Di tengah kehidupan yang semakin terhubung dengan layar, ruang digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian perempuan, bahkan anak-anak. Mulai dari belajar, bekerja, hingga bersosialisasi, semuanya kini berlangsung secara daring. Namun di balik kemudahan itu, risiko seperti pelecehan, eksploitasi, hingga misinformasi masih menjadi bayang-bayang yang nyata.
Kesadaran akan urgensi menciptakan ruang digital yang aman dan inklusif inilah yang mendorong Program Kemitraan Australia–Indonesia menggelar sebuah gelar wicara di Perpustakaan Jakarta dan Pusat Dokumen Sastra H.B. Jassin, pada Rabu (10/12).
Acara ini menjadi bagian dari kampanye global 16 Days of Activism Against Gender-Based Violence, sekaligus ruang bertemu bagi pemerintah, masyarakat sipil, penyandang disabilitas, peneliti, dan mitra pembangunan.
Diskusi dibuka dengan penekanan pada pentingnya kolaborasi lintas sektor. Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Bappenas, Maliki, menegaskan bahwa perlindungan perempuan dan anak di ruang digital bukan tanggung jawab satu pihak saja.
“Kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah tantangan lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan. Kita harus bekerja bersama untuk mendorong perubahan perilaku dan norma sosial,” tegasnya.
Komitmen untuk Ciptakan Ruang Digital yang Aman untuk Perempuan dan AnakKomitmen serupa juga disampaikan dari sisi kemitraan internasional. Acting Minister Counsellor for Governance and Human Development di Kedutaan Besar Australia Jakarta, Hannah Derwent, menekankan bahwa kerja sama Australia–Indonesia dibangun dari praktik saling mendengarkan.
“Dengan menjadikan pengalaman hidup nyata sebagai dasar kebijakan, kita bisa memastikan tidak ada yang tertinggal seiring meningkatnya penggunaan teknologi digital,” ujarnya.
Ia juga menambahkan, ruang digital yang inklusif hanya bisa terwujud jika hak dan martabat setiap orang benar-benar dihormati.
Gelar wicara ini merupakan kolaborasi empat program utama dalam Kemitraan Australia–Indonesia, yakni INOVASI, INKLUSI, KONEKSI, dan SKALA. Keempatnya membawa pendekatan yang saling melengkapi, mulai dari penguatan literasi digital aman di sekolah, perlindungan berbasis komunitas, dukungan riset kebijakan, hingga peningkatan layanan dasar bagi kelompok rentan.
Melalui dua sesi panel diskusi, peserta diajak melihat perjalanan perlindungan digital dari kebijakan hingga praktik sehari-hari. Diskusi ini mempertemukan regulasi dengan pengalaman nyata di lapangan, termasuk dari sekolah dan komunitas yang telah mempraktikkan ruang digital yang lebih ramah dan aksesibel.
Tak hanya itu, ada juga pameran interaktif yang berisi pengingat bahwa perubahan dan kesadaran yang berkaitan dengan ruang aman digital bagi perempuan dan anak-anak, harus dimulai dari setiap lini kehidupan sehari-hari dengan langkah-langkah kecil yang konsisten.
Dengan menyatukan kebijakan, riset, dan praktik berbasis komunitas, Australia dan Indonesia berupaya memastikan dunia digital menjadi ruang yang bisa melindungi, memberdayakan, dan memberi tempat yang setara bagi semua, terutama perempuan dan anak.




