Setiap penugasan di institusi negara sesungguhnya sudah diberi garis awal dan garis akhir. Ada hari pertama ketika seseorang dilantik, mengenakan seragam, menerima NRP atau NIP, lalu masuk dalam barisan aparatur negara. Ada pula hari terakhir ketika ia seharusnya menanggalkan seragam, menyerahkan kewenangan, dan berpindah peran dari pelaksana menjadi sesepuh. Di antara dua titik itu terbentang masa pengabdian yang diatur dengan batas usia pensiun: 56 tahun di BUMN, 58 tahun di Polri, 60 tahun di banyak instansi lain. Angka-angka itu adalah kesepakatan sistem agar regenerasi berjalan dan amanah bergulir secara wajar.
Dalam pandangan ideal, seseorang memasuki dinas dengan semangat, menjalani masa produktif dengan penuh tanggung jawab, lalu menutup pengabdiannya dengan kepala tegak ketika usia pensiun tiba. Panggung dinas tidak dimaksudkan menjadi rumah tetap, melainkan fase hidup yang suatu saat harus dilepas. Kehormatan sejati justru tampak ketika seseorang rela turun dengan elegan, memberi ruang kepada generasi berikutnya.
Realitas tidak selalu seindah desain di atas kertas. Ada orang yang begitu betah di panggung kekuasaan hingga tidak siap menghadapi kenyataan bahwa masa dinas punya ujung. Ketika usia semakin mendekati batas, kegelisahan muncul. Bukan gelisah memikirkan bagaimana caranya terus bermanfaat, melainkan gelisah memikirkan bagaimana caranya tetap berada di posisi. Dari kegelisahan ini lahir berbagai akal-akalan administratif: mengubah tahun kelahiran agar tampak lebih muda satu atau dua tahun, atau memanfaatkan celah aturan “keahlian khusus” untuk memperpanjang masa tugas, meskipun sebelumnya sudah menduduki pucuk jabatan.
Fenomena seperti ini pernah saya jumpai langsung dalam perjalanan kedinasan, baik saat masih berada di lapangan maupun ketika memegang amanah di bidang sumber daya manusia. Upaya memanipulasi data kelahiran demi menambah masa dinas bukan sekadar persoalan administrasi. Kertas memang bisa diganti, angka bisa diubah, legalitas bisa dicari, namun jejak perjalanan hidup tidak berubah. Puluhan tahun seseorang menandatangani keputusan, menerima gaji, mengikuti pendidikan, dan menjalankan kewenangan dengan tahun kelahiran tertentu. Ketika angka itu tiba-tiba “dimudakan”, sesungguhnya yang retak bukan hanya konsistensi dokumen, melainkan juga integritas moral.
Ada pula cara lain yang lebih halus: berlindung di balik ketentuan “keahlian teknis khusus” yang sejatinya dirancang untuk personel pelaksana tertentu, kemudian dipakai oleh mantan pejabat puncak demi memperpanjang masa dinas. Secara administrasi mungkin bisa dipoles agar tampak sah. Dari kacamata kepatutan, sikap ini meninggalkan banyak tanda tanya. Seseorang yang kemarin memegang komando tertinggi, hari ini secara formal “turun” menjadi pelaksana teknis di bawah bekas anak buahnya sendiri, hanya supaya belum pensiun. Regenerasi tersendat, pesan moral kepada organisasi ikut keruh.
Keganjilan bertambah ketika pimpinan institusi bukan hanya membiarkan, tetapi bahkan mendukung langkah-langkah seperti itu. Sesuatu yang dulu dipandang tidak pantas, perlahan dianggap wajar. Ruang abu-abu diperluas, batas kepatutan digeser. Bahayanya bukan hanya pada satu dua kasus, melainkan pada preseden yang tercipta. Generasi setelahnya akan berkata, “Dulu boleh, mengapa sekarang tidak?”
Tulisan ini lahir dari keprihatinan atas fenomena tersebut. Bukan untuk menunjuk nama atau mempersoalkan individu, melainkan untuk mengajak merenungkan kembali makna masa dinas, batas usia pensiun, dan hubungan kita dengan jabatan. Pertanyaannya bukan semata-mata, “Apakah ini melanggar aturan?”, tetapi lebih dalam lagi, “Apakah ini pantas, etis, dan selaras dengan nilai spiritual yang kita imani?”
Pertanyaan di tataran rohani menjadi lebih tajam: ketika seseorang memaksa mempertahankan masa dinas dengan cara mengakali administrasi, apa yang sesungguhnya sedang dilawan? Aturan birokrasi, rasa malu, atau takdir Allah tentang fase hidup yang sudah berpindah? Di titik inilah refleksi tentang “melawan takdir” perlu dibahas dengan tenang: apakah mereka benar-benar melawan ketentuan Allah, atau sesungguhnya sedang melawan kejujuran terhadap takdir waktu yang sudah digariskan.
