FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Rehabilitasi yang diberikan Presiden Prabowo Subianto kepada Ira Puspadewi menjadi sorotan publik karena membuka kembali persoalan besar dalam sistem hukum Indonesia, khususnya terkait penanganan kasus di lingkungan BUMN.
Politikus dan aktivis, Syahganda Nainggolan mengurai secara rinci bagaimana keputusan Presiden muncul di tengah ketidaksesuaian antara logika bisnis dan tafsir hukum pidana yang selama ini diterapkan kepada para pejabat negara.
Peristiwa ini melibatkan Presiden Prabowo Subianto sebagai pihak yang memberikan rehabilitasi, serta Ira Kuspadewi sebagai terpidana kasus korupsi di ASDP.
Syahganda menilai bahwa Ira mengalami ketidakadilan karena keputusan bisnis yang diambilnya justru dipidana sebagai tindak korupsi. Ia menegaskan bahwa masalah ini menunjukkan betapa kacaunya sistem hukum yang menjerat pejabat BUMN.
“Ini kan menunjukkan bahwa sistem hukum kita ini kan kacau balau,” ujar Syahganda dalam podcast MADILOG yang tayang di kanal YouTube Forum Keadilan TV pada 27 November 2025.
Menurut Syahganda, tindakan Ira bukan merupakan tindak pidana korupsi, melainkan bagian dari aksi korporasi, keputusan bisnis yang seharusnya dinilai dengan standar korporasi, bukan pidana.
“Orang-orang ahli business judgement process itu mengatakan bahwa itu adalah aksi korporasi. Biasa saja, kalau ada kesalahan, maka itu tentu korporasi yang akan menghukum dia,” tegasnya.
Dengan demikian, pemidanaan terhadap Ira dianggap keliru karena yang ia lakukan adalah risiko bisnis yang lumrah terjadi pada perusahaan milik negara.
Menurutnya, rehabilitasi diberikan karena adanya kebingungan fundamental mengenai status uang negara dalam BUMN. Hingga kini belum ada kejelasan apakah dana negara yang masuk ke perusahaan negara masih dianggap sebagai uang negara atau sudah menjadi modal korporasi.
“Perusahaan negara ini sampai sekarang tuh bingung apakah uang negara yang ditempatkan dalam perusahaan negara itu adalah uang negara, atau sudah menjadi uang korporasi,” jelas Syahganda.
Ketidakjelasan ini membuat banyak direksi BUMN takut mengambil keputusan karena khawatir dianggap merugikan negara dan dijerat sebagai koruptor.
Ketegangan antara pemerintah dan aparat hukum terlihat ketika pengadilan menetapkan adanya kerugian negara sebesar Rp1,2 triliun, sementara bagi pemerintah tindakan tersebut merupakan kebijakan bisnis ASDP.
Perbedaan waktu dan tafsir antara putusan hakim dan kajian hukum Presiden menunjukkan bahwa sistem hukum berjalan tidak seragam.
“Kaget juga saya. Udah duluan Prabowo cepat gitu,” ucapnya, menanggapi langkah cepat yang diambil Presiden Prabowo.
Akar persoalannya, menurut Syahganda, berada pada posisi BUMN sebagai entitas hibrida, di satu sisi perusahaan bisnis, di sisi lain bagian dari negara.
Ketidakjelasan batas inilah yang membuat seluruh operasional BUMN berada dalam ruang abu-abu hukum. Ia menyebut bahwa akibatnya aktivitas bisnis BUMN ikut melambat.
“Peristiwa bisnis yang dilakukan BUMN agak melambat sekarang, gara-gara mereka nggak bisa ekspansi bisnis, karena tidak ada kepastian hukum,” kata Syahganda.
Presiden Prabowo kemudian mengambil langkah korektif melalui rehabilitasi sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap kepastian hukum bisnis.
Syahganda menjelaskan bahwa Presiden menggunakan hak prerogatif setelah melakukan kajian hukum internal yang berbeda dengan penilaian lembaga seperti KPK atau BPK.
“Kami melakukan kajian hukum versi Presiden Prabowo dengan fakta yang dilakukan lembaga legislatif itu berbeda,” tuturnya.
Dengan demikian, tegas dia, rehabilitasi ini bukan hanya pengampunan personal, tetapi penegasan arah kebijakan hukum yang membedakan secara tegas antara kesalahan korporasi dan tindak pidana korupsi. (*)