FAJAR, MAKASSAR — Praktik juru parkir (jukir) liar di Kota Makassar kian sulit diberantas. Di lapangan, persoalan parkir tak lagi sekadar soal ketertiban, melainkan sudah menyerupai premanisme terorganisir.
Sejumlah titik parkir dikuasai pihak-pihak tertentu, bahkan diduga dibekingi oknum yang memiliki kekuatan, membuat upaya penertiban kerap menemui jalan buntu.
Situasi inilah yang diakui secara terbuka oleh jajaran pengelola parkir kota. Penertiban yang dilakukan berulang kali dinilai belum menyentuh akar persoalan karena adanya perlindungan terhadap jukir liar di sejumlah lokasi strategis.
Direktur Utama (Dirut) PD Parkir Makassar Raya, Adi Rasyid Ali (ARA), mengungkapkan bahwa temuan di lapangan menunjukkan banyak oknum yang ikut bermain dan membekingi aktivitas jukir liar. Kondisi itu membuat upaya penindakan berjalan setengah-setengah dan melelahkan.
“Kami capek sendiri, kami tidak bisa berdiri sendiri. Kami butuh tim,” ujarnya saat ditemui FAJAR usai Coffe Morning Bersama DInas Kominfo Makassar, di Makassar Goverment Center, Jl Slamet Riyadi, Senin, 29 Desember 2025.
“Dari beberapa kali kita turun, memang banyak oknum-oknum yang ikut bermain dengan jukir liar. Itu hasil temuan kami,” sambung ARA.
Perumda menyebutkan, praktik tersebut hampir merata di berbagai wilayah Kota Makassar. Beberapa titik bahkan sudah menjadi rahasia umum sebagai lokasi parkir liar yang sulit disentuh karena adanya bekingan.
Ia mencontohkan di terowongan Mall Panakkukang hingga Jalan Perintis Kemerdekaan yang jadi temuan timnya.
Menurutnya, jukir liar sering kali hanya menjadi lapisan paling bawah dari persoalan. Di belakang mereka, ada pihak-pihak yang memiliki pengaruh dan kekuatan, sehingga jukir di lapangan pun kerap merasa aman dan berani melawan petugas.
“Yang jelas saya bicara oknum ya. Banyak yang membekingi. Itu sudah rahasia umum,” sambungnya.
Ia menambahkan, secara SDM, jukir di lapangan sebenarnya terbatas dan berada di posisi lemah. Namun, karena ada pihak yang memback-up, situasinya menjadi berbeda.
“Kalaupun ada jukir yang didata, pasti dia takut. Mau pangkatnya tidak tinggi, tetap takut. Karena ada power di belakangnya (sehingga berani),” ujarnya.
ARA mengakui, PD Parkir tidak bisa bekerja sendiri menghadapi persoalan tersebut. Penertiban yang dilakukan sejauh ini, termasuk di kawasan bawah terowongan Mal Panakkukang, dinilai belum cukup jika tidak dibarengi dengan kekuatan regulasi dan dukungan lintas aparat.
Karena itu, ia mendorong pembentukan Satgas Parkir Terpadu melalui regulasi yang kuat. Satgas tersebut diharapkan melibatkan seluruh unsur aparat penegak hukum dan instansi terkait agar penanganan parkir liar tidak setengah hati.
“Saya butuh regulasi baru yang kuat, Satgas Parkir. Di situ harus ada semua, dari aparat penegak hukum, kejaksaan, Polisi Militer, Provos, kepolisian, sampai Dinas Perhubungan,” ujarnya.
Menurut Perunda, regulasi tersebut idealnya dituangkan dalam peraturan wali kota agar memiliki kekuatan hukum dan menjadi payung kerja bersama.
“Ini sebaiknya dibuatkan perwalinya atas nama wali kota. Supaya jelas dan kita kerja bareng,” katanya.
Ia menegaskan, tanpa intervensi hukum yang jelas dan keterlibatan tim terpadu, persoalan jukir liar akan terus berulang. Penertiban hanya bersifat sementara, sementara praktik di lapangan kembali berjalan seperti biasa.