Kertas Diubah, Sejarah TerbelahUsia sesungguhnya adalah perjalanan yang tidak bisa diputar ulang. Rambut memutih pelan-pelan, langkah tidak lagi selincah dulu, stamina menurun, dan tubuh memberi sinyal bahwa masa sprint sudah lewat. Di atas meja, usia tercatat dalam bentuk angka di akta kelahiran, KTP, dan berkas kepegawaian. Idealnya, angka itu hanya cermin administratif dari kenyataan biologis.
Masalah dimulai ketika angka di kertas dianggap bisa “ditawar”. Ada yang tiba-tiba merasa belum siap pensiun. Bukan belum siap secara ekonomi, tetapi belum siap melepaskan posisi, kewenangan, dan suasana dihormati. Di titik itu, muncul godaan untuk mencari jalan belakang: bagaimana kalau tahun kelahiran dimajukan satu atau dua tahun? Tubuh memang tidak ikut menjadi lebih muda, namun di atas kertas masih terlihat “layak” dinas.
Praktik ini biasanya tidak berdiri sendiri. Prosesnya melibatkan mata rantai panjang: dari tingkat RT, RW, kelurahan, catatan sipil, bahkan sampai pengadilan. Satu per satu pintu administrasi diketok untuk mengubah data dasar yang seharusnya paling dijaga. Setelah itu, barulah berkas kepegawaian direvisi. Dari sudut pandang formal, tampak seolah semua sudah sah. Padahal yang terjadi adalah pergeseran diam-diam terhadap fondasi kejujuran.
Ada satu persoalan besar di sini: individu yang bersangkutan sudah menjalani perjalanan kedinasan puluhan tahun dengan menggunakan tahun kelahiran yang lama. Ia diterima sebagai calon pegawai, mengikuti pendidikan, menempuh jenjang kepangkatan, menerima gaji, dan menandatangani begitu banyak keputusan dengan identitas usia tertentu. Semua produk administrasi itu lahir dari “versi lama” dirinya.
Begitu tahun kelahiran diubah, seolah-seolah muncul “versi baru” yang menggantikan. Dokumen masa lalu tetap ada, hanya saja menjadi tidak selaras dengan data terbaru. Secara sistem, struktur kepegawaian mengandung catatan yang saling bertentangan. Pada satu sisi, tampak seolah ia lebih muda. Pada sisi lain, jejak dokumen menunjukkan bahwa ia seharusnya sudah melewati batas usia.
Lebih dari sekadar kekacauan data, tindakan ini menyentuh wilayah moral. Mengubah tahun kelahiran demi memperpanjang masa dinas bukan sekadar kesalahan administrasi, tetapi bentuk pemalsuan perjalanan hidup. Usia yang seharusnya diterima sebagai amanah dari Allah, malah diperlakukan seperti variabel yang bisa diatur sesuai kepentingan. Padahal waktu pengabdian sudah panjang, kesempatan memegang jabatan sudah dirasakan, penghargaan dan fasilitas sudah dinikmati.
Dahulu, ketika saya memegang amanah di bidang sumber daya manusia, kegelisahan ini sangat terasa. Karena itu diterbitkan aturan yang secara tegas melarang perubahan tahun kelahiran untuk tujuan memperpanjang masa penugasan. Larangan ini bukan lahir dari keinginan membatasi rezeki orang lain, melainkan sebagai upaya menjaga martabat sistem dan kejujuran pribadi. Bila data dasar seperti tanggal lahir saja bisa dinegosiasikan, bagian mana lagi dari administrasi negara yang bisa dianggap kokoh?
Ada dimensi keadilan yang ikut terganggu. Banyak anggota lain yang patuh pada ketentuan, menerima saat usia pensiun tiba, meskipun secara fisik masih kuat dan secara kemampuan masih mumpuni. Mereka rela mundur dengan terhormat, memberi ruang bagi generasi berikutnya. Di sisi lain, mereka melihat rekan yang memilih jalan pintas dengan merapikan angka di kertas. Pesan apa yang tertanam di batin para junior ketika menyaksikan perbedaan sikap ini ?
Bila dibiarkan, praktik mengubah tahun kelahiran berpotensi menjadi “jurisprudensi gelap”. Setiap kali muncul keinginan memperpanjang masa dinas, akan ada suara yang berkata, “Dulu sudah pernah ada yang berhasil, tinggal ikuti jejaknya.” Pada saat itu, sistem tidak hanya bermasalah, tetapi sudah mulai terbiasa hidup berdampingan dengan ketidakjujuran yang dilegalkan.
