Beberapa waktu lalu menteri kesehatan Budi Gunawan Sadikin mengaku terkejut karena banyak masyarakat indonesia masih banyak yang mengalami masalah kesehatan gigi pada Cek Kesehatan Gratis (CKG).
Menurutnya, krisis masalah kesehatan gigi ini adalah akibat dari kurangnya tenaga medis gigi yang tersebar di Indonesia. Untuk mengatasi hal itu beliau ingin meningkatkan kompetensi Terapis Gigi dan Mulut (TGM).
Terapis Gigi dan Mulut merupakan transformasi dari Perawat Gigi. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 20 Tahun 2016 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Pekerjaan Terapis Gigi dan Mulut menjelaskan bahwa kewenangan terapis gigi dan mulut adalah meliputi pelayanan kesehatan gigi dasar pada kasus kesehatan gigi terbatas.
Namun pertanyaan besar muncul, sejauh mana peningkatan kewenangan dan keterampilan akan dilakukan tanpa menciptakan tumpang tindih profesi maupun risiko keselamatan pasien? Kenaikan kewenangan tanpa sistem hukum yang jelas tentu akan berdampak pada kualitas layanan.
Tanpa pengawasan ketat, risiko utama bukan hanya pada aspek tindakan perawatan, tetapi pada awal pengambilan keputusan. Mulai dari akurasi diagnosis, ketepatan menentukan kapan pasien perlu dirujuk, hingga konsistensi standar perawatan. Jika aturan hukum tidak ditegakkan secara tegas, maka mutu layanan akan rentan menurun.
Dampak lain yang tak kalah penting adalah dinamika antarprofesi. Koordinasi menjadi rentan ketika batas tanggung jawab tidak dirumuskan dengan jelas, sehingga potensi gesekan meningkat. Konflik seperti klaim wewenang, tumpang tindih tindakan, atau ketidakselarasan prosedur dapat terjadi bukan karena niat buruk, tetapi karena regulasi yang tidak memadai.
Pada akhirnya, pihak yang paling rentan terhadap ketidakjelasan kebijakan adalah pasien. Tanpa sistem pengawasan hukum yang jelas, kesalahan prosedur akan mudah terjadi dan sulit untuk dipertanggungjawabkan.
Pemerataan akses tanpa mengorbankan mutu adalah inti dari keadilan dalam pelayanan kesehatan, seperti yang tercantum pada sila kelima, "Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Jika negara memastikan tenaga kesehatan bekerja sesuai wewenangnya, aturan yang jelas, dan prosedur yang aman, maka kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerataan bukan hanya soal menambah petugas, tetapi memberikan layanan yang sama baiknya untuk semua orang.
Bukankah sudah menjadi kewajiban negara untuk menyediakan layanan kesehatan yang bermutu dan warga negara memiliki hak untuk mendapat menerima pelayanan kesehatan yang aman, layak, dan setara?
Apakah pendekatan ini efektif dilakukan dalam jangka panjang dibandingkan solusi alternatif seperti insentif dokter gigi ke daerah, perbaikan sistem BPJS, atau peningkatan fasilitas pelayanan? apakah ini solusi terbaik, atau hanya solusi cepat?