Gwangju 1980: Musim Semi di Bulan Mei dan Cikal Bakal Demokrasi Korea Selatan

kumparan.com • 1 jam yang lalu
Cover Berita

Kim Sa Bok (48), supir taksi berplat Seoul itu tergopoh-gopoh menuju taksinya untuk melanjutkan perjalanan ke Gwangju, ia tidak sendirian, melainkan bersama seorang jurnalis asing asal Jerman, perwakilan jurnalis dari stasiun TV Jerman Barat (ARD-NDR), Jurgen Hinzpeter (43). Ini bukan perjalanan biasa, keberangkatan mereka ke Gwangju akan menjadi perjalanan yang panjang dan berbahaya, serta menjadi penentu sejarah demokrasi di Korea Selatan, dalam upaya besar untuk menyingkap tabir kebusukan rezim militer ke mata dunia.

Tewasnya Park Chung Hee dan Datangnya Musim Semi Singkat

Korea Selatan mengalami masa transisi yang menentukan di tahun 1979, Park Chung Hee (61), pemimpin tertinggi mereka, juga aktor dari kudeta militer berdarah di tahun 1961, ditemukan tewas bersimbah darah di kediaman keduanya, setelah Kim Jae Gyu (52), kepala badan intelijen Korea Selatan (KCIA), menembaknya berkali-kali, ketika ia diundang makan malam oleh pemimpin tertinggi tersebut. Peristiwa ini sontak mengejutkan rakyat seantero negeri, pemimpin "tangan besi", yang telah berkuasa selama 18 tahun, tewas di tangan kepala intelijennya sendiri, pihak yang seharusnya bisa ia percaya sepenuhnya.

Kisah ini membuka suatu periode bergejolak dalam politik Korea Selatan, Choi Kyu-Hah, Perdana Menteri yang diangkat oleh Chung Hee sejak tahun 1975, kemudian naik posisi sebagai presiden sementara Korea Selatan, menggantikan pendahulunya yang mati secara tragis. Kim Jae Gyu membunuh Park Chung Hee atas suatu alasan moril yang jelas; sekalipun ia cukup dekat dengan Park Chung Hee, ia menolak tindakan sewenang-wenang Park Chung Hee dalam menegakkan otoritarianisme absolut. Pasca Konstitusi Yushin 1972, presiden memiliki wewenang yang diperluas dengan kekuasaan tak terhingga (parlemen dibubarkan sesuka hati, sensor pers, dan penangkapan tanpa surat perintah).

Selain konteks ini, dipercaya pula bahwa terjadi suatu pertikaian besar di internal istana presiden. Cha Ji Cheol (45), Kepala Pengawal Presiden, muncul sebagai saingan politik Jae Gyu atas akses politiknya terhadap presiden, sikap menjilat dan adu domba Ji Cheol, membuat Jae Gyu lantas semakin tersisih dari percaturan politik istana. Puncak dari amarah Jae Gyu meledak ketika ia diperintahkan untuk menyingkirkan mentornya di KCIA, Kim Hyong Uk (54), di Paris, Perancis, yang menjadi whistleblower dan membongkar fakta rahasia dalam kasus Korea Gate di Kongres Amerika Serikat. Suatu kasus yang mengungkap proses penyuapan kepada anggota Kongres AS oleh Pemerintah Korea Selatan, untuk tetap mendukung penempatan militer mereka di Korea Selatan, agar dapat menjamin keamanan negeri ginseng dari musuh bebuyutannya (baca: Korea Utara).

Alasan utama yang dibeberkan oleh Jae Gyu di persidangan, didasari oleh keputusan Chung Hee untuk merepresi gerakan rakyat yang menuntut demokrasi di Busan-Masan (Bu-Ma Hangjaeng), yang terjadi pada 16-19 Oktober 1979 dan menuntut pencabutan Konstitusi Yushin, serta pembebasan tahanan politik. Pada 19 Oktober 1979, Chung Hee memutuskan untuk melakukan darurat militer penuh ke Busan dan memerintahkan untuk menembak serta menindak tegas siapa pun yang dianggap berkhianat terhadap negara. Tepat 10 hari setelah keputusan ini, Jae Gyu memutuskan untuk menembak Chung Hee. Jae Gyu mengatakan, bahwa alasan ia membunuh Chung Hee, karena ia menginginkan untuk terciptanya demokrasi di Korea Selatan. Meskipun, dilatari fakta bahwa terjadi dinamika rumit di internal istana presiden, antara ia dengan Ji Cheol.