“Harus ada intervensi hukum. Kita tidak menuduh, tapi jangan lagi ada oknum-oknum yang membekingi parkir liar di Makassar,” ujarnya.
Dengan kondisi tersebut, ARA berharap pemerintah kota segera duduk bersama lintas instansi untuk menyusun langkah konkret dan tegas.
Tanpa itu, penataan parkir di Makassar dikhawatirkan akan terus berada dalam lingkaran masalah yang sama, merugikan masyarakat dan mencederai wibawa pemerintah.
Butuh Tindakan Tegas
Sementara itu, sulitnya mengetaskan Jukir dan parkir liar ini disebabkan penindakan yang masih setengah-setengah, selain karena keterbatasan kewanangan, regulasi juga dinilai belum begitu optimal.
Kepala Dinas Perhubungan Makassar, Muh Rheza mengakui bahwa hingga kini Dishub belum pernah melakukan penangkapan terhadap Jukir Liar.
Hal itu, kata dia, bukan semata karena pembiaran, melainkan keterbatasan kewenangan hukum yang dimiliki instansinya.
“Kalau penangkapan jukir liar, dari Dishub itu belum ada. Karena memang kami tidak punya kewenangan untuk menangkap,” katanya.
Ia menjelaskan, praktik jukir liar sejatinya bisa masuk kategori pungutan liar (pungli), sehingga ranah penindakannya berada pada aparat penegak hukum. Karena itu, Dishub berencana memperkuat koordinasi dengan kepolisian.
“Ini bisa masuk ke saber pungli. Jadi kami akan koordinasikan dengan Polrestabes,” ujarnya.
Rheza juga menyinggung persoalan badan usaha parkir yang kerap disorot publik. Menurutnya, pencabutan izin usaha parkir bukan menjadi kewenangan Dishub, melainkan instansi pemberi izin, seperti PTSP atau bahkan kementerian terkait jika izinnya berasal dari pusat.
“Bukan kewenangan kami untuk mencabut izin-izin. Yang berhak menutup itu pemberi izin,” katanya.
Meski demikian, ia memastikan persoalan perizinan telah disampaikan kepada pimpinan daerah dan menjadi atensi serius.
Bahkan, dalam waktu dekat, isu parkir dan perizinan disebut akan dibahas dalam forum resmi bersama Wali Kota Makassar.
“Insyaallah, Selasa besok kemungkinan Pak Wali akan menyampaikan, kita akan rapat paripurna terkait parkir dan juga izin-izin,” ujarnya.
Di tengah keterbatasan tersebut, Rheza mengklaim beberapa persoalan lalu lintas mulai menunjukkan perbaikan.
Kemacetan disebut berangsur berkurang, sementara praktik “pak ogah” di sejumlah titik mulai tersingkir, meski belum sepenuhnya tuntas. Sektor perparkiran sendiri diakuinya masih menjadi pekerjaan rumah besar.
“Perparkiran ini masih on progress. Banyak hal yang harus kami lakukan dengan segala keterbatasan kami,” katanya.
Terkait sanksi, Rheza menegaskan bahwa Dishub tidak menerapkan denda langsung terhadap jukir liar. Mekanisme denda, kata dia, hanya berlaku melalui penilangan oleh kepolisian terhadap pelanggaran lalu lintas atau parkir.
“Kalau ditilang oleh polisi, dendanya langsung dibayar. Itu mekanismenya,” ujarnya.
Pengakuan Kadishub ini sekaligus memperlihatkan bahwa penanganan jukir liar di Makassar masih menghadapi persoalan struktural, mulai dari tumpang tindih kewenangan hingga lambatnya penindakan hukum.
Di tengah sorotan publik terhadap praktik parkir liar yang kerap menyerupai premanisme, Dishub menegaskan perlunya kerja bersama lintas instansi agar penertiban tidak berhenti sebatas wacana.(an)




