersumbangsih pada output akademik, seperti publikasi dan gelar, tetapi juga outcome yang berdampak nyata bagi masyarakat dan bangsa, yakni melahirkan solusi atas berbagai persoalan sosial, ekonomi, hingga lingkungan hidup.
Perguruan tinggi tak lagi hanya bersumbangsih hasil akademik seperti publikasi dan gelar, tapi juga keluaran yang berdampak nyata bagi masyarakat dan bangsa. Jadi institusi pendidikan tinggi juga melahirkan solusi berbagai masalah sosial, ekonomi, hingga lingkungan hidup.
Kebijakan Diktisaintek Berdampak merupakan kelanjutan Kampus Merdeka era Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Sains dan Teknologi Nadiem Makarim. Semangat Kampus Merdeka membawa perguruan tinggi keluar dari “menara gading” demi memahami pesatnya perubahan dunia pascapandemi Covid-19.
Satria Unggul Wicaksana, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya yang juga bergiat di Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), saat dihubungi pada Rabu (31/12/2025), menuturkan, arah kebijakan pendidikan tinggi Indonesia jangan berhenti pada perubahan slogan dan berganti program.
“Yang dibutuhkan yakni peta jalan strategi pengembangan pendidikan tinggi ke depan yang jelas, bisa mengembalikan rel kampus jadi garda terdepan menjalankan fungsi dan peran kritis, independensi atau otonomi perguruan tinggi dan keilmuan. Jadi, kita bisa merasakan eksistensi perguruan tinggi yang tak sekadar disetir pasar atau dikooptasi kekuasaan,” ungkapnya.
Tanpa slogan yang berganti, perubahan pendidikan tinggi Indonesia ke depan seharusnya ada komitmen kuat menjadikan kampus sebagai institusi yang independen, bebas dari intervensi atau pengaruh kekuatan politik. Selain itu ada perlindungan dan jaminan kebebasan akademik mengkiritisi berbagai kebijakan pemerintah.
Sementara Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Brian Yuliarto dalam acara Ngopi Bareng Media, di Jakarta, pada Rabu (24/12/2025), mengutarakan, Diktisaintek Berdampak merupakan gerakan bersama untuk mewujudkan Indonesia Emas 20245.
Peran perguruan tinggi melalui Tridarma (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) tidak lagi sekadar dijalankan sebagai rutinitas, namun berkontribusi nyata menyelesaikan masalalah, termasuk mendukung pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional.
Contoh nyata perguruan tinggi yang berdampak bagi bangsa ditunjukkan saat terlibat mengatasi bencana banjir bandang di Sumatera. Sivitas akademika turut menyalurkan bantuan logistik, layanan kesehatan, hingga mendukung pemulihan sosial, dari fase tanggap darurat hingga pemulihan.
Indonesia menghadapi jurang pemisah komersialisasi inovasi dari lembaga pendidikan tinggi. Publikasi ilmiah naik, tapi lebih berorientasi pada kebutuhan akademik.
Harapannya, sivitas akademika dari kampus bergerak ke lapangan, dari ilmu ke aksi nyata. Jadi pendidikan tinggi hadir untuk kemanusiaan pada hari ini dan masa depan.
Hal ini berkaca pada negara-negara maju di mana perguruan tinggi tak hanya menghasilkan lulusan tapi juga penggerak kemajuan bangsa. ”Perguruan tinggi harus bergerak dari output menuju outcome. Relevansi dan kebermanfaatan jauh lebih penting daripada peringkat,” kata Brian.
Perjalanan untuk menunjukkan bahwa perguruan tinggi bisa berdampak pada masyarakat tak berhenti pada slogan. Diperlukan kerja cepat dan cerdas agar jendela kesempatan menjadi negara maju tidak berlalu sia-sia.
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie di Bandung beberapa waktu lalu, mencontohkan sejumlah perguruan tinggi di Amerika Serikat yang tidak bisa dipandang kecil atau sebelah mata.
Universitas Stanford, misalnya, yang sejak tahun 1930-an dosen dan alumninya memunculkan lebih dari 40.000 perusahaan yang mempekerjakan 5,4 juta orang. Kontribusi ini menghasilkan pendapatan tahunan 2,7 triliun dollar AS sehingga Stanford masuk dalam 10 kekuatan ekonomi terbesar dunia dengan pusat inovasi teknologi di Silicon Valley.
