Banjir Bandang Sumatera, Eks Penyidik KPK: Tambang Liar Kok Didiamkan?

fajar.co.id • 9 jam yang lalu
Cover Berita

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mantan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap, angkat suara terkait bencana banjir bandang yang melanda wilayah Sumatera.

Dikatakan Yudi, bencana tersebut bukan peristiwa yang datang secara tiba-tiba, melainkan dapat diprediksi sejak lama karena adanya aktivitas penebangan hutan liar dan tambang ilegal.

Yudi menyebut bahwa tanda-tanda kerusakan lingkungan akibat aktivitas ilegal tersebut seharusnya sudah terlihat jelas dan menjadi perhatian aparat yang bertugas di lapangan.

“Ketua! Bencana yang terjadi seharusnya sudah diprediksi akibat penebangan hutan liar dan tambang liar,” ujar Yudi di X @yudipurnomo41 (1/12/2025).

Yang membuat Yudi heran, fakta bahwa lokasi aktivitas tambang ilegal tersebut hanya memiliki satu jalur utama.

Akan tetapi, jalur itu selama ini dipenuhi lalu-lintas transportasi pekerja dan kendaraan tambang berukuran besar yang keluar masuk setiap hari.

“Yang anehnya jalannya hanya satu. Setiap hari hilir-mudik transportasi pekerja dan angkutan segede gaban, belum basecamp yang ramai, ditambah dengan alat keruk yang terlihat jelas beroperasi,” kata Yudi.

Ia mengatakan bahwa hal tersebut mustahil tidak terpantau oleh aparat penegak hukum maupun pejabat terkait yang sehari-hari memiliki kewajiban pengawasan terhadap aktivitas pertambangan di wilayah tersebut.

“Kenapa bertahun-tahun seolah-olah tidak kelihatan lewat di depan mata para abdi negara yang dibayar dengan uang rakyat, yang sehari-hari harusnya monitor di situ?,” tegas Yudi.

Sebelumnya, Cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU) Gus Hilmi Firdausi menggambarkan bencana yang terjadi bukan hanya sebagai peristiwa alam semata, tetapi sebagai tanda kerusakan yang telah lama diabaikan.

“Duka kita, duka alam, sebuah renungan untuk Aceh, Sumut, dan Sumbar,” ujar Gus Hilmi kepada fajar.co.id, Sabtu (29/11/2025).

Ia melukiskan bagaimana banjir bandang datang membawa kisah kehilangan yang memukul banyak keluarga di wilayah terdampak.

“Banjir bandang itu datang bukan sekadar luapan air, ia datang membawa cerita tentang luka bumi yang lama kita abaikan,” ucapnya.

Gus Hilmi juga menyinggung simbol-simbol kehilangan di tengah kerusakan hutan, termasuk kisah seekor gajah di Tesso Nilo yang ditemukan mati akibat habitatnya yang rusak.

“Ia bukan hanya binatang yang mati, tetapi simbol bahwa hutan telah kehilangan pelukannya, bahwa alam telah kita telanjangi dari haknya untuk hidup,” tambahnya.

Kata Gus Hilmi, bencana yang terjadi tidak dapat semata-mata disalahkan pada hujan, namun bagian dari akibat campur tangan manusia yang berlebihan dalam merusak alam.

“Kerusakan itu bukan sekadar badai yang turun dari langit, tetapi juga izin pembukaan lahan yang diberikan dengan ringan, penebangan yang tak mengenal batas, pertambangan yang menelanjangi tebing dan bukit, dan kerakusan yang pelan-pelan menghapus warna hijau yang dulu pernah kita banggakan,” terangnya.

Ia mengutip firman Allah dalam Al-Qur’an sebagai pengingat bahwa kerusakan di muka bumi merupakan akibat ulah manusia sendiri.

Tidak berhenti di situ, Gus Hilmi mengajak seluruh masyarakat untuk mengambil hikmah dari bencana yang terjadi.

“Hari ini kita berduka, tapi semoga duka ini tidak datang sia-sia, semoga Allah melembutkan hati kita agar lebih bijak menjaga bumi,” kuncinya.

(Muhsin/fajar)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.