Fenomena ini layak dibaca bukan hanya sebagai cerita birokrasi, tetapi sebagai cermin tentang bagaimana manusia memandang waktu, jabatan, dan dirinya sendiri. Ketika seseorang merasa berhak mengubah angka usia demi tetap berada di kursi kekuasaan, sesungguhnya ia sedang mengirim pesan sunyi kepada dirinya: “Aku tidak rela menerima fase hidup yang Allah tetapkan.”
Bersembunyi di Balik “Keahlian Khusus”Selain mengubah tahun kelahiran, ada pola lain yang tidak kalah menarik sekaligus menggelisahkan: memperpanjang masa dinas dengan berlindung di balik istilah “keahlian khusus”.
Secara prinsip, aturan tentang keahlian khusus lahir dari kebutuhan riil organisasi. Ada kompetensi teknis yang tidak banyak dimiliki orang: pawang anjing pelacak, pawang kuda, jihandak, instruktur tertentu, teknisi spesialis peralatan tertentu, dan sejenisnya. Mereka yang memegang keahlian ini tidak mudah digantikan dalam waktu singkat. Karena itu, negara memberi ruang perpanjangan masa dinas dengan prosedur ketat, agar keahlian langka itu tidak hilang tiba-tiba ketika usia pensiun datang.
Dalam kerangka ini, perpanjangan masa dinas masuk akal. Seseorang yang sejak awal berkarier sebagai pelaksana teknis, bertahun-tahun berkutat di lapangan dengan spesialisasi yang jelas, dipertahankan sebentar lagi karena organisasi memang masih sangat membutuhkan kompetensi praktisnya. Ia tetap berada pada koridor tugas yang selaras dengan perjalanan kariernya.
Masalah muncul ketika logika keahlian khusus ini dipelintir. Seorang yang sebelumnya menduduki pucuk pimpinan, memegang jabatan strategis, menikmati posisi pengambil kebijakan tertinggi, begitu mendekati pensiun tiba-tiba “turun pangkat peran” menjadi pelaksana teknis atas nama keahlian khusus. Secara kertas mungkin tampak rapi. Formulir diisi, persetujuan diproses, surat keputusan keluar. Dari sudut pandang administratif, semua tampak legal.
Namun jika dilihat dari sisi kepatutan, ada yang terasa sangat janggal. Seseorang yang kemarin berdiri di podium sebagai pimpinan tertinggi, hari ini secara formal ditempatkan sebagai pelaksana teknis di bawah komando mantan anak buahnya sendiri. Jabatan puncak pernah dipegang, kendaraan dinas pernah dinikmati, ruangan besar pernah ditempati, tanda tangan pernah menentukan arah kebijakan. Lalu demi menambah masa dinas, ia bersedia “turun kelas” hanya di atas kertas, padahal semua orang tahu substansi sebenarnya bukan pada keahlian, melainkan pada keinginan untuk tetap berada di dalam lingkaran dinas.
Organisasi pun menerima sinyal yang membingungkan. Di satu sisi, sistem mengatakan bahwa keahlian khusus disediakan untuk benar-benar menjaga kompetensi teknis langka. Di sisi lain, praktik menunjukkan bahwa jalur itu bisa dipakai juga untuk orang-orang tertentu yang ingin memperpanjang masa dinas, meskipun dari sudut pandang karier, mereka bukan lagi pelaksana teknis, melainkan mantan pejabat strategis.
Dampak yang Berlapis.Pertama, dari sisi regenerasi. Posisi yang seharusnya diisi oleh generasi berikutnya menjadi terganjal. Mereka yang sudah lama menunggu kesempatan naik, malah menyaksikan orang yang semestinya mundur justru bertahan. Kekecewaan mungkin tidak selalu diungkapkan, tetapi diam-diam terekam dalam memori kolektif. Pesan yang terkirim: “Kalau ingin lama di jabatan, bukan perbanyak prestasi, tapi cari celah aturan.”
Kedua, dari sisi martabat jabatan. Ketika seorang mantan pejabat puncak memanfaatkan jalur keahlian teknis, ada rasa “turun derajat secara simbolik” yang sebenarnya tidak perlu. Padahal, jika ia menutup masa dinas dengan wajar, nama baiknya akan dikenang pada titik tertinggi karier. Saat ia memaksa bertahan dengan status baru yang ganjil, justru meninggalkan jejak tanya: apakah sebegitu beratnya melepaskan kursi, sampai bersedia mengorbankan kepatutan?