Choi Kyu-Hah (60), naik sebagai presiden sementara, dari posisi awal sebagai perdana menteri, secara konstitusional, apabila mengacu kepada Konstitusi Yushin. Ia kemudian dipilih oleh National Conference for Unification (suatu badan boneka yang sebelumnya dibentuk oleh Park Chung Hee). Tewasnya Park Chung Hee dan naiknya Choi Kyu-Hah, memberikan harapan baru bagi rakyat Korea Selatan, karena peristiwa ini menjanjikan suatu perubahan transisional untuk membentuk sistem demokrasi di Korea Selatan. Akan tetapi, harapan tersebut tidak dapat terlaksana dengan segera dan sirna begitu saja, pasca terjadinya suatu peristiwa politik yang tidak kalah mengejutkan.

12.12: Akhir Musim Semi, Kudeta Hanahoe, dan Naiknya Chun Doo Hwan

Choi Kyu-Hah sebetulnya tidak memegang kendali penuh atas pemerintahan Korea Selatan, militer ketika itu masih memiliki kekuatan dominan, pasca Park Chung Hee tewas, kendali kuat sebetulnya jatuh ke tangan Menteri Pertahanan, Noh Jae Hyun (53), bersama dengan Kepala Staf Angkatan Darat, Jeong Seung Hwa (50). Dikarenakan Konstitusi Yushin memungkinkan untuk berlakunya darurat militer pasca presiden Korea Selatan tewas, Seung Hwa kemudian otomatis menjadi komandan darurat militer. Tidak lama setelah Chung Hee tewas, Seung Hwa menunjuk Chun Doo Hwan (48), Komandan Badan Intelijen dan Keamanan Militer di Angkatan Darat Korea Selatan, sebagai kepala investigasi untuk menyelidiki konspirasi dibalik kematian Park Chung Hee.

Alih-alih bermotif murni untuk menginvestigasi kasus pembunuhan Chung Hee, Doo Hwan memiliki motif yang lebih luas untuk berkuasa dan mengambil alih kendali dari tangan komandan darurat militer dan presiden sementara Korea Selatan. Doo Hwan ketika itu, telah memiliki faksi politik rahasia, yang ia bentuk sendiri di tubuh militer Korea Selatan, faksi itu bernama Hanahoe. Hanahoe dibentuk oleh sekelompok alumni Akademi Militer angkatan ke-11, sejak akhir dekade 1950an, kelompok ini secara perlahan naik merangkak, seiring dengan promosi tiap anggota-nya ke posisi strategis di militer Korea Selatan. Metode politik mereka ialah, ketika senior Hanahoe menjabat posisi penting, Hanahoe mendorong untuk memprioritaskan junior Hanahoe dalam proses promosi pangkat (patronase), alih-alih perwira non-Hanahoe yang berprestasi.

Melalui faksi-nya dan posisi strategis sebagai kepala investigasi kematian Chung Hee, ia memiliki modal politik untuk melakukan kudeta merangkak. Doo Hwan dan Hanahoe kemudian merencanakan konspirasi picik untuk menuduh komandan darurat militer, Jeong Seung Hwa, melalui keterlibatan yang dibuat-buat, atas keterlibatan palsu Seung Hwa dalam pembunuhan Chung Hee. Alibi ini mengandalkan informasi bahwa, Kim Jae Gyu membawa Jeong Seung Hwa untuk bersamanya dalam satu mobil, tak lama setelah ia membunuh Park Chung Hee, untuk menyerahkan dirinya sendiri ke tangan Seung Hwa. Alibi ini kemudian menjadi alat legitimasi Chun Doo Hwan untuk merencanakan kudeta, yang akan dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 1979.

Sementara itu, Jeong Seung Hwa sebetulnya telah menyadari suatu hal janggal dari Doo Hwan, ia kemudian memutuskan untuk menunjuk Jang Tae Wan (48), sebagai Komandan Capital Garrison Command (CGC) di Seoul (setara posisi Panglima Kodam Jaya di Jakarta), posisi strategis yang memungkinkan Seung Hwa untuk menghalau Doo Hwan, apabila ia berencana untuk melakukan kudeta di Seoul. Tae Wan dipilih karena ia cukup idealis sebagai seorang perwira, ia tidak berpolitik dan menentang keras keberadaan faksi Hanahoe di tubuh angkatan bersenjata. Meskipun pada awalnya Tae Wan menolak, ia pada akhirnya tetap menerima tawaran Seung Hwa untuk mengambil posisi tersebut.

