Indonesia menutup tahun 2025 dengan bencana ekologis di Sumatra. Bencana yang telah menyapu tiga provinsi ini bukan sekadar peristiwa alam, melainkan dampak kelalaian manusia menjaga keseimbangan bumi.
Selain peristiwa tersebut, tahun ini mencatatkan beragam fenomena lain terkait lingkungan hidup, seperti dimulainya babak baru penanganan sampah modern, penguatan nilai ekonomi karbon, kontaminasi radioaktif pada makanan, hingga agenda internasional COP30.
Penghentian TPA Open Dumping
Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menghentikan operasional 343 tempat pembuangan akhir (TPA) open dumping di seluruh Indonesia, pada Maret 2025.
TPA open dumping masih menggunakan sistem pembuangan paling sederhana, di mana sampah hanya ditumpuk di lokasi terbuka. Hal ini rentan menimbulkan pencemaran lingkungan, berkontribusi pada perubahan iklim, memengaruhi keseimbangan ekosistem, serta berdampak pada kesehatan masyarakat di sekitarnya.
Penghentian operasional ini mengacu pada UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, khususnya Pasal 29 dan 44. Ditambah PP Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga.
“Ketentuan ini sebenarnya telah memberikan tenggat waktu lima tahun sejak 2008, untuk menutup seluruh TPA open dumping. Namun, implementasinya masih belum optimal,” kata Menteri LH/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq.
Untuk memastikan pengelolaan sampah berjalan lebih efektif dan ramah lingkungan, KLH/BPLH mengalihkannya pada transformasi sistem pembuangan sampah, penerapan teknologi modern dalam pengelolaan sampah, dan lebih banyak melibatkan pemerintah daerah untuk mengentaskan masalah ini.
Apresiasi Pejuang Konservasi
Pejuang konservasi lingkungan tak lagi dilihat sebagai pengorbanan, melainkan pekerjaan penting yang layak dihitung dan diapresiasi. Untuk mendukung hal ini, KLH/BPLH mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pengembangan Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup.
Peraturan ini merupakan turunan dari Pasal 48 ayat (5) PP No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Keberadaannya menjadi kerangka hukum untuk mentransformasikan konservasi dari aktivitas sukarela menjadi kegiatan berbasis insentif.
Dengan pendekatan ini, masyarakat lokal, petani hutan, komunitas adat, atau semua yang selama ini menjaga jasa lingkungan seperti air, karbon, dan keanekaragaman hayati dapat menerima kompensasi secara sah dan terukur, berdasarkan hasil kerja mereka.
Sistem ini juga membuka peluang kerja sama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil untuk membangun ekosistem ekonomi yang berpihak pada keberlanjutan.
Kebakaran Lahan di Riau
Juli lalu, lonjakan kebakaran lahan di Riau kembali menjadi perhatian. Per 20 Juli, tercatat 790 titik panas atau hotspot terdeteksi di Riau, dengan 27 titik api aktif. Dalam 24 jam, luas lahan terbakar melonjak dari 546 hektare menjadi 1.000 hektare.
Hal tersebut menunjukkan adanya pola pembakaran berulang dan terorganisasi. Menurut KLH/BPLH, kondisi tersebut rentan mengganggu kualitas udara lintas wilayah dan merusak reputasi Indonesia di panggung global pengendalian perubahan iklim.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkap, ada 46 orang yang ditetapkan sebagai tersangka kebakaran hutan dan lahan di Riau selama periode Januari-Juli 2025. Kurang lebih 280 hektare hangus akibat ulah para tersangka.
Kontaminasi Cesium-137 di Udang dan Cengkeh Indonesia
Otoritas Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat menemukan kontaminasi zat radioaktif Cesium-137 di produk udang asal Indonesia pada Agustus 2025. Produk udang beku ini tercemar Cesium-137 dari aktivitas pabrik pengolahan besi dan baja, PT Peter Metal Technology, yang berada di kawasan industri yang sama dengan pabrik udang beku di Cikande, Banten.
Akibatnya, sebanyak 32 titik terdeteksi terpapar Cesium-137, 22 di antaranya merupakan pabrik dalam kawasan industri, 10 titik lainnya berada di sekitar kawasan industri. Warga yang tinggal di titik cemaran tinggi pun harus diungsikan sementara.
Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri telah menetapkan Direktur PT Peter Metal Technology sebagai tersangka kasus ini. Penetapan dilakukan usai penyelidikan intensif melibatkan Badan Pengawas Tenaga Nuklir dan KLH/BPLH.
Kemudian pada Oktober 2025, FDA kembali menemukan paparan Cesium-137 pada produk asal Indonesia, kali ini cengkeh. Produk cengkeh yang dimaksud berasal dari PT NJS, yang berlokasi di Surabaya, Jawa Timur.
Satu kontainer berisi cengkeh berstatus suspect terkontaminasi Cesium-137 dikembalikan ke Indonesia pada awal November lalu. Sementara, sebelas kontainer berisi rempah-rempah juga dikembalikan ke dalam negeri di tengah perjalanannya ke AS.