Ketiga, dari sisi budaya organisasi. Pimpinan yang menyetujui langkah semacam ini sesungguhnya ikut menggeser batas moral institusi. Dulu, ketika ada upaya akal-akalan seperti itu, pimpinan akan berkata “tidak”. Batas norma masih jelas. Ketika sekarang pimpinan sendiri memberi restu, batas itu bergeser. Hal yang tadinya dikategorikan “tidak pantas” perlahan berubah menjadi “biasa saja”. Di sinilah preseden buruk mulai lahir.
Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan bukan hanya ada di individu yang memanfaatkan celah, tetapi juga pada pimpinan dan sistem yang membiarkan, bahkan memfasilitasi. Aturan yang sejatinya dibuat untuk menjaga operasional menjadi sehat, diubah fungsi menjadi alat mempertahankan orang tertentu. Keadilan struktural pun terganggu: yang mendapatkan peluang perpanjangan bukan karena keahlian yang sungguh-sungguh langka, melainkan karena kedudukan dan jaringan.
Bila kita kembali pada roh manajemen SDM ideal, siklus karier seharusnya jelas: ada fase rekrutmen, pembinaan, puncak kontribusi, lalu purnatugas yang bermartabat. Perpanjangan masa dinas adalah pengecualian sempit yang hanya dipakai bila kepentingan organisasi benar-benar menuntut, bukan sebagai karpet merah tambahan bagi mereka yang enggan turun panggung.
Secara halus, fenomena ini menggambarkan satu hal: ketidakrelaan menerima bahwa setiap kekuasaan ada ujungnya. Bukan semata soal “keahlian”, tetapi soal rasa takut kehilangan status, akses, dan rasa penting yang menyertai jabatan. Ketika rasa takut itu dibiarkan memimpin, orang akan sanggup menekuk aturan dan memaksa sistem menyesuaikan dengan keinginannya.
Dari dua fenomena ini—mengubah tahun kelahiran dan bersembunyi di balik keahlian khusus—kita melihat pola yang sama: ada keengganan menghadapi fase akhir masa dinas dengan jujur. Di permukaan tampak sebagai manuver administratif. Di kedalaman, terdapat persoalan moral dan spiritual: bagaimana seseorang memaknai waktu, jabatan, dan dirinya di hadapan Allah.
Kepatutan, Etika, dan Tata Kelola–Ketika “Boleh” Tidak Selalu “Pantas”Jika dilihat dari sudut pandang aturan tertulis, sebagian dari manuver memperpanjang masa dinas mungkin dapat disandarkan pada celah regulasi. Ada putusan pengadilan yang bisa dijadikan dasar mengubah tahun kelahiran. Ada pasal tentang keahlian khusus yang bisa ditafsirkan lebih longgar. Di atas meja, semua bisa terlihat seolah “sah”.
Namun di dalam tata kelola birokrasi yang sehat, ada satu lapisan penting yang sering dilupakan: asas kepatutan dan kewajaran. Tidak semua yang secara administratif “boleh” menjadi “pantas” dilakukan. Di sinilah perbedaan antara birokrasi yang hanya berorientasi pada teks aturan dan birokrasi yang hidup di atas nilai.
Beberapa titik persoalan dapat kita baca sebagai berikut.
Pertama, soal integritas data dan kejujuran dasar.Tanggal lahir, riwayat pendidikan, masa dinas, dan berbagai data pokok kepegawaian adalah fondasi kepercayaan sistem. Ketika data paling dasar seperti tahun kelahiran bisa diubah demi kepentingan memperpanjang masa dinas, sesungguhnya kita sedang mengirim pesan bahwa kebenaran bisa diatur ulang jika ada kebutuhan. Ini bukan lagi soal satu orang, tetapi soal sinyal yang dikirim kepada seluruh organisasi: angka bukan lagi cermin fakta, melainkan alat.
Kedua, soal etika jabatan dan rasa “tahu diri”.Setiap jabatan publik membawa serta dimensi moral yang halus: tahu kapan harus maju, tahu kapan harus menepi. Orang boleh bangga pernah memegang jabatan tinggi, tetapi kebesaran sejati justru tampak ketika ia siap mundur saat waktunya tiba. Ketika seseorang memaksa bertahan dengan mengakali administrasi, sebenarnya ia sedang menyempitkan ruang kemuliaan dirinya sendiri. Orang lain mungkin tidak berani mengkritik secara terbuka, tetapi di batin mereka akan muncul kalimat: “Sayang, beliau tidak menutup masa tugas dengan elegan.”