Contoh lain, pada 2014, alumni Massachusetts Institute of Technology mendirikan lebih dari 30.000 perusahaan yang mempekerjakan 4,6 juta orang dengan pendapatan tahunan sekitar 2 triliun dollar AS. Adapun Kansas University menghasilkan 7,8 miliar dollar AS per tahun dengan mendukung penciptaan 88.000 pekerjaan.
Potensi lebih dari 4.000 perguruan tinggi negeri dan swasta di negeri ini pun dinanti. Komunitas ilmiah di perguruan tinggi yang bergerak lewat Tridarma-nya, diharapkan mempercepat pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional berbasis inovasi dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi berkualitas tinggi.
Selama ini, Indonesia menghadapi jurang pemisah komersialisasi inovasi dari lembaga pendidikan tinggi. Publikasi ilmiah naik, tapi lebih berorientasi pada kebutuhan akademik. Akibatnya, hilirisasi riset rendah dengan lebih dari 85 persen riset berhenti di tahap publikasi atau purwarupa, gagal diadopsi industri.
Laporan Pembangunan Dunia 2024 menunjukkan kesenjangan yang lebar dalam adopsi teknologi antara negara maju dan negara berpenghasilan menengah, baik dalam hal indeks teknologi maupun jumlah peneliti.
Indonesia memiliki peringkat yang baik dalam hal kecanggihan pasar dan institusi. Namun, Indonesia memiliki peringkat rendah dalam sumber daya manusia untuk penelitian, kecanggihan bisnis, dan output teknologi dan sains.
Guna mendukung peran dunia usaha dan industri, pemerintah menyediakan instrumen fiskal bagi industri yang mendukung riset berbentuk insentif pajak super tax deduction. Contohnya, jika ada industri mengeluarkan Rp 1 miliar untuk riset dan pengembangan, nilai potongan pajaknya tiga kali lipat dari dana itu.
Namun, berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada Agustus 2025 lalu, tercatat baru 30 wajib pajak mengajukan 224 proposal riset dengan total estimasi biaya mencapai Rp 1,46 triliun. Dari jumlah itu baru sembilan wajib pajak yang menerima realisasi insentif.
Akar permasalahannya, kurangnya koordinasi dan jembatan yang efektif antara dunia akademis dan industri. Akibatnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terbatas pada ranah akademis sehingga potensi inovasi tak dimanfaatkan optimal.
Padahal, Profesor Lam Khin Yong, Vice President of Industry di Nanyang Technological University (NTU) Singapura di ajang KSTI 2025, menyebut, Indonesia memiliki potensi dan keunggulan besar berdasarkan sejumlah indikator inovasi global.
”Peringkat yang tinggi, populasi besar dan dinamis, serta kekayaan sumber daya alam adalah keunggulan utama Indonesia. Ini menciptakan kondisi ideal untuk meningkatkan daya saing,” ujar Lam.
Belajar dari NTU, strategi perguruan tinggi untuk berperan pada kemajuan Singapura bertumpu pada dua hal, yaitu menyiapkan talenta kelas dunia dan menjembatani riset dasar menuju riset terapan.
Ketua Majelis Wali Amanat Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mohammad Nuh di Surabaya beberapa waktu lalu menegaskan, perguruan tinggi tak sekadar pusat ilmu, melainkan juga katalis perubahan sosial. Karena itu, perguruan tinggi tidak hanya perlu bergerak cepat, tetapi juga tepat arah.
Arah tridarma perguruan tinggi tidak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri. “Kita perlu menghadirkan penilaian dan indikator yang dapat membangun rasa percaya diri perguruan tinggi dengan karakter khas Indonesia,” kata Nuh.
Perguruan tinggi dituntut proaktif menunjukkan “taringnya” agar bisa berkontribusi nyata pada pembangunan. Perguruan tinggi mesti tetap jadi lembaga penuntun arah peradaban bangsa dengan menjaga marwahnya.
Selain itu, institusi pendidikan tinggi perlu menjadi wadah warga mengejar pengetahuan, kebenaran, serta mendidik warga agar bertanggung jawab dan kritis. ”Kembalikan kekuatan perguruan tinggi menjaga marwah kampus sebagai suluh peradaban manusia,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada I Gusti Agung Made Wardhana.





