Laporan WHO: 840 Juta Perempuan di Dunia Pernah Alami Kekerasan Seksual

kumparan.com • 21 jam yang lalu
Cover Berita

Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi permasalahan pelik di dunia hingga saat ini. Bahkan, menurut laporan terbaru, ratusan juta perempuan pernah menjadi korban kekerasan setidaknya sekali seumur hidup.

Fakta ini tercatat dalam laporan terbaru yang disusun oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama sejumlah lembaga dunia. Dirilis pada Rabu (19/11), laporan tersebut mengungkap bahwa 840 juta perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan domestik oleh pasangan atau kekerasan seksual. Artinya, setiap 1 dari 3 perempuan pernah menjadi korban.

Mirisnya, angka tersebut hampir tidak berubah sejak tahun 2000. WHO menjelaskan bahwa progres dalam menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan sangatlah lambat. Dalam dua dekade terakhir, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan hanya berkurang sebesar 0,2 persen.

Dalam setahun terakhir saja, 316 juta perempuan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual dari pasangan intim. 11 persen dari jumlah perempuan itu berusia 15 tahun ke atas. WHO pun menyebut, meskipun kekerasan terhadap perempuan bukanlah hal yang asing, isu ini masih menjadi salah satu krisis yang sangat kurang ditangani.

Laporan bertajuk “Violence against women prevalence estimates, 2023” tersebut juga memaparkan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang yang bukan pasangan intim. Setidaknya ada 263 juta perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual ini sejak usia 15 tahun.

Meski angkanya sudah sangat tinggi, para peneliti memperkirakan, jumlah kasus sesungguhnya jauh lebih tinggi. Sebab, banyak perempuan yang tak berani melapor, baik itu karena rasa takut maupun stigma.

“Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu ketidakadilan terhadap kemanusiaan yang tertua dan paling pervasif. Namun, ini juga merupakan masalah yang paling sedikit ditangani,” ucap Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Tedros mengatakan, mengakhiri kekerasan terhadap perempuan bukan soal kebijakan semata. Ini, menurutnya, menyangkut martabat, HAM, dan kesetaraan.

“Di balik setiap statistik kasus adalah seorang perempuan atau anak perempuan yang hidupnya telah sepenuhnya berubah. Memberdayakan perempuan dan anak perempuan tidak bersifat opsional. Ini merupakan syarat untuk mencapai perdamaian, pertumbuhan, dan kesehatan masyarakat. Dunia yang aman untuk perempuan adalah dunia yang lebih baik untuk umat manusia,” tegas Tedros.

Kekerasan terhadap perempuan marak di ruang digital

Sebagai salah satu cara untuk merespons isu kekerasan terhadap perempuan di dunia, PBB melangsungkan kampanye bertajuk 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan atau 16 HAKtP. Setiap tahunnya, peringatan ini dimulai pada 25 November—Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan—dan berakhir di 10 Desember—Hari HAM Sedunia.

Tahun ini, tema yang diangkat adalah kekerasan digital. Kekerasan terhadap perempuan terjadi di berbagai ruang, mulai dari ruang privat, ruang publik, sampai ruang digital.

Setidaknya, 1,8 miliar perempuan di dunia tidak memiliki perlindungan hukum terhadap kekerasan digital. UN Women mengungkap, 16–58 persen perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan digital.

Kekerasan terhadap perempuan dalam ruang siber bisa terjadi dalam beragam bentuk. Namun, isu yang sangat mengkhawatirkan adalah kekerasan seksual lewat konten deepfake.

Konten deepfake dibuat dengan teknologi kecerdasan buatan atau AI. Foto atau video palsu tersebut cenderung berbau seksual dan menargetkan perempuan. Pada akhirnya, konten hoaks itu digunakan untuk membungkam dan mempermalukan perempuan.

“Konten bersifat misoginis dalam manosfer ini mendorong terjadinya kekerasan serta memperluas disinformasi dan kebencian. Ketika gagasan-gagasan toksik tersebut viral di dunia maya, itu semua dapat membentuk bagaimana satu generasi melihat dan memperlakukan perempuan,” tegas UN Women.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.