Ketiga, soal keadilan karier dan regenerasi.Birokrasi yang sehat memerlukan aliran. Generasi yang lebih muda harus mendapat peluang bertanggung jawab, belajar memimpin, dan diuji dalam posisi strategis. Ketika ruang di puncak karier diisi terlalu lama oleh orang yang seharusnya sudah pensiun, arus ini tersumbat. Bukan hanya satu atau dua orang junior yang tertahan, tetapi seluruh mata rantai regenerasi ikut melambat. Dampaknya mungkin tidak langsung terasa, namun dalam jangka panjang, institusi kehilangan stamina pembaharu.
Keempat, soal peran pimpinan sebagai penjaga batas moral.Pimpinan tertinggi suatu instansi bukan hanya penafsir regulasi, tetapi juga penjaga etika organisasi. Tugasnya bukan sekadar menandatangani surat, melainkan menentukan garis: sampai di mana sesuatu bisa ditoleransi, dan kapan harus berkata “cukup”. Ketika pimpinan justru mengizinkan, bahkan mendorong, praktik-praktik memperpanjang masa dinas yang tidak pantas, ia sejatinya sedang menurunkan standar moral institusi. Hal yang dulu dianggap memalukan pelan-pelan menjadi “tradisi baru”.
Kelima, soal preseden dan budaya akal-akalan.Birokrasi sangat cepat belajar dari contoh. Satu keputusan yang menyimpang akan menjadi pembenaran bagi banyak keputusan berikutnya. Hari ini satu orang dibolehkan mengubah tahun lahir, besok akan ada orang lain meminta perlakuan sama. Hari ini seorang eks pejabat puncak diperpanjang lewat jalur keahlian teknis, besok jalur itu akan menjadi rujukan mereka yang enggan turun. Lama-kelamaan, akal-akalan administratif bukan lagi pengecualian, tetapi bagian dari pola pikir.
Pada titik ini, kita tidak lagi sedang berbicara tentang “kecerdikan memanfaatkan peluang”, melainkan tentang keretakan perlahan pada fondasi moral birokrasi. Sistem terlihat berjalan, SOP masih ada, rapat masih berlangsung, laporan masih disusun. Namun di bawah permukaan, ada keyakinan baru yang tumbuh: bahwa aturan bisa ditekuk asal ada kehendak. Ini adalah jalan pelan menuju delegitimasi; publik mungkin tidak langsung tahu detail teknisnya, tetapi mereka akan merasakan bau tidak sedap dari cara organisasi mengambil keputusan.
Padahal, kalau kita kembali ke tujuan awal dibuatnya batas usia pensiun dan ketentuan masa dinas, semuanya bermuara pada tiga hal: menjaga kualitas pelayanan melalui regenerasi, menjamin keadilan karier bagi seluruh anggota, bukan hanya lingkaran sempit, menjaga martabat pejabat agar dapat mengakhiri pengabdian dengan terhormat. Ketika kebijakan justru dipakai untuk mempertahankan segelintir orang, tiga tujuan itu terbalik. Layanan publik menjadi risiko sampingan, keadilan karier dikorbankan, martabat jabatan ikut tergerus.
Sampai di sini, kita bisa berkata bahwa dari sisi kepatutan, etika, dan tata kelola, praktik mengakali masa dinas bukan hanya “kurang baik”, tetapi memang tidak layak dipertahankan. Namun refleksi kita belum selesai. Ada lapisan yang lebih dalam dari sekadar prosedur dan kepantasan: bagaimana semua ini dipandang dari sudut spiritual.
Apa maknanya ketika seseorang tidak rela mundur saat waktunya tiba? Apakah ini bisa disebut “melawan takdir” ? Atau justru bentuk lain dari ketidakjujuran menerima ketetapan Allah tentang fase hidup?
Waktu, Ajal, dan Amanah yang Punya BatasKalau kita geser pandangan dari meja birokrasi ke mushalla dalam diri, persoalan ini menjadi lebih jernih. Di balik angka usia, surat keputusan, dan celah aturan, ada hubungan yang jauh lebih dalam: hubungan manusia dengan takdir Allah tentang umur, amanah, dan penghujung peran.
1. Umur dan batas waktu yang tidak bisa ditawarAllah mengingatkan bahwa setiap kelompok dan setiap insan punya “batas waktu” yang tidak bisa digeser:
Secara spiritual, ayat ini menegaskan bahwa umur hakiki tidak bergantung pada akta lahir, KTP, atau SK kepegawaian. Mengubah tahun kelahiran di dokumen tidak menjadikan tubuh lebih muda satu detik pun. Ajal tetap datang pada waktunya. Yang berubah hanya satu: bertambahnya catatan ketidakjujuran terhadap waktu yang Allah titipkan.
