Roso sebagai Kunci Membaca Pangan Lokal di Tengah Krisis Iklim

kumparan.com • 11 jam yang lalu
Cover Berita

Bagi banyak pendatang baru, Yogyakarta terasa manis di lidah. Sebut saja makanan seperti gudeg, brongkos, tahu tempe bacem, mangut lele, bahkan nasi angkringan. Pertanyaannya biasanya berhenti di permukaan. Mengapa semua ini manis? Jawabannya sering diarahkan pada selera orang Jawa. Padahal, jika kita memakai kacamata ilmu komunikasi dan keberlanjutan, manis itu adalah pesan. Setiap suapan membawa jejak sejarah tanam paksa, kebun tebu, hingga pola konsumsi hari ini.

Dalam falsafah Jawa, rasa tidak berhenti pada fungsi indera pengecap. Rasa terhubung dengan roso. Konsep roso pada makanan Jawa dapat dijelaskan dengan kajian cultural studies. Jika menggunakan pendekatan Stuart Hall, maka makanan dapat dipandang sebagai sebuah teks. Cara orang mengumpulkan bahan, memproduksi, mengolah, dan menyajikan makanan dibaca sebagai bentuk komunikasi tentang identitas dan relasi sosial. Bacem tidak hanya teknik memasak, namun juga sebagai cara tubuh dan budaya menegosiasikan limpahan gula yang pernah dilakukan petani dalam sistem tanam paksa atau cultuurstelsel.

Sejumlah studi dalam ilmu komunikasi budaya menjelaskan bahwa makanan adalah penanda identitas. Ia memberi tahu orang lain bahwa kita dari kelompok mana, nilai apa yang kita pegang, dan sejarah apa yang kita bawa. Dalam konteks ini, roso bisa dibaca sebagai kompetensi komunikasi. Roso membantu orang Jawa menangkap makna di balik rasa manis. Manis yang lahir dari tebu bukan hanya soal kenikmatan. Ia juga menyimpan kenangan kerja paksa, keharmonisan, perayaan budaya, dan remunerasi budaya. Gula bukan hanya soal sumber energi, tetapi juga representasi kesejahteraan sosial.

Jika kita tarik ke isu keberlanjutan dan perubahan iklim, roso menjadi kunci. Sistem pangan global menyumbang sekitar sepertiga emisi gas rumah kaca. Transformasi pola makan menjadi salah satu jalan penting untuk menekan krisis iklim. Praktik memasak dengan bahan lokal seperti nangka, kelapa, kacang tolo, dan sayur kebun desa bukan sebuah romatisme belaka. Praktik itu berpotensi menjadi strategi adaptasi dan mitigasi iklim konkret masyarakat Jawa.

Roso mengajak kita membicarakan ulang isi piring harian. Bukan hanya bertanya enak atau tidak, tetapi juga sejauh apa bahan itu berjalan, roso apa yang hadir dalam tiap suapan, dan apakah pola konsumsi itu mendorong petani lokal menjaga tanahnya. Ketika warga kota memilih gudeg dari dapur rumahan yang bekerja sama dengan petani sekitar, dibandingkan makanan cepat saji jaringan global, keputusan itu punya dampak lingkungan yang berbeda. Aksi ini bukan soal nostalgia, namun soal desain sistem pangan yang tahan terhadap guncangan iklim.

Aspek lain yang sering terlupa adalah penghargaan terhadap budaya. Wacana media dan sektor pariwisata, acapkali mereduksi makanan Jawa menjadi sekadar kuliner manis yang unik. Cara pandang ini berpotensi mengabaikan keragaman rasa dan makna. Kajian tentang makanan dan identitas menunjukkan bahwa praktik makan sehari-hari adalah sarana transmisi budaya dan kohesi sosial yang sangat kuat. Memasak brongkos di rumah, misalnya, tidak hanya soal resep. Kegiatan itu memberikan pembelajaran tentang cara memilih bahan, cara berbagi porsi, cara menghormati tamu, dan cara mengelola sisa. Semua ini membentuk identitas kolektif yang halus tetapi tetap kuat.

Penghargaan terhadap budaya berarti juga cara kita bercerita. Konsep framing media menjelaskan bahwa cara kita membingkai suatu isu akan mempengaruhi cara orang memahami dan meresponsnya. Jika media dan pelaku pariwisata terus membingkai makanan lokal sebagai makanan jadul yang manis dan berat, publik akan melihatnya sebagai sesuatu yang tertinggal dan tidak relevan dengan gaya hidup sehat atau ramah lingkungan. Jika sebaliknya, makanan lokal dibingkai sebagai produk pengetahuan ekologis dan kemandirian pangan, maknanya akan bergeser. Roso bisa bekerja sebagai sebuah filter. Roso memandu orang untuk memilih bingkai yang lebih adil bagi petani, lebih jujur terhadap sejarah, dan lebih responsif terhadap masa depan.

Tantangan berikutnya adalah menghubungkan pangan lokal dengan inovasi agar lepas dari stigma kuno dan rumit. Inovasi bisa terjadi di banyak titik, mulai dari cara bertani, distribusi, hingga cara mengemas dan mengomunikasikan produk ke konsumen muda. Pada masyarakat Jawa, ini bisa berupa pengembangan menu gudeg dengan porsi gula yang disesuaikan, penggunaan beras lokal yang lebih tahan kekeringan, atau pengembangan varian plant-based yang tetap menghormati roso asli.

Ruang digital juga menyimpan potensi besar. Konsep komunikasi jaringan menjelaskan bahwa pesan akan lebih kuat ketika beredar melalui komunitas yang saling terhubung dan saling percaya. Pelaku kuliner bisa memakai media sosial bukan hanya untuk promosi harga. Mereka bisa menceritakan kisah petani nangka di Kulon Progo, penjual gula kelapa di Gunungkidul, aktivisme walking tour pangan lokal oleh komunitas gastronomi atau keluarga yang mewariskan resep bacem. Narasi ini diharapkan dapat mempertemukan konsumen kota dengan sumber pangan lokal. Pada titik itu, makanan lokal tidak lagi tampak jadul, namun dapat hadir sebagai produk pengetahuan, kisah perjuangan pendahulu bangsa, keberanian berinovasi, dan kepedulian terhadap iklim.

Dengan cara pandang ini, manis di masyarakat Jawa tidak berhenti sebagai stereotip rasa. Manis menjadi pintu masuk untuk membicarakan sejarah dan masa depan pangan lokal. Roso mengajak kita untuk tidak hanya menikmati gudeg, brongkos, dan tempe bacem sebagai peninggalan masa lalu. Kekayaan gastronomi dapat menjadi bahasa bersama untuk membangun sistem pangan yang lebih adil bagi petani, lebih ramah terhadap bumi, dan lebih bermakna bagi generasi yang akan datang.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.