JAKARTA — Indonesian Audit Watch (IAW) menyoroti terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) yang menghapus status terpidana dalam kasus korupsi PT ASDP Indonesia Ferry, hanya lima hari setelah putusan majelis hakim Tipikor dijatuhkan. IAW menilai langkah tersebut menciptakan preseden baru yang berpotensi mengubah ekosistem pertanggungjawaban atas kerugian negara.
Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, mengatakan pihaknya belum pernah melihat rehabilitasi hukum yang berlangsung secepat ini selama 15 tahun memantau kasus-kasus BUMN. Menurutnya, persoalan utama bukan pada kewenangan Presiden, melainkan hilangnya pihak yang dapat diminta tanggung jawab atas kerugian negara sebesar Rp1,253 triliun.
“Yang hilang itu bukan hanya status terpidana, tetapi penanggung jawab atas kerugian negara sebesar Rp1,253 triliun. Itu yang paling serius,” kata Iskandar, Minggu 30 November.
Iskandar menjelaskan, setelah ASDP sempat menolak dugaan penyimpangan, kasus kembali bergulir pada 2017–2018 setelah pergantian manajemen. Ia mengungkap adanya pertemuan informal antara direksi dan pihak eksternal di Hotel Shangri-La, kantor PT JN, serta rumah pribadi sosok bernama Adjie—yang disebut IAW sebagai shadow director karena bukan pejabat resmi, namun dianggap mengendalikan arah transaksi.
Menurut Iskandar, pola pengambilan keputusan yang tidak melalui mekanisme formal kembali terlihat dalam penetapan harga akuisisi pada 20 Oktober 2021. Seluruh direksi ASDP disebut hadir di rumah pribadi Adjie untuk menetapkan nilai akuisisi Rp1,272 triliun tanpa rapat resmi, tanpa notulen, dan tanpa persetujuan komisaris.
“Ini pelanggaran terhadap pasal 3 UU Tipikor terkait penyalahgunaan kewenangan,” kata Iskandar.
IAW juga mencatat aliran dana ASDP pada 2022 sebesar Rp1,223 triliun ke tiga entitas yang dikaitkan dengan Adjie–Andi Mashuri: PT Mahkota Pratama Rp540 miliar, PT Indonesia VIP Rp60 miliar, serta Rp380 miliar ke entitas afiliasi lainnya. Audit BPKP menetapkan kerugian negara Rp1,253 triliun, yang kemudian menjadi dasar amar putusan Tipikor.
Namun, setelah putusan dijatuhkan, aspirasi sejumlah pihak disalurkan ke Sekretariat Negara dan dimintakan pertimbangan ke Mahkamah Agung. Hasilnya, Presiden menerbitkan Keppres rehabilitasi dalam waktu lima hari.
“Proses itu administratif, bukan bagian dari proses antikorupsi,” tegas Iskandar.
IAW menilai Keppres tersebut menimbulkan kekosongan subjek hukum yang bertanggung jawab atas kerugian negara. Tanpa status terpidana, mekanisme penggantian kerugian melalui Kejaksaan otomatis gugur karena UU Tipikor mensyaratkan adanya terpidana sebagai pihak yang dapat ditagih.
“Hasil akhirnya, kerugian Rp1,253 triliun menggantung di awang-awang. Jika ASDP tidak mampu menutupinya, pada akhirnya APBN—uang rakyat—yang menanggung, karena negara adalah penanggung risiko terakhir,” ujarnya.
Iskandar memperingatkan bahwa bila preseden ini dibiarkan, dapat muncul pola baru dalam skandal BUMN: melakukan korupsi, menggalang aspirasi politik, memperoleh rehabilitasi, dan mengamankan uang negara.
Menurutnya, kasus ASDP kini menjadi tolok ukur publik dalam melihat keseriusan pemberantasan korupsi di BUMN. Ia menegaskan rehabilitasi bukan masalah, asalkan pengembalian kerugian negara tetap menjadi prioritas.
“Berbahaya bila korupsi menggunakan jalur aspirasi untuk meminta rehabilitasi. Rehabilitasi boleh, tetapi kerugian negara harus kembali terlebih dahulu,” kata Iskandar.
IAW menyebut publik akan menilai langkah ini sebagai catatan penting bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto—bahwa rehabilitasi adalah hak warga negara, tetapi tidak boleh menjadi jalan pintas untuk menghapus kewajiban mengembalikan kerugian negara.