Dari hasil pemantauan Satgas Penanganan Cesium-137, pabrik pengolahan cengkeh PT NJS di Surabaya dan perkebunannya di Pati, Jawa Tengah, sudah dinyatakan clean and clear. Artinya, tidak terdeteksi paparan radioaktif.
Sementara itu, Satgas menemukan paparan Cesium-137 di sekitar perkebunan cengkeh PT NJS di Lampung. Total ada enam titik yang dilakukan tracing, yaitu industri peleburan logam, gudang pengepul cengkeh, kebun cengkeh penyuplai PT NJS di tiga kecamatan, dan satu lokasi pemetaan awal di Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan.
Akan tetapi, tingkat radiasi yang terdeteksi berada kisaran angka sangat rendah dan dinilai tidak menimbulkan dampak kesehatan langsung bagi warga setempat.
Satgas justru menemukan paparan radiasi Cesium-137 di area pemakaman umum di Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan, dengan tingkat radiasi 1,05-1,3 mikrosievert/jam. Angka tersebut lebih tinggi dari batas ambang 0,5 mikrosievert/jam. Petugas lalu melakukan penyemenan di titik tersebut untuk menurunkan kadar radiasi.
Sementara, 13,6 ton produk cengkeh yang sudah terkonfirmasi terpapar Cesium-137 telah dimusnahkan.
Banjir Merendam Bali
Banjir yang melanda Bali pada awal September lalu menunjukkan rapuhnya tata kelola lingkungan Pulau Dewata. Curah hujan ekstrem hingga 245,75 milimeter dalam satu hari memang memicu luapan banjir. Namun, persoalan sampah yang tak kunjung tuntas berkontribusi pada bencana tersebut.
Tumpukan sampah menyumbat aliran sungai hingga menyebabkan debit air dalam jumlah besar gagal terserap. Menurut KLH/BPLH, krisis sampah yang masih eksis jadi bukti belum terintegrasinya sistem pengelolaan sampah antara hulu dan hilir.
Selain kebiasaan sembarang membuang sampah, infrastruktur pengolahan sampah pun belum mampu menampung volume sampah harian Bali yang terus meningkat. Situasi diperparah dengan kurangnya pengawasan di daerah aliran sungai, hingga menimbulkan tumpukan sampah anorganik dan organik, bahkan material konstruksi, yang menyumbat aliran sungai.
Dalam catatan BNPB, banjir menyebabkan 18 korban jiwa, empat korban hilang, dan 6.309 korban terdampak lainnya. Kerusakan infrastruktur di antaranya meliputi bangunan dan fasilitas umum, jembatan, tanggul, jalan, dan rumah warga.
Babak Baru Penyelesaian Sampah Perkotaan
Pemerintah merevisi Perpres 35 Tahun 2018 dan merumuskannya kembali dalam Perpres 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan melalui Pengolahan Sampah menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Beleid ini menunjukkan babak baru penanganan sampah di wilayah urban, yaitu dengan mengolahnya menjadi energi listrik. Sebetulnya, pemanfaatan sampah tak hanya ditujukan untuk menghasilkan energi listrik. Pasal 5 beleid itu menyebutkan demikian:
“Pengolahan Sampah menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan yang selanjutnya disebut PSE adalah pengolahan Sampah dengan mesin dan/atau peralatan yang mampu mengolah Sampah menjadi listrik, bioenergi, bahan bakar minyak terbarukan, produk ikutan lainnya, serta mengurangi volume sampah.”
Sementara, sejauh ini, pemerintah baru menetapkan 10 daerah aglomerasi untuk proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL). Tujuh daerah aglomerasi di antaranya tengah memasuki proses lelang. Namun, baru empat yang dinyatakan siap. Keempat aglomerasi tersebut adalah Bogor Raya, Denpasar Raya, Yogyakarta Raya, dan Bekasi Raya.
Sementara sisanya, meliputi Tangerang Raya, Medan Raya, dan Semarang Raya tengah diverifikasi ulang sebelum mengikuti proses lelang.
Tiga daerah aglomerasi lainnya, adalah Lampung Raya, Surabaya Raya 2, dan Serang Raya. Ketiganya baru ditetapkan pemerintah pada 17 Desember lalu. Pembukaan kerja sama mitra untuk PSEL ini baru akan dibuka pada 2026.
Pemerintah melibatkan BPI Danantara untuk memilih badan usaha pembangun dan pengelola (BUPP) PSEL. Investasi dalam penyelenggaraan PSEL harus layak secara komersial, finansial, dan manajemen risiko. Sebelumnya, CIO BPI Danantara Pandu Sjahrir menyampaikan, proyek PSEL di 10 daerah aglomerasi ini bisa rampung 2027 mendatang.
Terkait teknologi yang akan digunakan, Menteri LH/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq menyatakan akan menggunakan insinerator, pembakaran sampah dengan suhu tinggi untuk menghasilkan uap bertekanan. Uap tersebut lalu berperan menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik.
