Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara menilai aktivitas perusahaan ekstraktif yang beroperasi di kawasan Tapanuli menjadi penyebab utama bencana ekologis yang melanda Pulau Sumatera.
“Kami mengindikasikan aktivitas perusahaan sebagai pemicu kerusakan karena eksploitatif dan membuka tutupan hutan Batang Toru,” kata Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba dikutip, Jumat (28/11).
Sebagai informasi, sejak Selasa (25/11/2025), sedikitnya 8 kabupaten/kota di Sumatera Utara terdampak banjir bandang dan longsor. Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah menjadi wilayah paling parah. Puluhan ribu warga mengungsi, ribuan rumah hancur, serta ribuan hektare lahan pertanian rusak tersapu banjir. Hingga kini, tercatat 51 desa di 42 kecamatan terdampak, dengan banjir melumpuhkan perekonomian, merusak infrastruktur, rumah ibadah, dan sekolah.
Bencana tersebut paling parah melanda wilayah-wilayah yang berada di Ekosistem Harangan Tapanuli (Ekosistem Batang Toru), yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga.
Catatan WALHI, ekosistem Harangan Tapanuli/Batang Toru merupakan salah satu bentang hutan tropis esensial terakhir di Sumatera Utara. Secara administratif, 66,7% berada di Tapanuli Utara, 22,6% di Tapanuli Selatan, dan 10,7% di Tapanuli Tengah. Sebagai bagian dari Bukit Barisan, hutan ini menjadi sumber air utama, mencegah banjir dan erosi, serta menjadi pusat Daerah Aliran Sungai (DAS) menuju wilayah hilir.
Rianda menilai, banjir bandang dan longsor bukan sekadar akibat hujan ekstrem. “Setiap banjir membawa kayu-kayu besar, dan citra satelit menunjukkan hutan gundul di sekitar lokasi. Ini bukti campur tangan manusia melalui kebijakan yang memberi ruang pembukaan hutan,” katanya.
Atas hal tersebut WALHI Sumatera Utara menyatakan tuntutannya. Menurut Rianda, kehadiran industri ekstraktif telah menyebabkan deforestasi yang mengorbankan lingkungan dan masyarakat. Di antaranya WALHI menuntut pemerintah untuk menghentikan aktivitas industri ekstraktif di ekosistem Batang Toru, menindak tegas pelaku perusakan lingkungan.
Selanjutnya menetapkan kebijakan perlindungan ekosistem Batang Toru elalui RTRW Kabupaten, Provinsi, dan Nasional secara terpadu dan memastikan kebutuhan dasar para penyintas, serta mengevaluasi wilayah rawan bencana untuk memitigasi kejadian serupa.
“Kami turut berduka atas bencana ekologis yang menimpa Sumatera Utara. Semoga para penyintas diberi kekuatan dan kebutuhan dasarnya segera terpenuhi. Kami tidak ingin bencana ini berulang. Negara harus bertindak dan menghukum para pelanggar,” tandasnya.