Tepat pada hari-H, Doo Hwan yang telah merencanakan kudeta dengan rapi, kemudian melaksanakannya, setelah ia berhasil untuk mengendalikan elemen-elemen penting dari angkatan bersenjata Korea Selatan, yang berada dalam posisi strategis dan dapat mencapai Seoul dalam waktu cepat (Brigade Lintas Udara ke 1,3, dan 5). Taktik utama Doo Hwan adalah dengan mengandalkan taktik kejutan serta manipulasi psikologis (karena jumlah unitnya terbilang sedikit dan kalah jauh). Sekalipun Tae Wan, telah mendapatkan perintah resmi dari Seung Hwa untuk memblokir seluruh akses ke Seoul, pasukannya tetap kewalahan karena Hanahoe berhasil mengendalikan komunikasi dan telah terlebih dahulu menguasai posisi strategis. Meskipun di awal kudeta, Tae Wan dan angkatan bersenjata Korea Selatan berhasil membuat Doo Hwan panik kalang kabut. Mereka menguasai hampir seluruh unit di sekitar Seoul, tapi gagal untuk mengendalikan komunikasi strategis, yang memiliki peran kunci di peristiwa ini.

Setelah kudeta, ia kemudian melakukan tindakan kilat untuk menetapkan kekuasaannya: 1). Membersihkan seluruh unit angkatan bersenjata yang kontra terhadap Hanahoe dan mengganti keseluruhan komandan unit dengan anggota Hanahoe, 2). Mengangkat dirinya sendiri sebagai Plt. Kepala Staf Gabungan & Panglima Angkatan Darat (menggantikan Jeong Seung Hwa), 3). Memaksa presiden Korea Selatan untuk menandatangani dekrit darurat militer dan membubarkan parlemen (kekuatan politik sipil), 4). Membungkam ribuan kalangan intelektual; dengan memecat ribuan PNS, membredel media, menutup beberapa universitas, dan menangkap pemimpin gerakan pro-demokrasi. Sontak peristiwa ini lantas memupuskan harapan musim semi dan semakin mengokohkan kendali rezim militer bertangan besi.

Gwangju Uprising: Pembangkangan Sipil dan Api Pertama Demokrasi

18 Mei 1980, satu hari setelah Chun Doo Hwan memperluas darurat militer, warga Gwangju bahu-membahu turun ke jalan dan memprotes penangkapan terhadap pemimpin gerakan pro-demokrasi, yang juga orang asli Jeolla (Gwangju termasuk dalam provinsi Jeolla), Kim Dae Jung (56), serta penutupan terhadap universitas yang dinilai sewenang-wenang dan inkonstitusional. Aksi protes tersebut tentunya mendapat represi keras dari militer; gas air mata dan peluru tajam ditembakkan. Ratusan atau bahkan ribuan warga ditembak secara brutal, serta ditangkap tanpa diadili. Hingga kemudian di tanggal 21 Mei, warga dari berbagai kalangan (supir taksi, mahasiswa, penjaga toko, hingga ibu rumah tangga), menyerbu kantor polisi & gudang senjata. Dikarenakan Korea Selatan memiliki kebijakan wajib militer, maka warga sipil memiliki kemahiran yang tidak kalah mumpuni dalam mengoperasikan senjata. Esok harinya, mereka membentuk Komune Gwangju (tanpa eksistensi polisi dan militer).

Kim Sa Bok dan Hinzpeter, datang pada saat yang tepat, mereka mengabadikan momen-momen di Gwangju tersebut, setelah menembus blokade militer, yang menghalangi akses langsung dari Seoul ke Gwangju. Kisah Gwangju dapat dikatakan sebagai pembangkangan sipil terorganisir yang efektif dan efisien, mereka membentuk suatu pemerintahan sipil sementara, dengan segala urusan sipil dikelola langsung oleh komite warga. Tuntutan mereka jelas: 1). Cabut darurat militer, 2). Bebaskan Kim Dae Jung dan seluruh tahanan politik, 3). Chun Doo Hwan mundur. 4). Jaminan tidak ada serangan balik dari militer.

Tentunya, sudah dapat diduga plot yang mungkin terjadi selanjutnya, militer tidak akan semudah itu menyerahkan kekuasaan dan menyerah kepada tuntutan warga sipil di Gwangju, yang bagi mereka dapat dilibas dalam sekejap. 27 Mei 1980, Komune Gwangju harus berakhir, setelah sekitar 6.000-8.000 pasukan militer, dipersenjatai oleh tank ringan, menembus Gwangju dan memperlakukan warga Gwangju sebagai musuh negara alias pemberontak; mereka dituduh Komunis. Gwangju ketika itu menjadi medan tempur mematikan antara militer melawan warga sipil, seketika Gwangju menjadi killing zone. Segala informasi keluar masuk dari Gwangju dikendalikan oleh militer, propaganda disebar ke seantero negeri bahwa Gwangju membangkang dan didalangi oleh agen komunis asing.

