Penerimaan pajak yang mendominasi lebih dari 80% struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kembali disorot menyusul lambannya respons pemerintah dalam penanganan bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir 2025. Kondisi ini memunculkan pertanyaan publik mengenai dimensi kebertanggungjawaban negara atas pajak yang telah dipenuhi warganegara.
Sorotan tersebut menguat di tengah rangkaian kebijakan perpajakan dan fiskal sepanjang 2025, mulai dari gangguan Sistem Inti Administrasi Pajak (Coretax), kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), hingga penyesuaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) di sejumlah daerah.
Dosen Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Adiwarman, menilai pemenuhan kewajiban perpajakan oleh masyarakat belum sepenuhnya diimbangi dengan akuntabilitas dan responsivitas negara, terutama dalam situasi darurat kebencanaan.
Baca Juga: Pajak Digital Tembus Rp44,55 Triliun, Langganan ChatGPT Kena PPN 11%
“Pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh rakyat tidak diikuti dengan dimensi kebertanggungjawaban Pemerintah untuk memenuhi kepentingan dan atau kebutuhan rakyat, terutama dalam keadaan kebencanaan,” ujar Adiwarman, Jakarta, Rabu (31/12/2025).
Sepanjang 2025, kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat turut berdampak pada daerah. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 menetapkan efisiensi Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp50,59 triliun. Imbasnya, sejumlah pemerintah daerah menaikkan tarif PBB P2, antara lain di Kota Cirebon, Kabupaten Pati, Kota Semarang, Kabupaten Jombang, dan Kabupaten Bone, yang memicu penolakan masyarakat.
Di sisi lain, bencana alam besar yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menimbulkan korban jiwa serta kerusakan infrastruktur secara luas. Namun, penanganan dinilai berjalan lamban dengan pendekatan birokratis, sementara bantuan awal justru banyak digerakkan oleh masyarakat sipil lintas daerah.
Baca Juga: Setoran Pajak 2025 Tak Capai Target, Purbaya Ungkap Karena Perlambatan Ekonomi di Era Sri Mulyani
Menurut Adiwarman, kondisi tersebut menegaskan urgensi akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mewajibkan pengelolaan pajak dilakukan secara tertib, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab kepada publik.
Selain akuntabilitas, responsivitas pemerintah juga menjadi faktor krusial. Dalam konteks kebencanaan, responsivitas mencakup kecepatan prosedural, ketepatan kebijakan, serta kemampuan layanan publik menjawab kebutuhan mendesak masyarakat terdampak.
Ia menekankan bahwa dalam kerangka otonomi daerah, penerimaan pajak nasional yang disalurkan melalui TKD seharusnya menjadi instrumen utama untuk mempercepat penanganan darurat dan pemulihan pascabencana. Terlebih, sumber dana APBN sebagian besar berasal dari pajak yang bersifat memaksa dan telah dipenuhi oleh warganegara.
Keterlambatan respons, menurutnya, berpotensi memperpanjang penderitaan korban dan memperlemah kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan. Dalam situasi kebencanaan, pengalihan dan penggunaan penerimaan pajak secara cepat dan terukur menjadi indikator nyata kebertanggungjawaban negara kepada pembayar pajak.




:strip_icc()/kly-media-production/medias/5457202/original/052534000_1766990691-IMG_4518.jpg)