Orang yang memaksa memperpanjang masa dinas lewat akal-akalan administratif sesungguhnya tidak sedang memperpanjang hidupnya, tetapi sedang memperpanjang masa ujiannya. Bukan menambah umur yang penuh berkah, melainkan menambah rentang waktu di mana ia berpotensi menambah beban hisab, jika kewenangan yang dipertahankan tidak digunakan dengan benar.
2. Amanah yang lebih berat dari langit dan bumiJabatan dan masa dinas bukan hanya urusan gaji dan fasilitas, tetapi bagian dari amanah besar yang kelak dimintai pertanggungjawaban. Allah berfirman:
Ayat ini mengingatkan bahwa setiap kali seseorang menerima jabatan, setiap kali tanda pangkat dinaikkan, sebenarnya beban amanahnya bertambah, bukan sekadar naik kelas sosial. Ketika masa jabatan seharusnya selesai, lalu ia memaksa memperpanjang dengan cara yang tidak pantas, berarti ia menambah beban amanah yang kelak dihisab, padahal seharusnya sudah waktunya turun dan istirahat.
Dalam kacamata ini, keinginan mempertahankan jabatan lewat celah aturan bukan sekadar “tamak posisi”, tetapi juga kurangnya rasa takut terhadap beratnya amanah di hadapan Allah.
3. Khianat terhadap amanah dan dokumenAl-Qur’an sangat tegas dalam masalah amanah. Allah berfirman:
Dan di ayat lain:
Amanah di sini bukan hanya uang atau barang, tetapi juga amanah informasi dan data. Tahun kelahiran yang dicatat sejak awal, riwayat kepegawaian yang konsisten, surat-surat keputusan yang lahir dari data itu – semuanya bagian dari amanah administratif yang harus dijaga. Mengubah data dasar demi kepentingan diri, apalagi untuk mempertahankan jabatan, sudah masuk wilayah pengkhianatan amanah, meskipun langkah itu dibungkus dengan stempel pengadilan atau prosedur formal.
Begitu pula ketika ketentuan “keahlian khusus” dipakai bukan untuk kepentingan organisasi secara tulus, tetapi untuk memperpanjang masa dinas sosok tertentu. Secara ruhani, ini tidak lagi sekadar interpretasi aturan, tetapi penyelewengan amanah kebijakan.
4. Cinta berlebihan pada panggung duniaMengapa seseorang begitu berat melepaskan jabatan? Sering kali jawabannya bukan karena organisasi benar-benar tidak bisa berjalan tanpa dirinya, melainkan karena rasa sayang yang berlebihan pada panggung dunia: rasa dihormati, akses istimewa, fasilitas, dan status.
Allah SWT menggambarkan wajah dunia dengan sangat jujur:
Dan di tempat lain:
Jabatan yang dipertahankan lewat manipulasi masa dinas pada hakikatnya menjadi bagian dari “perlombaan” ini. Orang tidak rela disebut pensiun, tidak siap kehilangan status “pejabat”, tidak siap duduk sebagai orang biasa. Padahal, dari sisi Allah, kemuliaan bukan ditentukan oleh lamanya seseorang berada di jabatan, tetapi oleh cara ia memegang dan melepas jabatan itu.
Ketika cinta pada panggung lebih kuat daripada cinta pada kejujuran, akal akan mencari pembenaran. Dicarilah celah aturan, diolah argumentasi administratif, hingga hati merasa “aman”. Padahal, dalam catatan Allah, yang tercatat bukan kecerdikan mengelola celah, melainkan kesiapan atau ketidaksiapan menerima berpindahnya fase hidup.
5. Apakah ini “melawan takdir”?Pertanyaan yang menggelitik sejak awal: apakah praktik semacam ini bisa disebut “melawan takdir”?
Dalam akidah, kita meyakini bahwa takdir Allah dalam hal ajal dan umur tidak bisa diubah. Tidak ada satu pun manipulasi administrasi yang dapat menambah umur sehari saja. Dalam pengertian ini, siapa pun yang mengubah tahun kelahiran tidak sedang menggeser takdir Allah, karena mustahil. Mereka tetap akan wafat pada waktu yang telah ditentukan-Nya.
Namun di sisi lain, ada takdir sosial dan aturan duniawi yang disepakati sebagai bagian dari ikhtiar menata kehidupan: batas usia pensiun, masa dinas, prosedur regenerasi. Ketika seseorang mengakali itu demi dirinya, sesungguhnya ia tidak melawan takdir Allah, tetapi melawan kejujuran terhadap ketetapan-Nya. Allah sudah menakdirkan bahwa setiap manusia punya fase: lahir, tumbuh, kuat, melemah, lalu pulang. Sistem pensiun adalah cermin kecil dari siklus besar itu. Orang yang tidak rela pensiun pada hakikatnya sedang tidak rela menerima bahwa fase hidupnya memang telah bergeser.