Itu semua belum berakhir. Setelah dikejar dan berhasil kabur dari tentara, mereka berhasil menembus blokade lagi, tapi kali ini menuju Seoul. Kim Sa Bok dan Hinzpeter memegang kunci, mereka merekam semua kejadian tersebut dalam kamera yang dibawa oleh Hinzpeter. Arriflex 16 mm + 11 rol film, dengan total durasi 3 jam 20 menit, akan mengungkap kebenaran yang disembunyikan oleh rezim dari publik, Hinzpeter kemudian mempublikasikan rekaman tersebut ke dunia internasional dan membuat rezim Chun Doo Hwan kelabakan. ARD (media Jerman Barat), pertama kalinya menayangkan 12 menit Gwangju pada tanggal 29 Mei 1980, dunia pertama kali melihat tentara Korea Selatan membunuh sipil. Tayangan tersebut kemudian dipublikasikan juga oleh BBC, NBC, Le Monde, dan New York Times. Pasca rekaman tersebut tayang, sekutu dekat Korea Selatan; Amerika Serikat, Jepang, Jerman Barat, Inggris, Belanda, Swedia, menekan keras Chun Doo Hwan atas apa yang terjadi di Gwangju. Bahkan, organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, seperti Amnesty International, hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), turut mengutuk apa yang dilakukan oleh rezim militer Korea Selatan di Gwangju. Seketika Chun Doo Hwan menjadi pariah di dunia internasional, posisi diplomatiknya cukup terisolasi akibat peristiwa ini; semua itu berkat sopir taksi dari Seoul dan kegigihan jurnalis asing.

Api itu Abadi: Warisan Gwangju dan Rezim yang Jatuh Karena Olimpiade

Sekalipun rezim militer memblokir total akses informasi terkait Gwangju, aktivis mahasiswa Korea Selatan, secara diam-diam menyelundupkan rekaman Hinzpeter mengenai peristiwa Gwangju dan memutarnya di kampus-kampus. Rekaman inilah yang kemudian menjadi bukti kekejaman rezim militer yang mulai disadari oleh berbagai elemen sipil Korea Selatan. Puncaknya terjadi ketika pembunuhan seorang mahasiswa bernama Park Jong Chul (22), oleh aparat keamanan, peristiwa ini memicu gelombang demokratisasi yang meletus pada Juni 1987 di negeri ginseng.

Setelah dunia internasional mengetahui apa yang persisnya terjadi di Gwangju, Chun Doo Hwan menghadapi tekanan yang keras dan diwanti-wanti untuk tidak menggunakan militer dalam meredam gelombang demokratisasi. Utamanya dilayangkan oleh Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang. Rekaman Hinzpeter memaksa Chun Doo Hwan untuk tunduk terhadap tekanan internasional dan secara perlahan mulai melakukan transisi kekuasaan ke arah demokratisasi.

Meskipun begitu, Chun Doo Hwan telah merancang suatu transisi sistematis untuk menyerahkan kekuasaan ke Roh Tae Woo (anggota faksi Hanahoe), upaya yang di kemudian hari tetap tidak bisa membendung gelombang demokratisasi dan memaksa Roh Tae Woo tunduk terhadap tuntutan warga sipil. Secara perlahan, Korea Selatan mulai mereformasi angkatan bersenjatanya (supremasi sipil militer) dan membentuk sistem demokrasi dengan institusi kuat. Agenda demokratisasi berjalan dengan efektif dan lancar di bawah pemerintahan Kim Young Sam dan Kim Dae Jung (keduanya mantan aktivis pro-demokrasi). Hingga hari ini, warisan demokrasi di Korea Selatan dimulai dari rangkaian peristiwa tersebut.

Pencapaian besar demokratisasi Korea Selatan ditandai dengan keberhasilan mereka untuk menghukum aktor-aktor yang terlibat dalam kudeta 12 Desember dan peristiwa Gwangju; termasuk Chun Doo Hwan dan Roh Tae Woo (mantan presiden). Konteks ini menghapus impunitas (kekebalan hukum) dari dalang kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) dan memungkinkan terjaminnya supremasi hukum (rule of law). Pada tahun 2023, Chun Woo-Won (27), cucu dari Chun Doo Hwan bahkan meminta maaf secara langsung di depan publik atas tindakan brutal kakeknya dan menyebut Chun Doo Hwan sebagai pendosa besar.

Peristiwa-peristiwa ini kemudian diabadikan dalam budaya populer, oleh judul-judul film yang laris di berbagai negara. Jika dirunut secara kronologis, dapat ditonton mulai dari: 1). The Man Standing Next, 2). 12.12: The Day, 3). May 18, 4). A Taxi Driver, hingga 5). 1987: When The Day Comes, ataupun karya novel yang memenangkan penghargaan internasional berjudul Human Acts, dari Han Kang. Gwangju Uprising menjadi memori kolektif yang traumatis dan meninggalkan luka mendalam di Korea Selatan, sekaligus menjadi api atas perlawanan terhadap otoritarianisme.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.