Di era digital, informasi datang dalam hitungan detik. Kita menerima kabar, opini, hingga isu terbaru melalui gawai tanpa jeda. Kecepatan ini memang memudahkan, tetapi juga memunculkan persoalan baru: menurunnya kualitas informasi. Banyak kabar yang beredar tidak lagi melalui proses verifikasi, sehingga batas antara fakta dan opini menjadi semakin kabur. Kondisi ini membuat masyarakat mudah terjebak dalam kebohongan yang dikemas seolah-olah sebagai kebenaran.
Dalam situasi seperti ini, nilai budaya memiliki peran besar. Budaya bukan sekadar simbol atau tradisi, tetapi fondasi moral yang mengarahkan cara masyarakat bersikap. Keberanian untuk jujur, terbuka terhadap kenyataan, dan tidak mudah terprovokasi adalah nilai yang makin penting di tengah derasnya arus informasi. Harapannya, nilai ini bisa mengimbangi perkembangan media sosial yang bergerak cepat dan sering kali tidak memberi ruang bagi refleksi.
Sayangnya, masalah literasi masih menjadi tantangan besar. Rendahnya minat membaca membuat masyarakat cenderung menerima informasi secara mentah. Ketika literasi melemah, kemampuan memeriksa sumber dan memahami konteks ikut merosot. Ini mempercepat penyebaran hoaks, karena kabar yang tidak benar akan lebih mudah dipercaya dan dibagikan tanpa pertimbangan.
Penguatan literasi digital menjadi langkah penting untuk memperbaiki kondisi ini. Literasi tidak hanya soal membaca buku, tetapi kemampuan menilai kredibilitas informasi, mengenali motif penyebarannya, serta memahami risiko membagikan kabar yang belum jelas. Jika kebiasaan ini tertanam, masyarakat tidak mudah terseret dalam pusaran disinformasi.
Selain literasi, nilai budaya juga membantu membentuk sikap kritis. Kebiasaan berdialog, menghargai perbedaan, dan mempertimbangkan sudut pandang lain dapat mencegah publik terkunci dalam ruang gema. Sikap terbuka seperti ini membantu menekan konflik yang sering muncul akibat kesalahpahaman atau informasi yang dimanipulasi.
Namun, perkembangan teknologi tetap menjadi tantangan. Informasi kini menyebar lebih cepat daripada proses memeriksanya. Semua orang bisa membagikan kabar dalam hitungan detik tanpa memikirkan dampaknya. Di sinilah etika komunikasi perlu diperkuat agar masyarakat tidak hanya cepat, tetapi juga bertanggung jawab dalam berkomunikasi.
Pendidikan dapat menjadi titik awal perubahan. Integrasi nilai budaya yang etis dan pembelajaran literasi digital di sekolah serta kampus akan membantu generasi muda membangun daya tahan terhadap informasi menyesatkan. Dengan pembiasaan seperti ini, penggunaan teknologi dapat berjalan seimbang dengan nilai kebenaran.
Pada akhirnya, menghadapi era post truth tidak cukup hanya dengan kecakapan teknologi. Yang dibutuhkan adalah karakter masyarakat yang kritis, jujur, dan etis. Dengan memperkuat budaya literasi dan etika komunikasi, kita merawat ruang digital agar tetap menjadi tempat yang lebih sehat dan berdampak positif bagi publik.