MANADO - Gerakan Perempuan Sulawesi Utara (GPS) menilai kasus kematian seorang mahasiswi Universitas Negeri Manado (UNIMA) di Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut), sebagai pembuka tabir kekerasan seksual yang sering terjadi di Perguruan Tinggi.
Pasalnya, selepas kasus ini viral, sejumlah mantan mahasiswi yang pernah mendapatkan perlakuan tidak senonoh saat masih kuliah mulai angkat bicara.
Mereka mengaku takut bersuara karena kecenderungan pihak kampus yang seolah menyembunyikan kasus kekerasan atau pelecehan yang dialami mahasiswa.
Koordinator GPS, Pdt Ruth Ketzia, mengatakan jika sudah saatnya kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi jadi perhatian besar, mengingat banyak korban yang masih takut karena di bawah tekanan, terutama terkait relasi kuasa yang timpang antara dosen maupun pimpinan perguruan tinggi dengan mahasiswa.
"Saat ini kekerasan seksual masih dianggap bukan hal yang penting dan urgent. Bahkan dalam banyak kasus yang terjadi di lingkungan kampus yang sudah ada Satgas PPKPT, justru tidak serius menangani kasus atau malah abai menindak tegas pelaku. Ini, jelas, mengindikasikan adanya pembiaran oleh pemimpin perguruan tinggi itu," kata Ruth.
Terkait dengan kasus di UNIMA, Ruth mengatakan jika GPS mendesak Pimpinan UNIMA sebagai perguruan tinggi yang menaungi korban dalam menempuh pendidikannya, sekaligus tempat di mana korban mengalami pelecehan seksual oleh terduga pelaku yang adalah seorang dosen, untuk dapat memastikan proses hukum berjalan lancar, tanpa ada hambatan, apalagi sebagai alih-alih demi nama baik lembaga.
Sementara terkait proses hukum, GPS juga mendesak pihak berwajib, dalam hal ini Polda Sulawesi Utara, untuk mengusut tuntas kasus ini dan dilakukan secara transparan hingga keluarga korban mendapatkan keadilan.
"GPS bersama jejaring peduli korban akan bergerak sinergis untuk terus mengawal kasus ini hingga pelaku diproses secara hukum serta diberi sanksi seberat-beratnya," kata Ruth kembali.