Lebih jauh lagi, yang dilawan bukan hanya aturan birokrasi, tetapi juga mau’izhah (peringatan, pelajaran, kesadaran) Allah agar manusia memaknai usia dan amanah secara jujur. Ia tidak bisa mengubah takdir, tetapi bisa memilih apakah ia akan menghadap takdir itu dengan wibawa moral atau dengan jejak manipulasi.
Dalam perspektif ini, menyebut tindakan tersebut sebagai “melawan takdir” adalah bahasa sindiran yang dalam. Bukan karena mereka benar-benar mampu mengubah ketetapan Allah, tetapi karena mereka bersikap seolah-olah bisa menunda fase hidup yang telah ditentukan: fase menepi, mendidik dari luar struktur, dan mempersiapkan diri untuk pulang.
Padahal, mungkin justru di fase pensiun itulah Allah ingin memberi kesempatan yang lebih luas untuk ibadah lain: menulis, membimbing, mengajarkan pengalaman, membersihkan sisa-sisa urusan yang pernah tertunda, memperbanyak amal jariyah. Memaksa bertahan di panggung dengan cara-cara yang merusak kepatutan sama saja dengan menolak hadiah bentuk lain yang Allah sediakan di ujung karier.
Dari sudut pandang spiritual, seluruh rangkaian akal-akalan masa dinas ini memperlihatkan satu hal: bukan takdir Allah yang bisa digeser, melainkan posisi hati yang bergeser jauh dari sikap ridha, qana’ah, dan takut akan hisab.
Pelajaran Moral–Untuk Individu, Pimpinan, dan Generasi MudaFenomena manipulasi masa dinas pada akhirnya bukan sekadar kisah birokrasi, tetapi cermin besar yang memantulkan tiga wajah sekaligus: wajah individu yang memegang jabatan, wajah pimpinan yang memutuskan, dan wajah generasi muda yang sedang belajar diam-diam dari semua itu.
1. Untuk individu yang tergoda “menambah” masa dinasSetiap orang yang pernah memegang jabatan tahu rasanya dipercaya, dihormati, ditempatkan di kursi penting. Itu fitrah. Masalah muncul ketika rasa syukur bergeser menjadi rasa tidak rela melepaskan. Di titik itu, godaan akal-akalan muncul: mengubah tahun kelahiran, memanfaatkan jalur keahlian khusus, atau mencari bentuk-bentuk legalitas lain demi tetap berada di lingkaran kekuasaan.
Pelajaran yang perlu direnungkan:
Pensiun bukan hukuman, tetapi bagian dari siklus amanah. Ada saat dipanggil untuk mengemban, ada saat dipanggil untuk menanggalkan.
Mengakhiri masa dinas dengan cara yang jujur jauh lebih mulia daripada menambah beberapa tahun masa jabatan dengan cara yang merusak kepatutan.
Setiap hari tambahan yang diperoleh lewat kelicikan bukan sekadar “bonus umur jabatan”, tetapi tambahan catatan yang kelak ditimbang: dipakai untuk apa, diperoleh dengan cara bagaimana.
Keberanian sejati bukan hanya tampak ketika naik jabatan, melainkan saat berani berkata kepada diri sendiri: “Sudah cukup. Saatnya memberi ruang kepada yang lebih muda, saatnya mengabdi dengan cara yang lain.”
2. Untuk pimpinan yang memberi izin dan restuPimpinan instansi berada di posisi kunci. Satu tanda tangan dapat menghentikan akal-akalan, satu persetujuan dapat mengabadikannya sebagai preseden. Ketika pimpinan memilih untuk membiarkan, bahkan mendukung, manuver memperpanjang masa dinas yang tidak pantas, ia sebenarnya sedang menuliskan bab baru dalam budaya institusi.
Ada beberapa hal yang patut diingat:
Pimpinan bukan hanya pengelola aturan, tetapi penjaga marwah organisasi.
Keputusan yang diambil hari ini mungkin menyenangkan satu dua orang, namun dapat melukai rasa keadilan ratusan orang lain yang menunggu giliran.
Persetujuan terhadap praktik tidak patut berarti ikut menanggung bagian dari konsekuensi moralnya, bukan hanya konsekuensi administrasi.
