Internet Murah Bukan Bonus, Tapi Keharusan untuk Indonesia Capai 8 Persen

kumparan.com • 18 jam yang lalu
Cover Berita

Indonesia sedang berada di persimpangan yang menentukan: mengejar pertumbahan ekonomi 8 persen ala visi Prabowo-Gibran atau terjebak di level 5 persen selamanya karena infrastruktur digital yang tertinggal. Pernyataan Hashim Djojohadikusumo di Sustainability Summit 2025 kemarin sebenarnya sudah memberikan jawaban yang sangat jelas: setiap 10 persen penetrasi internet baru bisa mendorong pertumbuhan ekonomi 0,3-1 persen. Angka itu bukan isapan jempol, tapi rata-rata dari berbagai studi Bank Dunia dan ITU di negara berkembang.

Mari kita hitung kasar. Saat ini penetrasi internet fixed broadband Indonesia masih di kisaran 15-17 persen rumah tangga (data APJII dan Kominfo 2024-2025). Artinya, kita masih punya ruang 83 persen lagi untuk naik. Kalau pemerintah serius mengejar tambahan 50 persen penetrasi dalam 5-7 tahun ke depan, potensi tambahan PDB dari internet connectivity saja bisa mencapai 4-5 persen. Itu belum termasuk efek turunan dari e-commerce, edtech, healthtech, dan UMKM yang go-digital.

Sayangnya, selama ini kita terlalu sibuk membangun jalan tol fisik sambil membiarkan “tol langit” tertinggal jauh. Malaysia dan Thailand sudah di atas 50 persen, Vietnam bahkan mendekati 70 persen untuk fixed broadband. Akibatnya, productivitias tenaga kerja kita kalah jauh. Anak muda di Medan atau Jayapura harus membayar Rp500-700 ribu per bulan hanya untuk 30-50 Mbps, sementara di Bangkok atau Ho Chi Minh City mereka bisa dapat 500 Mbps-1 Gbps dengan harga di bawah Rp300 ribu.

Internet murah bukan lagi soal gaya hidup atau hiburan. Ia adalah infrastruktur dasar abad 21, sama pentingnya dengan listrik dan jalan raya di abad 20. Kalau listrik 450 VA saja sudah kita gratiskan atau subsidi untuk rakyat kecil, mengapa akses internet 50-100 Mbps masih dibiarkan mahal dan terbatas?

Pemerintah Prabowo punya momentum emas sekarang. Satelit Satria-1 sudah menganggur kapasitasnya karena harga terlalu mahal bagi ISP kecil. Starlink mulai masuk meski dengan drama. Palapa Ring sudah selesai tapi serat optik terakhir ke rumah (last mile) masih dikuasai segelintir pemain besar. Ini saatnya:

1. Pakai hak monopoli negara untuk memaksa harga grosir serat optik turun drastis.

2. Beri insentif pajak superdeduksi 300 persen bagi perusahaan yang bangun jaringan di daerah 3T.

3. Wajibkan semua BUMN (Telkom, PLN, tower provider) buka akses infrastruktur pasif secara terjangkau.

4. Buat skema Universal Service Obligation yang benar-benar ditegakkan, bukan hanya formalitas.

Tanpa internet murah dan merata, target 8 persen hanya akan jadi slogan. Lapangan kerja untuk 3,5-4 juta angkatan kerja baru tiap tahun tidak akan tercipta cukup banyak di sektor formal. Bonus demografi akan berubah jadi bom waktu pengangguran perkotaan.

Hashim sudah blak-blakan: “Just from internet connectivity, 1 persen.”

Sekarang giliran eksekusi. Jangan sampai 5 tahun lagi kita masih bertanya, “Kenapa Malaysia dan Vietnam bisa, kok kita nggak?”

Internet murah bukan pilihan. Ia adalah syarat mutlak Indonesia naik kelas. Titik.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
thumb
thumb
Grup Bakrie Akusisi Tol Cimanggis-Cibitung
• 19 jam yang lalukatadata.co.id
thumb
Berhasil disimpan.