Indonesia dan Persimpangan Kecerdasan Buatan

rmol.id • 8 jam yang lalu
Cover Berita

LEDAKAN teknologi kecerdasan buatan global mengguncang banyak sektor di Indonesia, namun kesiapan negara terbesar di Asia Tenggara ini masih penuh celah. Regulasi tertinggal, industri terengah mengejar komputasi, dan literasi publik belum cukup memahami risiko sosialnya. Di tengah percepatan adopsi digital, negeri ini berdiri di persimpangan besar.

Gelombang Besar yang Datang Terlalu Cepat

Perkembangan kecerdasan buatan dalam tiga tahun terakhir bergerak jauh lebih cepat daripada siklus inovasi teknologi sebelumnya. Indonesia kebanjiran aplikasi generatif, mulai dari penulisan otomatis, penyusunan analisis data, hingga pembuatan gambar dan video. Lembaga riset katadata Insight Center mencatat, sekitar 62 persen perusahaan di Indonesia mulai mencoba menerapkan AI dalam proses bisnis mereka sepanjang 2023?"angka yang melonjak hampir dua kali lipat dari tiga tahun sebelumnya.

Namun kecepatan itu justru menciptakan deviasi antara adopsi dan kesiapan. Banyak perusahaan langsung mengimplementasikan AI tanpa pedoman teknis maupun pertimbangan etis yang matang. Pemerintah berusaha bergerak cepat, tetapi regulasi tetap tertinggal. Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020 menjadi dokumen penting, tetapi tidak berkembang menjadi payung kebijakan operasional yang lengkap.

Regulasi yang Terus Mengejar

Di tingkat global, Uni Eropa sudah merampungkan EU AI Act, Amerika Serikat menerbitkan Executive Order on Safe AI, dan Singapura menjalankan kerangka AI Governance Testing Framework. Indonesia baru memulai langkah awal dengan menyusun pedoman etika di beberapa kementerian dan pembahasan rancangan Undang-undang Perlindungan Data yang lebih komprehensif.

Ketertinggalan regulasi ini membuat perusahaan sering berada dalam kebingungan. Banyak pelaku industri ragu menerapkan AI untuk proses sensitif seperti evaluasi kredit atau rekrutmen karyawan karena belum jelas siapa yang bertanggung jawab jika terjadi bias algoritmik. Beberapa perusahaan bahkan memilih menahan investasi pada sistem otomatis karena khawatir pada potensi masalah hukum.

Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, setidaknya 44 persen perusahaan digital menunda implementasi AI skala penuh pada 2024 akibat ketidakpastian regulasi. Kondisi ini memperlambat transformasi digital dan membuat Indonesia kehilangan momentum dibandingkan negara tetangga.

Ketimpangan Infrastruktur dan Kekuatan Komputasi

Pengembangan AI modern butuh komputasi besar, tetapi kapasitas Indonesia masih jauh dari memadai. Sewa GPU kelas menengah melonjak hingga 200 persen dalam dua tahun terakhir, sementara pembelian perangkat keras berdaya tinggi tidak terjangkau oleh banyak startup. Laporan Google dan Temasek 2024 menunjukkan bahwa 97 persen startup Indonesia menggunakan layanan komputasi cloud luar negeri, yang menimbulkan kekhawatiran soal kedaulatan data.

Universitas dan lembaga penelitian juga menghadapi kendala serupa. Koleksi data nasional terpecah dalam puluhan kementerian, tidak terintegrasi, dan sebagian besar tidak dapat diakses publik. Beberapa server pemerintah masih menggunakan sistem lama yang tidak mampu mengelola data besar. Tanpa pusat data modern yang terkoordinasi, kemampuan negara membangun model AI lokal sangat terbatas.

Peneliti Pusat Riset Telekomunikasi BRIN, Natasya Paramita, mengingatkan bahwa "AI modern bukan hanya soal algoritma, tetapi soal energi, pusat data, dan ekosistem talenta. Tanpa itu, kita hanya akan jadi konsumen teknologi, bukan pemain."

Meningkatnya Ancaman Manipulasi Informasi

Konten palsu berbasis kecerdasan buatan meningkat drastis dalam setahun terakhir. Di media sosial, gambar sintetis tokoh publik, rekayasa suara, hingga video palsu menyebar dengan cepat. Lembaga CISSReC mencatat lebih dari 1.800 kasus dugaan deepfake di Indonesia sepanjang 2023-2024, sebagian besar terkait politik dan penipuan digital.

Dalam konteks tahun politik, ancaman ini menjadi perhatian serius. Kemampuan AI generatif memproduksi konten yang sangat realistis dapat merusak integritas informasi publik. Tanpa mekanisme verifikasi nasional yang kuat, masyarakat dibiarkan menilai sendiri kebenaran konten digital yang beredar.

Pakar keamanan siber, Fahmi Irfan, menilai Indonesia berisiko tinggi menjadi "pasar gelap informasi sintetis". Ia menyebut bahwa peningkatan kualitas deepfake sudah melampaui kemampuan banyak lembaga dalam mendeteksi manipulasi secara manual. "Pada titik tertentu, kita akan membutuhkan sistem deteksi nasional berbasis AI untuk melawan masalah yang diciptakan AI itu sendiri," katanya.

Kebingungan Etika di Dunia Pendidikan

AI generatif mengubah cara belajar mahasiswa, tetapi juga memicu perdebatan panjang soal integritas akademik. Mahasiswa makin mudah membuat esai, laporan, atau proposal hanya dengan beberapa perintah. Dosen kesulitan menilai apakah sebuah karya benar-benar dikerjakan sendiri atau sepenuhnya dihasilkan mesin.