PT PLN menjadi pihak yang berkewajiban membeli listrik PSEL, dengan tarif US$20 sen per kWh. Untuk mendukungnya, pemerintah akan mengalokasikan subsidi atau kompensasi APBN untuk PT PLN, sebagai topangan proyek PSEL.
Menjaga Nilai Ekonomi Karbon Indonesia
Pemerintah akhirnya merevisi Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, lalu merumuskannya kembali dalam Peraturan Presiden nomor 110/2025. Beleid baru ini memuat sejumlah ketentuan krusial mulai dari soal pasar karbon sukarela (voluntary carbon market/VCM).
Perpres NEK terbaru memberi kepastian semua jenis pasar karbon untuk mendukung kebijakan iklim dan pembangunan ekonomi Indonesia. Instrumen NEK terdiri dari perdagangan karbon sukarela maupun wajib (emission trading system), pembayaran berbasis kinerja (result-based payment), pungutan atas karbon atau pajak, dan instrumen lain sesuai perkembangan.
Perpres NEK terbaru sekaligus mengintegrasikan standar internasional berintegritas tinggi, untuk menjamin penerimaan pasar. KLH/BPLH juga telah menjalin Mutual Recognition Agreement dengan sejumlah lembaga internasional untuk menyokong hal ini.
Karbon yang akan dipasarkan harus didaftarkan dalam Sistem Registri Unit Karbon atau SRUK. Sistem ini akan memastikan seluruh data bersifat transparan, tercatat secara real-time, dan dapat dirancang agar terhubung dengan registrI lain seperti Verra dan Gold Standard.
SRUK juga menjamin kredit karbon yang dijual di pasar sukarela akan tetap bisa diklaim untuk pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC). Sistem ini penting untuk menghindari penghitungan ganda.
Hadir di COP30
Pemerintah Indonesia mengirimkan delegasinya ke konferensi iklim tingkat tinggi COP30 di Belem, Brasil, pada November lalu. Meskipun pada akhirnya, konferensi tersebut tidak menghasilkan kesepakatan konkret untuk menghadapi perubahan iklim.
Di samping itu, performa Indonesia dinilai mengecewakan, salah satunya karena absen dari kelompok 80 negara yang mendukung peta jalan pengakhiran penggunaan bahan bakar fosil.
Indonesia juga sempat mendapat predikat 'Fossil of the Day' dari Climate Action Network pada 15 November 2025. Penyebabnya, Indonesia membawa 46 pelobi dari industri bahan bakar fosil di meja negosiasi COP30.
Akan tetapi, Menteri LH/Kepala BPLH Hanif Faisol sempat mengklarifikasi perihal ini. Predikat “Fossil of the Day” diberikan CAN setiap hari kepada negara-negara berbeda. Bukan menyangkut penggunaan bahan bakar fosil, predikat ini merepresentasikan pemahaman “kuno” yang masih dipegang negara tersebut.
Indonesia mendapat predikat tersebut saat ada negosiator yang membicarakan suatu topik di meja diskusi yang tidak tepat. “Kemudian kita tarik ke badan yang menangani konteks yang dimaksud tadi,” kata Hanif.
Hanif lalu menjelaskan, tidak ada pihak perusahaan maupun swasta yang dibawa Indonesia dalam agenda perundingan. Pihak perusahaan hanya tergabung dalam delegasi, namun dalam rangka mendeklarasikan upaya perusahaannya untuk keberlanjutan lingkungan.
Aksi jual karbon oleh Delegasi Indonesia banyak dikritik kelompok pemerhati lingkungan, karena dianggap lebih menekankan keuntungan finansial.
Di samping itu, Indonesia telah berkomitmen menggelontorkan US$1 miliar atau sekitar Rp16,8 triliun untuk program Tropical Forest Forever Fund. Ini merupakan mekanisme pendanaan global untuk melindungi hutan tropis di dunia.
Disapu Banjir Bandang Sumatra
Banjir bandang yang melanda Sumatra bukan semata-mata dipicu siklon tropis Senyar yang mengunjungi wilayah tersebut. Kondisi ekologis yang kian memburuk memperlebar kemungkinan bencana terjadi.
Hampir satu dekade terakhir, hampir 1,4 juta hektare hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat hilang dibabat konsesi tambang, perkebunan sawit, proyek energi, dan pembangunan pembangkit listrik dengan tenaga energi terbarukan.
Hilangnya hutan dalam skala besar meningkatkan tekanan terhadap bentang alam, termasuk mengikis daerah aliran sungai yang menyangga aliran dari hulu ke hilir.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan segera mengevaluasi persetujuan lingkungan, terhadap kurang lebih 100 unit usaha di tiga provinsi tersebut. Evaluasi dilakukan pada level analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) maupun upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL).
Sementara itu, BNPB mencatat 1.154 korban jiwa dari bencana ekologis ini. Sebanyak 378,2 ribu warga lainnya mengungsi dan 165 warga masih belum ditemukan. Dari tiga provinsi, total ada 52 kabupaten/kota yang terdampak.