Memimpin artinya berani berkata “tidak” bahkan kepada orang dekat, ketika permintaan mereka merusak kepatutan. Terkadang cara paling sayang kepada bawahan senior adalah menolong mereka untuk pensiun dengan bermartabat, bukan memfasilitasi mereka bertahan dengan cara yang kelak disesali.
3. Untuk generasi muda di dalam institusiGenerasi muda adalah saksi diam. Mereka jarang diajak bicara ketika keputusan besar diambil, tetapi mata mereka melihat, ingatan mereka merekam. Kelak, ketika mereka berada di posisi strategis, memori itu akan menjadi rujukan: apakah akan mengulang pola yang sama, atau memilih jalan yang berbeda.
Beberapa pesan yang layak dicamkan:
Jadikan fenomena ini sebagai contoh yang tidak perlu diikuti.
Ukur keberhasilan bukan dari seberapa lama bertahan di jabatan, tetapi dari seberapa bersih cara naik dan seberapa terhormat cara turun.
Persiapkan diri sejak awal untuk menerima bahwa setiap karier punya garis akhir. Membangun kapasitas di luar struktur, memperkuat integritas, dan menanam amal jariyah menjadi bekal saat seragam dilepas.
Generasi baru memegang peran penting untuk memutus mata rantai budaya “akal-akalan”. Jika mereka memilih garis yang lurus, masa depan institusi tidak harus selalu berjalan di atas preseden keliru masa lalu.
4. Untuk publik sebagai pemilik kedaulatanMasyarakat sering kali hanya melihat permukaan: siapa yang menjabat, siapa yang pensiun, siapa yang diperpanjang. Rincian administratif mungkin tidak mereka ikuti, namun rasa keadilan mereka bekerja. Ketika praktik seperti ini berulang, kepercayaan publik tergerus pelan-pelan.
Publik perlu menyadari:
Reformasi birokrasi tidak cukup dengan slogan dan aturan baru. Inti perubahan terletak pada cara pejabat memaknai jabatan dan batas waktunya.
Mengapresiasi pejabat yang turun dengan terhormat jauh lebih penting daripada membiarkan kultus kepada mereka yang bertahan dengan cara manipulatif.
Kepercayaan publik adalah modal institusi. Sekali modal itu terkikis, sangat sulit mengembalikannya hanya dengan konferensi pers dan publikasi.
Mengakhiri Masa Dinas dengan BermartabatPada akhirnya, masa dinas hanyalah satu bab dalam buku panjang kehidupan. Ada halaman ketika seragam pertama kali dikenakan, ada halaman ketika pangkat dinaikkan, ada halaman ketika ruangan besar ditempati. Cepat atau lambat, akan tiba halaman terakhir ketika semua itu harus diserahkan kembali.
Manipulasi tahun kelahiran, permainan “keahlian khusus”, atau cara-cara lain untuk memperpanjang masa dinas dengan mengorbankan kepatutan tidak mengubah takdir Allah satu milimeter pun. Ajal tetap akan datang pada waktunya. Yang berubah adalah wajah kita ketika menghadap-Nya: datang dengan jejak kejujuran, atau membawa beban tambahan dari akal-akalan yang pernah dilakukan.
Ucapan “melawan takdir” dalam konteks ini sejatinya bukan klaim bahwa mereka berhasil menggeser ketetapan Allah, melainkan teguran halus: jangan sampai sikap kita terhadap jabatan justru memperlihatkan penolakan hati terhadap fase hidup yang Allah tetapkan. Takdir tidak bisa dikalahkan, namun manusia bisa mempermalukan dirinya sendiri di hadapan takdir.
Lebih terhormat menutup masa dinas tepat pada waktunya, meski tanpa pesta besar, daripada bertahan beberapa tahun lagi dengan cara yang membuat orang menggeleng pelan.
Lebih mulia menjadi purnawirawan yang bersih dan dihormati, daripada pejabat aktif yang dipandang sinis karena cara bertahannya.
Tulisan ini bukan vonis, melainkan undangan hening: bagi siapa pun yang pernah atau sedang memegang jabatan, mari bertanya kepada diri sendiri sebelum hari pensiun datang:
Apakah saya siap menerima bahwa masa dinas saya ada batasnya?
Apakah saya siap turun dengan cara yang jujur dan bermartabat?
Apakah saya ingin dikenang karena lamanya saya duduk di kursi, atau karena cara saya menjaga amanah dan cara saya meninggalkan kursi itu?
Pada akhirnya, tidak ada yang bisa melawan takdir. Yang bisa kita lakukan hanya satu: menyambut takdir itu dengan kehormatan akhlak, atau menyambutnya dengan penyesalan. Semoga Allah memberi kekuatan kepada kita untuk memilih jalan pertama.
Wallahualam bishawab.