Hingga hari ini, banyak kampus belum mempunyai pedoman etika penggunaan AI. Dosen mengambil sikap berbeda-beda, menciptakan standar yang tidak konsisten. Dalam survei Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer Indonesia (APTIKOM), sekitar 58 persen dosen menyatakan kesulitan membedakan karya mahasiswa yang dibantu AI dan yang dikerjakan sendiri.

Sementara itu, negara seperti Inggris dan Australia sudah menerapkan aturan institusional yang jelas tentang penggunaan AI di kampus, termasuk batasan, kewajiban deklarasi, dan konsekuensi pelanggaran. Indonesia masih mencari bentuk terbaik, sementara generasi muda terus berinteraksi dengan teknologi tanpa pemandu.

Persoalan Bahasa, Budaya, dan Representasi

Bahasa Indonesia memang memiliki keunggulan jumlah penutur yang besar, tetapi digitalisasi bahasa daerah masih jauh tertinggal. Lebih dari 700 bahasa lokal di Indonesia tidak memiliki dataset modern yang memadai untuk melatih model AI. Padahal bahasa daerah merupakan kekayaan pengetahuan, identitas, dan cerita lokal.

AI generatif sebagian besar dilatih menggunakan data global, sehingga sering kehilangan konteks lokal. Model bahasa berbahasa Indonesia kadang salah menafsirkan idiom, ekspresi budaya, atau norma sosial. Risiko homogenisasi budaya muncul ketika algoritma lebih sering memproduksi gaya tutur yang "netral global" dibandingkan ragam bahasa asli.

Antropolog digital, Martha Rasi, mengingatkan bahwa "ketika bahasa tidak masuk ke ruang digital, ia perlahan keluar dari ekosistem budaya." Tanpa proyek nasional untuk dokumentasi dan digitalisasi bahasa daerah, Indonesia berisiko kehilangan keragaman linguistiknya dalam ruang AI generatif.

Dampak Sosial terhadap Tenaga Kerja

Perubahan teknologi selalu membawa dampak bagi tenaga kerja, dan AI generatif mempercepat dinamika itu. Otomatisasi menggantikan banyak peran administratif, analis tingkat pemula, hingga layanan pelanggan. Di sektor keuangan, beberapa bank besar melaporkan pengurangan kebutuhan staf hingga 18 persen dalam tiga tahun karena otomatisasi.

Serikat pekerja menyuarakan kekhawatiran karena transisi tidak dibarengi pelatihan ulang yang memadai. Banyak perusahaan mengadopsi AI untuk efisiensi, tetapi tidak menyiapkan program adaptasi keterampilan bagi karyawan. Akibatnya, pekerja yang tidak memiliki literasi digital terancam semakin tertinggal.

Kementerian Ketenagakerjaan memperkirakan sekitar 23 juta pekerjaan di Indonesia berpotensi berubah karena otomatisasi hingga 2030. Perubahan itu tidak selalu berarti hilang, tetapi akan bergeser menjadi pekerjaan yang membutuhkan keahlian teknologi lebih tinggi. Tanpa pelatihan masif, kesenjangan sosial bisa melebar.

Momentum yang Tak Boleh Terlewat

Di balik berbagai problematika itu, Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan AI sebagai mesin pertumbuhan baru. Bonus demografi yang masih bertahan hingga 2035, pertumbuhan ekonomi digital yang mencapai US$82 miliar pada 2023, serta meningkatnya jumlah talenta teknologi menjadi modal kuat untuk berlari lebih cepat.

Tetapi kesempatan ini bisa hilang jika negara tidak menetapkan arah yang jelas. Indonesia membutuhkan strategi nasional yang operasional, bukan hanya dokumen strategis. Standar transparansi algoritma, perlindungan data pribadi, audit AI, dan pengawasan penggunaan di sektor publik harus menjadi prioritas. Selain itu, investasi pada pusat data, komputasi nasional, dan rantai pasok semikonduktor perlu didorong agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar teknologi impor.

Pemerintah juga perlu memfasilitasi kolaborasi antara industri, perguruan tinggi, dan masyarakat sipil. Negara seperti Jepang dan Kanada menciptakan forum dialog berkala antara pemerintah dan ilmuwan untuk menilai dampak AI secara transparan. Indonesia dapat meniru pola itu, menyesuaikan dengan konteks lokal dan kebutuhan nasional.

Membangun Masa Depan yang Lebih Aman dan Inklusif

Pada akhirnya, kecerdasan buatan bukan sekadar persoalan teknologi, melainkan persoalan sosial. Indonesia perlu memastikan bahwa manfaat AI dirasakan secara merata, bahwa risiko dikelola dengan baik, dan bahwa teknologi tidak memperdalam ketimpangan.

AI dapat menjadi mesin inovasi yang membuka lapangan kerja baru, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memperluas akses pengetahuan. Namun ia juga bisa menjadi alat manipulasi, diskriminasi, dan konsentrasi kekuasaan jika tidak dikendalikan dengan benar.

Indonesia kini berdiri di persimpangan besar. Pilihan yang diambil dalam lima tahun ke depan akan menentukan apakah negara ini menjadi pemain dalam revolusi teknologi global, atau hanya menjadi penonton di pinggir lapangan. Dengan visi yang jelas, investasi yang tepat, dan tata kelola yang kuat, Indonesia masih punye peluang besar untuk meraih masa depan yang lebih cerdas dan inklusif.

Mubasyier Fatah

Bendahara Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.