Penulis: Muliadi Saleh, Esais Reflektif dan Direktur Eksekutif Lembaga SPASIAL
Dalam wacana sosiologi perkotaan, para pakar sering menyebut bahwa kehidupan manusia modern hanya menemukan kehangatannya ketika ia bertemu ruang sosial yang paling dekat—ruang yang tidak mengharuskannya menjadi siapa pun selain dirinya sendiri. Di Makassar, ruang itu bernama RT dan RW. Dua lembaga kecil yang, meski sederhana di pandangan banyak orang, sesungguhnya adalah fondasi yang menahan gemuruh kota besar. Menjelang pemilihan ketua RT dan RW pada 3 Desember 2025, kita diminta kembali menafsir ulang makna kata rukun yang tersemat pada keduanya. Sebab rukun bukan sekadar nama, melainkan cita-cita sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Sejarah RT dan RW bukan hanya sejarah administratif. Dalam kajian administrasi publik, lembaga ini memang diformalkan setelah kemerdekaan untuk memperkuat fungsi pemerintahan lokal. Namun antropolog telah lama mencatat bahwa jauh sebelum negara hadir dengan formulir, rapat, dan stempel, masyarakat Nusantara telah hidup dalam ikatan yang mirip: paguyuban, lingkar tetangga, kelompok kampung, dan solidaritas lorong. Dengan kata lain, RT dan RW adalah bentuk modern dari tradisi kuno tentang bagaimana manusia menjaga kedekatannya. Ia lahir dari kebutuhan untuk hidup harmonis, bukan dari keputusan birokrasi semata.
Sosiolog Robert Putnam menyebut bahwa keberhasilan komunitas sangat ditentukan oleh modal sosial—jaringan kepercayaan dan norma yang membuat orang mau bekerja sama. RT dan RW adalah laboratorium pertama modal sosial itu. Di sinilah warga belajar mengelola perbedaan, mencari solusi bersama, dan membangun rasa saling percaya dalam skala paling kecil. Clifford Geertz pernah mengatakan bahwa masyarakat hanya dapat bertahan jika ia memiliki “komunitas moral”—ikatan nilai yang membuat orang merasa bertanggung jawab satu sama lain. RT dan RW adalah wajah nyata dari komunitas moral itu, tempat warga menempa empati di tengah rutinitas.
Namun fungsi utama RT dan RW tidak hanya menyangkut administrasi atau gotong royong fisik. Ia juga menjadi arena kepemimpinan akar-rumput—kepemimpinan yang bersifat lentur, dekat, dan berwujud kehadiran nyata. Para ahli governance menyebut pemimpin RT dan RW sebagai moral agent, seseorang yang menjaga irama harmoni sosial dalam komunitasnya. Seorang ketua yang baik tidak hanya mengurus dokumen atau memfasilitasi rapat, melainkan menjaga agar tetangga tidak merasa asing satu sama lain. Ia adalah pemediasi ketika konflik kecil mengusik ketenangan; penjaga jembatan komunikasi ketika terjadi kesalahpahaman; penggerak partisipasi saat dibutuhkan kerja bersama.
Di sini, kata-kata para sufi menemukan relevansinya. Jalaluddin Rumi pernah menulis bahwa pemimpin sejati adalah “mereka yang menjadikan dirinya jembatan, bukan tembok.” Ibn ‘Arabi mengingatkan bahwa seorang yang memimpin harus “menjadi tempat bernaung bagi hati-hati yang sedang gelisah.” Sementara Al-Ghazali menyebut bahwa amanah kepemimpinan adalah “cahaya yang padam dalam hati orang yang mengejarnya, dan menyala dalam diri orang yang menerimanya dengan ketulusan.” Nilai-nilai sufistik ini memberikan fondasi moral yang tak pernah lekang bagi mereka yang bertugas di ruang sosial kecil seperti RT dan RW.
Menjelang pemilihan, warga perlu menimbang bukan hanya siapa yang paling dekat, tetapi siapa yang paling dapat dipercaya rekam jejaknya. Pemimpin RT dan RW sebaiknya mereka yang telah lama menunjukkan kepedulian, bukan hanya menjelang pemilihan. Track record menjadi pertimbangan paling rasional: apakah ia pernah aktif dalam kegiatan warga? Apakah ia hadir di saat ada tetangga yang berduka? Apakah ia bisa memediasi tanpa memihak? Apakah ia menunjukkan etika dalam tindakan kecil—kejujuran, konsistensi, dan kemampuan mendengar? Para pakar kepemimpinan komunitas menyatakan bahwa pemimpin lokal yang efektif adalah mereka yang lebih dikenal karena tindakannya daripada kata-katanya.
Sikap warga dalam pemilihan ini pun perlu dilandasi kedewasaan. Kita memilih bukan karena janji-janji kecil yang biasanya cepat hilang; bukan karena kesan sesaat; bukan pula karena tekanan sosial yang sering muncul dalam komunitas kecil. Kita memilih demi masa depan lingkungan kita sendiri. Sebab pemimpin RT dan RW adalah orang pertama yang kita temui ketika ada masalah, dan orang yang kita harapkan hadir ketika kita membutuhkan.
Pada akhirnya, rukun adalah kata sederhana dengan tanggung jawab besar. Ia menuntut pemimpin yang mampu merawat suasana damai, menata komunikasi, dan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Ia menuntut warga yang memilih dengan hati jernih dan nalar sehat. Dalam suasana kota yang terus bergerak cepat, RT dan RW menjadi jangkar sosial tempat kita kembali mengenali wajah kemanusiaan.
Menjelang 3 Desember nanti, lorong-lorong Makassar tidak hanya akan diisi pilihan, tetapi juga harapan: harapan bahwa kepemimpinan yang lahir dari rukun akan menjaga kota ini tetap hangat, tetap manusiawi, dan tetap saling menyayangi dalam skala yang paling dekat—skala di mana kemanusiaan kita bermula. (*)