Tanggal 31 Desember 2025 bukan hanya soal kembang api dan hitung mundur. Ini saatnya manusia berefleksi: Apakah hidup kita benar-benar berubah menjadi lebih baik?
“Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.” Prinsip ini sederhana, tetapi menuntut konsistensi yang luar biasa. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa hari ini lebih baik dari kemarin, ia termasuk orang yang beruntung.” Pesan ini menegaskan bahwa ukuran keberhasilan hidup bukanlah lonjakan besar yang spektakuler, melainkan kemajuan kecil yang berkelanjutan.
Di tengah dinamika sosial yang semakin kompleks, ketidakpastian ekonomi, percepatan transformasi digital, hingga krisis moral dalam kehidupan publik, manusia dituntut tetap teguh menjaga kualitas dirinya. Pertanyaan mendasar kembali hadir: Apakah hari ini kita sudah lebih baik daripada kemarin?
Rasulullah SAW memberikan prinsip sederhana, tetapi kuat: siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, dialah yang beruntung. Prinsip itu sejalan dengan konsep growth mindset dari Carol Dweck, bahwa pembelajaran adalah proses seumur hidup. Gagal bukan berarti selesai, melainkan undangan untuk memperbaiki langkah.
Realitas 2025 menunjukkan banyak yang merasa tertinggal, usaha belum berhasil, rencana tertunda, dan relasi renggang. Refleksi jujur membuka ruang bagi kebangkitan. Perubahan besar selalu berawal dari keputusan kecil yang dijalankan konsisten.
Sayangnya, sebagian besar manusia modern terjebak dalam kesibukan tanpa makna. Peter Drucker mengingatkan bahwa produktivitas sejati tidak diukur dari banyaknya aktivitas, tetapi dari ketepatan memilih apa yang penting. Aristoteles menegaskan manusia sebagai zoon politikon, makhluk yang menemukan makna melalui kontribusi pada sesama.
Ketika manusia hanya mengejar pencapaian pribadi, masyarakat kehilangan solidaritas sosial. Émile Durkheim mengingatkan bahwa melemahnya ikatan sosial dapat memicu krisis kolektif. Maka, produktivitas menuju 2026 harus mengembalikan keseimbangan antara kerja keras dan kepedulian.
Di sinilah Islam menghadirkan panduan utama yakni menyeimbangkan hubungan vertikal dengan Allah (hablumminallah) dan hubungan horizontal dengan manusia (hablumminannas).
Keduanya bukan dua jalan yang terpisah, melainkan satu kesatuan pembentuk pribadi Muslim yang utuh. Ibadah ritual tanpa akhlak sosial kehilangan makna, sementara kebaikan sosial tanpa fondasi iman mudah kehilangan arah. Keseimbangan ini menciptakan kehidupan yang harmonis, membawa ketenangan batin, dan diridai Allah.
Jika aspek sosial butuh penguatan, dimensi spiritual juga butuh penguatan. Modernitas yang memanjakan kenyamanan justru menghadirkan kekosongan makna. Imam Al-Ghazali menyebut kegelisahan manusia bukan disebabkan kurangnya kepemilikan, melainkan jauhnya hati dari Allah. Hidup sering mengingatkan keterbatasan melalui sakit, kehilangan, dan kegagalan. Semua itu bisa menjadi panggilan untuk kembali mengakar pada nilai-nilai ilahiah.
Allah SWT. menegaskan, “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. Az-Zumar: 53). Tahun baru semestinya menjadi titik balik untuk memperbaiki shalat, menjaga lisan, membersihkan hati, menegakkan akhlak dalam ruang publik, dan memperkuat kasih sayang kepada sesama.
Pergantian tahun juga mengingatkan kita pada waktu yang terus bergerak. Martin Heidegger menyebut manusia sebagai being-toward-death, makhluk yang sadar waktunya terbatas. Justru kesadaran batas waktu itu yang melahirkan tanggung jawab moral.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menegaskan kemunduran peradaban bukan karena minimnya sumber daya, melainkan karena runtuhnya disiplin dan akhlak.
Kita tak bisa memasuki 2026 tanpa membenahi cara pandang terhadap masa depan. Viktor Frankl—melalui logoterapinya—mengatakan manusia dapat bertahan dalam situasi paling sulit apabila ia menemukan makna. Maka, resolusi tahun baru bukan sekadar daftar keinginan, melainkan juga komitmen jangka panjang atas nilai yang diyakini benar.
Tahun 2026 bukan hanya angka baru. Ia adalah undangan untuk memperbaiki niat, memperkuat kontribusi sosial, menjaga integritas diri, dan mendekatkan hati kepada Allah Yang Maha Esa. Karena keberuntungan sesungguhnya bukan pada seberapa meriah kita menyambut tahun baru, melainkan pada seberapa sungguh kita memperbaiki diri, lebih dekat kepada Allah, dan lebih bermanfaat bagi manusia.





