Kasus pelecehan sudah tidak asing lagi di pendengaran dan ingatan kita. Mungkin, di luar sana, setiap menit atau detik, roda nasib terus berputar, dan seseorang menjadi korban berikutnya. Namun pertanyaannya tetap sama: mengapa, setelah begitu banyak kasus, para pelaku masih bisa berkeliaran seakan hukum hanyalah bayangan samar yang tak perlu ditakuti?
Jika Anda siap membaca lebih jauh, saya ingin memperkenalkan seseorang—sebut saja Daun. Kisah ini mungkin terdengar familiar, mungkin seperti cerita-cerita lain yang pernah Anda dengar. Dan justru itulah masalahnya: alurnya mirip, dan akhir ceritanya jarang bahagia. Kisah semacam ini telah terjadi begitu sering, hingga kita lupa bahwa di balik setiap cerita, ada seorang anak yang benar-benar terluka.
Daun mengalami pelecehan nonverbal ketika usianya baru delapan tahun. Saat itu ia memakai gaun ungu bergambar karakter princess favoritnya, berlarian di halaman samping rumah yang masih setengah dibangun. Ada empang kecil, dan sebuah pohon ceri tua yang menaungi sebagian area.
Pelakunya adalah teman dekat kakak laki-lakinya. Sosok yang sering mampir, sehingga keberadaannya tak menimbulkan curiga. Hari itu rumah sedang sepi. Orang tua Daun bekerja, para tukang belum datang, dan ia bermain sendirian dengan boneka beruang coklat tua yang baru dibelikan ayahnya. Ia duduk di pinggir empang, mengarang dialog bonekanya, menikmati hari yang tenang.
Hingga si pelaku muncul. Dengan lembut ia menggenggam tangan mungil Daun, mengajaknya ke balik pohon ceri tua. Tidak ada satu pun pikiran buruk yang muncul di kepala Daun—seluruh hidupnya ia diajari bahwa semua orang adalah baik.
Namun tubuh kecilnya membeku ketika si pelaku menyentuh bagian tubuh yang tak seharusnya disentuh. Ia hanya diam, mematung, berharap ada yang datang. Pelaku, seperti tidak puas, mengajak Daun ke belakang semak belukar yang batangnya cukup tajam untuk melukai siapa saja yang mendekat. Siang itu begitu tenang, sangat tenang sampai angin pun tidak datang untuk bersuara meminta bantuan.
Bertahun-tahun kemudian—saat usia Daun menginjak empat belas—barulah ia memahami apa yang sebenarnya terjadi. Mulai menerka ingatannya, terekam kembali kejadian hari itu. Ia mulai membenci tubuhnya sendiri, menarik diri dari dunia luar. Setiap malam ia menangis dalam diam, melatih keahlian menyakitkan yang akhirnya ia kuasai: menangis tanpa suara, agar tidak membangunkan ibu dan adiknya yang terlelap di sampingnya.
Dari kisah Daun, kita melihat dunia melalui kacamata seorang anak kecil yang lugu. Namun sayangnya, ketika kisah ini terungkap, sering kali justru korbanlah yang dipersalahkan. Ada yang menyalahkan cara berpakaian, pola asuh, atau bahkan sikap korban. Padahal, bukankah akar persoalannya adalah pola pikir sebagian laki-laki (dan masyarakat) yang merasa berhak melampiaskan hasratnya kepada siapa saja yang lebih lemah?
Kita hidup di zaman modern. Perempuan—setidaknya dalam teori—memiliki ruang untuk menyuarakan haknya. Namun setiap kali seorang korban akhirnya berani bersuara, kolom komentar dipenuhi cacian, penghakiman, dan tuduhan.
Diamnya Kita Adalah Luka Kedua Bagi KorbanPada akhirnya, kisah Daun bukan sekadar cerita tentang seorang anak yang direnggut haknya, tetapi cerminan dari masyarakat yang masih memilih diam. Selama kita terus menormalkan candaan yang merendahkan perempuan, selama suara korban dipelintir menjadi bahan penghakiman, dan selama hukum hanya tegas pada kertas tetapi tumpul pada realita, maka kisah seperti ini akan terus berulang.
Kita boleh hidup di zaman modern, tetapi peradaban tidak pernah ditentukan oleh teknologi—melainkan oleh cara kita memperlakukan manusia yang paling rentan di antara kita. Maka, ketika seorang korban akhirnya berani bersuara, tugas kitalah untuk mendengarkan, melindungi, dan berdiri di sisinya.