Berbicara tentang demokrasi semestinya mengembalikan kita pada akar filosofisnya: prinsip bahwa kedaulatan bukan milik penguasa, bukan milik oligarki, tetapi milik rakyat. Sejak pertama kali ditegakkan di Athena, demokrasi berdiri di atas satu imperatif moral: tidak boleh ada kekuasaan yang lebih tinggi daripada suara manusia biasa.
Indonesia memilih demokrasi melalui jalan panjang reformasi, sebagai penolakan tegas terhadap otoritarianisme yang pernah menjadikan rakyat hanya angka dan statistik, bukan subjek yang berhak menentukan arah bangsanya sendiri.
Sejarah demokrasi di Yunani kuno adalah sejarah keberanian. Abad ke-5 SM adalah momentum ketika manusia mulai sadar bahwa mereka bukan alat negara, melainkan pencipta tatanan politik.
Demokrasi lahir dari keberanian untuk berpikir, dari keyakinan bahwa manusia sebagai animal rationale mampu menegakkan keadilan secara kolektif. Maka demokrasi mestinya menjadi sebuah habit of the heart kebiasaan moral yang tumbuh dari kejujuran, penghargaan terhadap sesama, dan kesadaran bahwa kekuasaan harus dibatasi oleh etika.
Namun pertanyaannya: mengapa demokrasi di negeri ini seolah tidak mempunyai ruang untuk menjadi dirinya sendiri? Mengapa prinsipnya hanya hidup di atas kertas, tetapi mati dalam praktik?
Jawabannya pahit: demokrasi telah dilebur, diolah, dan dipelintir oleh sekelompok manusia yang membajak nurani bangsa. Mereka mengaburkan demokrasi melalui proses yang panjang hingga yang tersisa hanyalah topeng legitimasi sebuah kemasan yang dibuat rapi untuk menyembunyikan kerakusan.
Rakyat dibius dengan narasi politik harapan. Janji bertebaran, tetapi di baliknya terselip praktik yang tak pernah bertumpu pada nurani. Demokrasi direduksi menjadi pesta lima tahunan, sebuah ritual transaksional di mana suara diperdagangkan, bukan dipertimbangkan. Substansi tenggelam dalam lomba popularitas. Meritokrasi mati pelan-pelan, digantikan oleh modal finansial dan citra yang dipoles agensi buzzer.
Kini, demokrasi terasa seperti panggung: megah di depan, rapuh di belakang. Bahkan lebih buruk lagi, kebebasan untuk berpikir dan berbicara mengalami pembusukan sistematis. KUHP dan UU ITE menjelma alat penjinak kritik. Opini rakyat dipelintir, protes dijerat, ekspresi dibungkam. Lalu bagaimana rakyat bisa menolak para despot bila pintu kritik saja dipasangi jerat hukum?
Apakah kita mau terus menutup mata seolah semua baik-baik saja? Sorot mata emak-emak yang bergulat setiap hari dengan harga kebutuhan dasar, keterbatasan akses, dan ketidakadilan struktural sudah menjadi bukti bahwa realitas jauh lebih gelap daripada apa yang ditampilkan lembaga survei. Mereka berdamai setiap hari dengan ketidakadilan yang justru muncul dari sistem demokrasi yang seharusnya melindungi mereka.
Demokrasi dan keadilan adalah dua nafas yang seharusnya saling menghidupi. Ketika keadilan direnggut, demokrasi ikut tercekik. Dan para pemimpin yang lahir dari transaksi suara, bukan dari kompetisi gagasan, pada hakikatnya adalah bom waktu, menunggu meledak dan membakar harapan rakyat yang sudah lama digenggam rapuh.
Hari ini, masa depan demokrasi seolah menghilang dari rahim Ibu Pertiwi. Yang tampak justru adalah kebusukan yang muncul dari pengkhianatan dan ketidakadilan yang dibiarkan tumbuh liar. Jika tidak segera diamputasi, kebusukan itu akan merambat dan menghabisi sisa-sisa kepercayaan rakyat terhadap bangsanya sendiri.
Dari sudut-sudut tak terliput kamera, masih ada suara moral yang berusaha mengingatkan: demokrasi harus dikembalikan ke khittahnya. Demokrasi adalah air mengalir jernih, bebas, tidak boleh dibendung, apalagi dikotori oleh kepentingan sempit. Biarkanlah demokrasi mengalir kembali, mengalir tanpa penghalang hingga mencapai samudra keadilan yang selama ini hanya menjadi ilusi.