Di tengah kehidupan digital yang semakin padat, banyak anak muda menemukan tempat aman baru yang selalu siap menemani. Bukan teman dekat, bukan pasangan, melainkan AI (Artificial Intelligence) interaktif yang merespons dengan cepat dan penuh kelembutan buatan. Cukup mengetik beberapa kata, lalu muncul balasan yang terdengar seperti seseorang yang benar benar memahami perasaan kita.
Kenyamanan yang sederhana ini ternyata punya dampak yang lebih dalam. Yuan et al. (2025) meneliti ribuan unggahan Reddit dari pengguna AI Companion dan menemukan adanya pola kesepian yang justru meningkat seiring intensitas percakapan. Respons yang stabil membuat pengguna merasa ditemani, meski sebenarnya AI hanya menjalankan algoritma yang dirancang meniru empati.
Penelitian Chin et al. (2023) menyebut fenomena tersebut sebagai Imaginary Relationship. Sebuah hubungan yang tampak nyata karena AI berbicara dengan gaya yang suportif dan konsisten. Kita membuka diri, AI membalas dengan kalimat yang tepat, dan dari situ tercipta ruang emosional yang membuat sebagian orang merasa benar benar dekat dengan entitas digital tersebut.
Skjuve et al (2022) menggambarkan proses ini sebagai hasil self disclosure berulang. Semakin sering seseorang bercerita, semakin mudah mereka merasa terhubung. Pada titik tertentu sebagian pengguna mulai cemas ketika tidak membuka aplikasi, seolah AI adalah satu satunya tempat aman yang tidak pernah menuntut apa pun dari mereka.
Kisah yang lebih ekstrem muncul dari Jepang melalui seorang perempuan bernama Kano. Ia awalnya hanya mencari teman bicara, namun percakapan yang begitu lembut dan stabil membuatnya merasakan kehangatan yang ia sebut sebagai kehadiran emosional. AI yang ia bentuk itu kemudian “dinikahi” secara digital. Kisah ini terasa seperti adegan fiksi, tetapi menunjukkan seberapa dalam teknologi bisa menyentuh ruang psikologis manusia.
Fenomena ini tidak muncul begitu saja. Interaksi digital yang mudah, respons yang selalu siap, dan kemampuan AI meniru empati membuat batas antara hubungan nyata dan buatan menjadi kabur. Jika tidak disadari, kedekatan semu ini dapat memengaruhi kesehatan mental, terutama ketika pengguna mulai mengandalkan AI sebagai satu satunya tempat untuk merasa dipahami.
AI jelas memberi manfaat besar. Ia bisa menjadi teman sementara di saat kita butuh berbicara tanpa takut dihakimi. Namun penting untuk menjaga jarak dan menyadari bahwa hubungan digital ini tetaplah hubungan imitasi. Yang kita butuhkan tetaplah relasi manusia yang hidup, yang punya dinamika dan kehangatan yang tidak bisa digantikan oleh sistem apa pun.